11. If You Really Care

42.6K 3.1K 249
                                    

Mia hendak berbalik. Namun, Arsen meraih tangannya.

"Please, let me-"

"Apa sih, yang kamu cari di sini, Sen?!" teriak Mia, seketika melepaskan tangannya dari cekalan Arsen. "Ada yang kurang dari kehidupan kamu yang nyaman itu? Kamu bosen sama keluarga kamu yang serba baik itu? Sampai akhirnya kamu cari alternatif lain... hiburan lain, lewat kondisiku sekarang?" Mia menatap Arsen nyalang.

"It's not that I come here for a reason. It's about you for blaming yourself."

"Emang bener, kan? Aku cuma hiburan! Hidup aku cuma tontonan! Like everyone said. Dari dulu sampai sekarang, Mia cewek penghibur. Anak dari pelacur yang kelakuannya nggak jauh beda sama ibunya. Kamu mau lebih jelas lagi?" Mia menunjuk-nunjuk dadamya sendiri, tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Tangisnya mendadak pecah.

"Enggak, Mia. Kamu nggak kayak gitu."
Tak kuasa melihat tangisan itu, tangan Arsen tergerak untuk meraih bahu Mia yang terguncang. Seketika itu pula Mia menepisnya.

"Tahu apa kamu, hm? Tahu apa kamu tentang hidup aku sepuluh tahun ini?"

Kalimat itu mendarat sebagai tamparan bagi Arsen. Jelas ia tidak tahu. Ia menghilang dan tahu-tahu datang seolah tahu segalanya. Seolah masih mengenal Mia. Tanpa menyadari bahwa sepuluh tahun, waktu tidak berhenti.

Di matanya, mungkin Mia tidak berubah. Tetapi, apa yang dialami gadis itu selama ini jelas membentuk karakter baru. Menempa Mia yang lebih berani, namun juga tak ayal menjadi lebih rapuh.

Dan yang terjadi seterusnya hanyalah Arsen terdiam mendengar makian Mia.

"Kamu tahu apa yang terjadi di malam waktu kamu pergi? Aku hampir diperkosa, Sen! Kalo aja nggak ada warga yang mergokin para biadab itu, aku mungkin udah jadi mayat. Kamu nggak tahu, kan?"

Arsen menatap nanar Mia. Ia berharap otaknya salah menerjemahkan apa yang didengarnya.

"Nggak cuma itu. Lily, Gisel, Tasya..." Mia bicara terengah-engah, menyebut nama-nama perempuan yang pernah satu sekolah dengannya. "Mereka nuduh aku yang enggak-enggak! Bilang aku godain cowok orang lah, bikin aku dihujat nggak karuan karena fitnah mereka! Kamu tahu? Enggak! Kamu bahkan akur sama mereka karena orang tua kalian saling kenal. Setelah itu oknum suruhan mereka sengaja nyebar videoku di ruang ganti. Kamu tahu? Inget aku masih hidup aja enggak kamu, Sen!"

Arsen merasakan dadanya mendadak sesak. Ditatapnya Mia yang kini tertunduk dengan mata merah basah. Suara Arsen bergetar saat akhirnya tenggorokannya bisa bicara.

"Maafin aku karena pergi gitu aja. Maafin aku karena gak tau apa-apa. Maafin aku karena dulu..."

Ucapan Arsen terhenti saat mendengar isakan Mia. Gadis masih menyembunyikan wajahnya. Punggungnya sudah menyentuh dinding. Ia menangis mengingat perih masa lalunya.

Sedari tadi, Arsen mengepalkan tangannya kuat-kuat. Mati-matian ia menahan dorongan untuk memeluk Mia. Namun, setiap detiknya terasa begitu menyakitkan hanya diam dan menyaksikan Mia yang menangis tersedu.

"Aku..., memang nggak layak 'kan, Sen?"
Dan saat tangan gadis itu mulai bergerak untuk menjambak rambutnya sendiri, Arsen tidak bisa menahan diri untuk tidak meraih gadis itu.

Arsen memeluk Mia. Gadis itu berontak. Namun demi mencegah Mia menyakiti dirinya sendiri, Arsen bersikukuh tidak melepaskan. Air mata Arsen perlahan menetes. Luka ini..., bertahun-tahun seharusnya Mia membagi itu dengannya. Luka ini, yang sekian lama coba ia pendam dan abaikan dengan tidak mencari kabar tentang Mia, akhirnya kembali menganga.

Awalnya saat bertemu kembali dengan Mia, ia hanya didera rasa penasaran. Arsen hanya ingin memastikan keadaan gadis itu ketika akhirnya ia bertandang ke kedainya. Arsen sudah siap menerima fakta semisal Mia sudah bersama orang lain. Siapa pula yang mengharapkan perasaan sama selama sepuluh tahun. Ia rela melepas gadis itu. Karenanya ia memutuskan untuk bertunangan dengan Moza.

Namun, ketika mengetahui betapa luka Mia sedalam ini... Siapa yang sanggup meninggalkan perempuan itu? Terlebih saat dia ikut andil dalam lukanya. Arsen tidak sanggup untuk pergi lagi.

Pada akhirnya, ia menjatuhkan dirinya lagi pada dunia gadis itu. Arsen mengeratkan pelukan. Ia rasakan gerakan Mia mulai melemah. Didekapnya gadis itu bersama pilu yang meredam nyala rindu. Diterimanya sekaligus sakit yang terungkap dalam isak tergugu gadis itu.

"Maafin aku yang nggak pernah nyari kamu. Maafin aku yang ngira luka kamu bisa sembuh seiring waktu." Arsen berkata dengan suara parau. "Maafin aku yang pernah ngebunuh kita, tanpa tahu kalau perasaan ini terlalu besar untuk kita tanggung sendirian."

Dari ambang pintu, Tonny terdiam mengamati. Dilihatnya sosok Mia yang lain. Mia yang mengakui rasa sakitnya.

*****

Jerit yang terlepas, tangis yang bebas, semuanya hanyut dalam rentang kedua lengan yang terbuka menerimanya. Isakan itu perlahan berhenti, tetes air matanya sudah banyak berpindah pada kemeja putih Arsen.

Namun, pelukan itu tidak bertahan lama. Mia segera memberi jarak di antara mereka kemudian segera mengusap air matanya.

"You shouldn't see me like this. Moreover, you should not be here."

"Why? I just want to help you." Arsen berkata lirih.

"Karena kamu bukan siapa-siapa!" jerit Mia. "Aku udah muak sama orang asing yang pura-pura peduli, aku muak sama tatapan kasihan mereka... padahal di dalam hatinya mereka lagi bersyukur karena nasib buruk menimpa aku, bukan mereka!"

Arsen menelan ludah. Mia benar, jarak waktu membuat mereka yang pernah begitu dekat dan mencintai, kini menjadi orang asing.

"Then I'm not. Aku benar-benar peduli sama kamu."

"Simpan kalimat itu buat keluarga kamu, Sen. Buat mereka yang penting di hidup kamu. Don't give a fuck attention about me. I'm just small part in your life."

Arsen makin sesak. Ia hendak mengatakan bahwa Mia begitu penting dalam hidupnya. Namun mengingat apa yang tidak pernah dibuktikannya selama sepuluh tahun belakangan, hal itu terdengar seperti sampah.

"Then promise me you won't be like this anymore. Prove me you are doing good, then I'm leaving," kata Arsen.

Mia tersenyum sinis, matanya menatap ke arah Arsen. "Buat apa, hm? Supaya kamu bisa ninggalin aku tanpa diganggu rasa bersalah? Kenapa aku harus lakuin itu buat kamu?"

Arsen membeku.

"Kenapa? Kenapa kamu diem aja? Bener 'kan?"

"Mia..."

"Aku mohon... pergi sekarang. Kalo kamu nggak mau bikin aku makin kacau, pergi sekarang."

Arsen menelan ludah. Ia menyerah. Jika kedatangannya semakin menyiksa Mia, ia bersedia pergi.

-----------------------------------to be continued

Hiks,
Makin basah ini mata....
Mia yang kuat...

HEROIN (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang