38. Transisi

26.2K 2.2K 482
                                    

Don't know what you got till it's gone
Don't know what it is I did so wrong
Now I know what I got
It's just this song
And it ain't easy to get back
Takes so long

Don't Know What You Got - Cinderella

Moza tersenyum kecut mendapati sekelebat iklan artikel gosip yang muncul pojok laman pencarian sebuah artikel lifestyle yang sedang dibacanya. Seperti virus, kutipan judul iklan tersebut menyusupkan sebuah gagasan menggelitik ke kepala Moza. Entah kenapa ia jadi hanyut dalam renungan melankolis pagi ini.

Selalu ada yang kurang dalam hidup...

Ada yang menikah bertahun-tahun, tapi belum juga memiliki anak. Ada yang punya anak banyak, tapi ekonomi pas-pasan. Ada yang belum lama menikah, tapi ingin pisah. Ada yang pacaran bertahun-tahun, tapi tidak mendapat restu untuk menikah. Ada yang mendamba pernikahan, tapi tak kunjung bertemu sosok yang tepat.

Keinginan dan penghalang yang senantiasa beriringan. Moza mencoba memasukkan dirinya dalam pengkotakan nasib yang baru saja ia petakan itu. Sekadar menjawab rasa penasaran ia akan masuk kategori mana. Sayangnya, Moza bahkan tidak tahu apa yang ia inginkan. Ia tidak tahu apa yang kurang di hidupnya.

Selama ini, hidupnya selalu berjalan sesuai rencana. Sekolah di tempat bagus, meraih nilai memuaskan, merancang dan menjalani karier dengan sempurna. Manuvernya hampir tidak pernah meleset, sekalipun agak riskan dan buru-buru.

Ketika usianya belum genap delapan belas tahun, gadis itu sudah mencoba trading saham menggunakan akun ayahnya. Hasilnya? Membuat ayahnya urung memarahinya.

"Good enough untuk pemula," komentar ayahnya waktu itu. Tidak jadi marah, hanya menjewer telinga putrinya gemas. Beliau tahu putrinya tidak sekadar beruntung. Gadis itu sudah punya perhitungan, kalau sampai nekat begitu.

Orang-orang terdekatnya tidak pernah meragukan keputusannya. Tidak bundanya, tidak ayahnya, tidak juga Arsen. Lucu sekali ketika tiba-tiba ia dihadapkan pada situasi tak terduga semacam ini. Dicampakan.

Well, Arsen bakal ngotot mengoreksi kalau tahu Moza mengartikan kejadian semalam dengan kata itu.

"Aku sayang kamu, Moz. Jangan pernah berpikiran kamu nggak penting buat aku!"

Ya Tuhan, Moza bahkan bisa mendengar teguran Arsen di alam bawah sadarnya. Cowok itu pasti bakal memakai kalimat yang sama untuk menyangkal persepsinya. Kalimat yang terkesan cute, tapi lama-kelamaan menyebalkan.

Semalam, setelah Arsen kembali memeluknya erat ketika ia hendak masuk ke dalam rumah, Moza sempat terpikir untuk bertanya satu hal.

"Kalau aku sama Mia tenggelam di lautan, kamu bakal menyelamatkan siapa?" Moza merangkai kata dalam benaknya.

"Dua-duanya lah. Kalo bisa nyelamatin dua, kenapa harus pilih satu? Aku bakal ambil perahu karet yang bisa angkut kalian berdua."

Bahkan sebelum pertanyaan itu terlontar, Moza bisa menebak jawaban Arsen. Oke, Moza harus merevisi pertanyaannya.

"Kalau aku sama Mia terjebak kebakaran dan kamu cuma bawa satu tabung oksigen. Umpanya nih, beneran cuma satu. Kamu nggak bisa pilih buat bawa tiga ya, pertanyaannya kalo cuma bawa satu. Kamu bakal kasih ke Mia atau aku?"

Moza sudah merangkai kalimat serapi mungkin sampai tidak ada celah untuk Arsen berkilah. Namun, ia kembali mengurungkan niatnya untuk menyuarakan kalimat itu. Bukan karena pertanyaan itu butuh dikoreksi lagi, tapi lebih kepada tidak siap mendengar jawaban Arsen.

Ia sudah dicampakan sebagai tunangan, well... meski ia juga bukan tipikal yang meraung-raung seperti wanita normal saat diputuskan.

Yang benar saja, bagaimana bisa mengkategorikan perasaannya sebagai patah hati kalau perasaannya saja tidak jelas? Lebih seperti... entahlah, yang jelas Moza tidak ingin menambah kepahitan malam itu dengan menerima fakta bahwa ia juga dicampakan sebagai sahabat, kalau ternyata jawaban dari pertanyaan itu tidak sesuai harapannya.

HEROIN (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang