°• BAGIAN KETIGAPULUHTUJUH •°

266 29 0
                                    

🌷DI VOTE ALHAMDULILLAH🌷

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌷DI VOTE ALHAMDULILLAH🌷

"Aneh, deh. Waktu gue nggak mau ikut campur masalah orang, kenapa mesti ada aja celah buat masuk ke masalah itu."

|~•~•~•~•~|

"Teror?" Kaget Arshel saat mendengar kalimat itu terucap dari mulut Hera dengan entengnya. Ia mengernyit memandang Hera jejap, kedua tangannya bertaut keheranan ketika Hera menunjukkan sebuah anggukan.

"Tapi sekarang bukan teror lagi, aku udah tahu siapa orang dibalik ini, ya, walaupun masih bukan dalagnya," lanjut Hera sembari terus menenangkan Ihza dalam gendongan. Bayi menggemaskan itu semakin menutup mata saat merasakan tangan Hera begitu puas menepuk pahanya. Ia tertidur dengan tenang selagi Hera juga sibuk mengoceh.

"Kok lo bisa santai banget? Kenapa baru cerita sekarang?" Arshel mulai menghakimi.

Hera menggidikkan bahu. "Yaah, aku mau cerita kalo waktunya udah tepat aja."

Laki-laki itu membuang napas jengah dengan raut penuh kekesalan. Namun, ya sudah, lah, Hera memang begitu orangnya.

"Lo tahu siapa yang udah ngelakuin itu?"

Hera mengangguk kembali. "Namanya Rio."

Manik mata Arshel semakin membeliak, seluruh tubuhnya terasa kaku saat nama itu disebutkan. Ia tidak sedang salah dengar, dan kenapa juga seorang Rio melakukan sebuah teror? Jujur, Rio adalah salah satu anak yang suka sekali membantu orang untuk melakukan suatu kejahatan, entah dalam bentuk apa, namun jika bagi Rio itu menarik, dia pasti akan ikut campur. Dan Arshel menduga jika Rio memang memiliki maksud lain dibalik ulahnya.

"Lagi-lagi gue yang ngga ngerti sendiri," gumam Arshel sembari menunduk, dan syukur Hera tak mendengarnya.

"Soal apa?" Arshel masih penasaran. Ia mendongak sembari melipat kedua tangan di depan dada seperti bersiap untuk mendengar kalimat selanjutnya.

Hera menggidikan bahu, kemudian menunduk memandang Ihza yang sedang tertidur, memainkan pipi tembam bayi itu secara lembut. "Aku ngga tahu pasti motifnya apa, tapi intinya dia nyuruh aku buat jauh-jauh dari Danu."

"Ada apa sama Danu?" Arshel mengernyit kebingungan setelah nama itu juga ternyata sedang ikut campur, bahkan terdengar seperti menjadi seorang tokoh utama dalam kasus ini.

"Dia ...." Tatapan Hera beralih memandang lantai, mencoba memeras otak untuk kalimatnya ini. "Dia suka sama aku, dan, yah gitu lah, si Rio itu suruh aku buat jauh-jauh dari Danu."

Hera menggeleng. "Tapi ... aku nggak bisa."

"Kenapa?" Arshel mengernyit heran. Pikiran buruknya tiba-tiba hadir, menerka sebuah pendapat bahwa ... perasaan Danu akan terbalaskan? Oh, tidak mungkin. Jangan sampai astaga. Arshel hanya sedikit ketakutan ketika mendengar ada orang lain yang menyukai Hera. Apakah ini juga disebut cemburu? Arshel tak yakin.

A R S H E R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang