°• BAGIAN KESEBELAS •°

523 62 31
                                    

🌷PRINSIP PENULIS : MENULIS MERUPAKAN KEBUTUHAN, SEDANGKAN VOTE DAN KOMEN ADALAH BONUS

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌷PRINSIP PENULIS : MENULIS MERUPAKAN KEBUTUHAN, SEDANGKAN VOTE DAN KOMEN ADALAH BONUS. TERIMA KASIH BONUSNYA❤️🌷

"Cukup katakan kalau itu menyakitkan, jangan lampaui batas, ya?"

-Arshel Sadhewa-

|~•~•~•~•~|

" ... Karena mereka bukan lagi tandingan gue."

BRAAAK

"Ah!"

Hera segera meringkuk, terpejam, melindungi kepala dengan kedua tangan setelah benar-benar dibuat terkejut oleh sebuah papan kayu yang ia taruh tadi, tiba-tiba papan kayu itu terjatuh ke arahnya. Napas Hera bekerja tak beraturan karena membayangkan betapa hebat rasa sakit yang akan ia alami ketika papan kayu berat itu sudah berhasil mengenai kepala. Namun, yang ia bayang-bayangkan dalam pikiran tidak kunjung ia rasakan saat ini, tak ada rasa sakit, bahkan papan kayu tersebut tidak terdengar jatuh ke arahnya.

Ia meringis kesakitan ketika mendapati lututnya tidak sengaja tergores pintu kamar mandi perempuan yang sedari tadi terbuka akibat ulahnya sendiri. Rasa sakit ini sudah bukan menjadi masalah, yang ia pentingkan sekarang adalah tentang papan kayu itu.

Spontan Hera membuka mata, segera mendongak, dan impulsif kedua matanya terbelalak ketika papan kayu tersebut malah mengenai Danu. Hera secepatnya berdiri, beberapa detik kemudian dirinya mencoba mencerna apa yang terjadi. Papan kayu tersebut sekarang sedang di tahan oleh lengan kekar Danu, maka dari itu Hera tak merasakan apapun, ekspresinya begitu kesakitan hingga Hera sadar ia harus segera membantunya.

"Astaga ... astaga ... bencana nih, bencana!" batin Hera ketakutan.

Kedua tangan Hera segera bergerak menyenderkan papan kayu itu lagi di depan tembok, tatapannya memandang Danu yang sekarang tengah meregangkan lengan atasnya perlahan, masih dengan ekspresi kesakitan. "Aghh."

"M-maaf ... s-salahku." Hera menunduk, kedua tangannya saling bertaut penuh keringat, degup jantung Hera bekerja lihai tak kala rasa bersalah semakin muncul.

"Ya, emang elo," cetus Danu kesal. Jika bukan karena yang ia hadapkan adalah seorang wanita cupu yang hanya mengenal takut dan khawatir, mana mungkin Danu mau merelakan tangannya itu kesakitan seperti sekarang. Bukan apa-apa, setiap laki-laki pasti memiliki naluri untuk melindungi wanita dengan spontan entah seberat apapun yang menimpa. Yah, semacam yang dilakukan Danu barusan.

"Aku minta maaf sekali lagi," lirih Hera ketakutan setengah mati.

"Udah, pergi," titah Danu begitu saja.

Hera buru-buru mengangguk. Ia segera melangkah hendak keluar dari sana seperti apa yang sudah laki-laki itu perintahkan. Dalam tunduknya, ia benar-benar merasa tidak enak hati, apalagi dengan raut Danu yang semakin membuatnya ketakutan, takut andai besok tiba-tiba nyawanya sudah menghilang.

A R S H E R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang