🌷PRINSIP PENULIS : MENULIS MERUPAKAN KEBUTUHAN, SEDANGKAN VOTE DAN KOMEN ADALAH BONUS. TERIMA KASIH BONUSNYA❤️🌷
"Mendingan jadi orang baik yang normal-normal aja, daripada kelihatan baik banget karena haus pujian. Iya, kan?"
-Arshel Sadhewa-
|~•~•~•~•~|
Sorot matanya memandang sekeliling area rumah sakit seraya berlarian tanpa henti mencari di mana keberadaan Arshel sekarang. Dalam benak Hera, ia khawatir jika tiba-tiba Arshel tengah pergi ke suatu tempat yang tak diketahuinya, kekhawatirannya sedang mengarah pada keadaan Arshel, ia hanya takut jika laki-laki itu tiba-tiba berbuat sesuatu yang membahayakan. Ia tak dapat tenang sebelum mengetahui ada di mana Arshel sekarang.
"Kamu di mana, sih, Arshel?"
Hera sontak terhenti saat sekelebat melihat seorang laki-laki sedang duduk dengan tenang di atas kursi hitam besi, sambil menutupi wajahnya menandakan kesedihan yang tak berujung. Entah kenapa ia sangat yakin jika laki-laki itu adalah Arshel. Hera menoleh menatap orang itu kembali sembari mengernyit meyakinkan pandangannya.
Hera melangkahkan kakinya perlahan. Otaknya terus menyertakan sebuah terka-an bahwa orang itu adalah Arshel. Ia berhenti di depan laki-laki tersebut lalu menatap Arshel dengan kesal.
"Arshel," panggil Hera lirih, dan impulsif membuat laki-laki di depannya itu mendongak memandangnya dengan manik mata yang terlihat berkaca-kaca, benar saja, dia adalah Arshel.
Arshel segera mengusap air mata yang untunglah masih sempat terbendung, kemudian menunduk sedalam-dalamnya karena rasa malu yang tiba-tiba medesak. Kenapa gadis itu bisa tahu, sih? Arshel benar-benar kesal hari ini.
"Arshel," panggil Hera sekali lagi. Tidak ada jawaban, akhirnya ia putuskan untuk bertindak sesuai dengan apa yang hatinya perintahkan. Ia berjongkok di depan Arshel, menatap manik mata sedih itu dengan begitu khawatir.
"Semua bisa balik lagi walau kemungkinannya cuman kecil ... kamu ingat?" Hera mencoba membuka memorinya kembali.
Akhirnya laki-laki itu mau menatap Hera, yah, walaupun tatapannya menjadi sedingin es sekarang. Ternyata seperti ini ketika Arshel benar-benar kecewa, Hera mengerti sekarang. Hera betul-betul paham apa yang Arshel rasakan sampai saat ini. Jika gadis itu menjadi Arshel, mungkin ia akan menangis sekencang-kencangnya, memohon pada Tuhan agar memberikannya keadilan. Tapi untunglah, Hera rasa Arshel masih cukup tegar untuk menerima sebuah takdir daripada dirinya.
Arshel menghela napas gusar karena sudah muak dengan segalanya.
"Arshel, jangan kayak gini, ya ..." lirih Hera cemas. Tangan kanannya beranjak mengelus lengan atas Arshel sedikit lama sedangkan si empunya hanya sibuk menahan kesal. Ia menghela napas gusar. "Haaaahh ... padahal aku udah bilang semuanya bakal baik-baik aja, tapi kamu lebih milih buat nurutin ego kamu."
"Kamu nggak akan bisa hidup sesuai sama kadar keinginan kamu," cetus Hera. Tangannya berhenti di atas lengan Arshel kemudian ia berdiri, duduk di samping Arshel lalu menyenderkan punggungnya di depan punggung kursi begitu santai. "Dunia bukan cuma milik kamu sendiri, kan?"
Laki-laki disampingnya itu mengangguk paham.
"Kamu tahu apa yang paling menyedihkan?" imbuh Hera.
Arshel masih tetap diam, tetapi dengan telinga yang terbuka lebar.
"Saat kamu paham kalau semuanya bakalan ninggalin kamu kecuali kesedihan kamu nantinya, dan kamu nyesel karena waktu kasih kesempatan yang singkat. Kamu jatuh dan nggak ada yang peduli, rasanya pengen berhenti juga tapi kamu sadar kalau kamu masih berharga dalam kehidupan orang lain," celoteh Hera menatap lurus ke depan dengan ekspresi seriusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A R S H E R A
Teen Fiction"Di saat semua terasa samar bahkan untuk sekadar menatap ke depan, ada satu hal yang membuatnya terbang karena terasa begitu jelas, adalah cinta." *** Dimulai dari seekor kucing yang mempertemukan Hera dengan laki-laki pujaan hatinya. Selang bebera...