Selesai sudah.
Lucius mengangkat kedua tangan di depan muka, memperhatikannya lekat tanpa berkedip. Ia merasa gagal. Rasa bersalah itu bersarang di otaknya sejak ia membuka mata kemarin. Bagaimana tubuh lunglai itu bersimbah darah, juga kesakitan yang teman-temannya derita.
Lucius tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
Sebuah tanggung jawab yang gagal ia selesaikan, berhasil mengobrak-abrik batinnya.
Pandangannya beralih ke kakinya yang masih berbalut perban, sungguh, rasanya perih. Walau Rose juga Sofia sudah memberikan ramuan penyembuh, tetapi tak jarang saat ia tidak sengaja menyenggol sesuatu, rasa sakit menusuknya kuat. Ia pun harus menggunakan kursi roda, itu paksaan dari Sofia karena khawatir akan kondisi anaknya.
"Kau melamun lagi."
Suara itu selalu hadir, menemani sepi yang menyelimuti Lucius di taman setiap senja.
Seorang pemuda seusia Lucius, duduk di bangku taman. Punggung itu dibebat tebal, terlihat dari kemeja yang sengaja tidak dikancingkan. Pemuda itu meringis, biasanya ia akan tengkurap seharian di ranjang, tetapi hari ini ia ingin menemani Lucius lagi.
"Ini bukan salahmu, kami yang keras kepala menjalankan misi ini," ucap sosok itu, kalimat itu ia ulang-ulang setiap saat ketika melihat Lucius murung.
"Kau bahkan terluka, Ethan." Ya, Lucius sudah tahu akhir dari pertempuran nekat mereka. Benar-benar di luar dugaan.
Taman academy tampak sepi, hanya kicau burung yang terdengar. Lautan jingga menjadi pemandangan yang tidak absen Lucius lihat, memang sejak ia diperbolehkan keluar kamar, taman adalah pelariannya. Walaupun kursi roda itu sedikit menghambat pergerakan, Lucius tidak keberatan jika hadiahnya bisa melihat Claire tersenyum seperti biasa.
"Aku dengar Claire sudah membaik, kau sudah menjenguknya?" Ia menoleh pada sosok di sampingnya. Penampilan mereka tidak beda jauh, sama-sama berbalut perban dengan memar di beberapa bagian. "Jasmine sudah bisa berlari dan berteriak tadi, dia benar-benar tidak mau mengingat kejadian kemarin."
Jelas, siapa juga yang ingin mengingat hal mengerikan seperti itu? Melihat teman-temannya terbaring bermandikan darah, siapa yang tidak trauma?
Gadis manis itu beruntung memiliki orang tua seperti Jacob dan Jessie, keduanya dengan kompak selalu menghibur Jasmine saat ia terbangun dari tidurnya sambil berteriak ketakutan. Jasmine juga kerap menjambak rambut Jacob saat ia berhalusinasi melihat darah.
"Apa ... kau sudah membakarnya?" tanya Lucius, wajahnya menunduk memperhatikan kakinya.
"Benar-benar hangus," tegas Ethan, "bahkan aku hampir hangus jika tidak berteleportasi."
Lucius menghela napas lega, tujuan mereka sudah tercapai. Walau konsekuensi yang mereka dapat adalah luka, setidaknya masalah ini selesai sesuai perkiraannya.
"Dan kau tahu? Argus sekarang dipenjara di pack Kak Mirabella!"
Berita bagus. Lucius merasa beban di bahunya terangkat sedikit demi sedikit.
"Ethan, Lucius!"
Ethan menoleh spontan mendengar teriakan Jasmine di kejauhan. Matanya melotot saat melihat Claire sedang dibopong oleh Conor, ketiga orang itu mendekati tempat Ethan dan Lucius singgah.
"Claire! Kau sudah baikan?" tanya Ethan ketika Conor menghentikan langkah di dekat bangku taman.
"Hati-hati, ya." Conor mendudukan Claire persis di samping Ethan, lelaki itu kemudian menegakkan badan. "Dad tinggal dulu."
"Terima kasih, Dad." Claire tersenyum simpul.
Begitu Conor meninggalkan tempat itu, suasana pecah oleh suara Jasmine.
"Akhirnya kita bisa berkumpul lagi!" serunya, wajah gadis itu berbinar. Jasmine tersenyum lebar, hari-hari membosankan di dalam kamar usai hari ini.
Claire tetap diam. Tubuhnya masih dalan masa pemulihan, nyaris semua berbalut perban. Hanya wajah gadis itu yang bersih dari perban, dan itu sudah cukup membuat Claire bersyukur. Beberapa hari ini, Conor-lah yang menjadi kaki untuk Claire. Lelaki itu mengantar ke mana pun ia pergi, menemani saat waktu senggang. Maggie, walau masih terpukul mengetahui kondisi anaknya, tetap telaten merawat Claire.
"Claire," panggil Lucius, mata itu menatap intens gadis yang selalu tersenyum bahkan saat dirinya nyaris mati.
"Ya?" Claire menunggu, begitu juga Ethan dan Jasmine.
"Maaf."
Pelan dan lirih, Lucius berucap seringan kapas. Raut wajahnya menunjukkan penyesalan.
"Ini bukan salah siapa pun, Lucius." Suara Claire masih sama, lembut menggetarkan hati pemuda itu. "Berhenti menyalahkan dirimu."
"Setuju! Aku sudah mengatakan kalimat yang sama berkali-kali, tetapi Lucius masih saja murung." Ethan berkata cepat, seperti seorang anak yang mengadu pada ibunya. "Nasihati saja dia, Claire."
Claire tertawa kecil saat Lucius melayangkan cubitan di lengan Ethan, keisengan itu sukses membuat Ethan berteriak kesakitan.
"Hei! Sakit tahu!" sungutnya, tidak terima dengan perbuatan Lucius.
"Aku punya ide bagus!" Tiba-tiba Jasmine berseru, sepertinya ia baru saja mendapat ide brilian untuk kegiatan mereka selanjutnya. "Bagaimana kalau kita liburan? Pergi ke pack Kak Mirabella, aku ingin mengejek Kak Kenzie haha."
Ethan memberengut, wajahnya tertekuk. Ia membuang muka seraya mengunci mulut rapat-rapat.
"Tidak ada tempat lain?" tanya Claire. Ia berusaha mengubah tujuan destinasi mereka, sebab ia tahu ada seseorang yang tengah menahan kesal.
"Hm." Jasmine tampak berpikir, keningnya berkerut. "Rumah Kak Ria?"
"Ayo ke sana!" seru Ethan sambil bangkit dari duduknya. "Duh!" Segera ia memegangi punggungnya yang berbalut perban, nyeri sekali.
"Makanya jangan kebanyakan bergerak!" nasihat Jasmine, sedikit mengomel karena gerakan spontan Ethan.
"Ketika kita sudah sembuh, mari berkunjung ke rumah Kak Ria," ajak Claire.
Jasmine kegirangan, ia bahkan melompat dan bertepuk tangan heboh. Ethan mengangguk setuju dengan usulan Claire. Sedangkan Lucius hanya diam memandangi wajah manis Claire.
-oOo-
Seperti kata Lucius, "Selesai."Sampai jumpa, maaf menggantung cerita ini nyaris setahun lamanya.
15 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Back [TAMAT]
FantasíaPLAGIATOR DILARANG MENDEKAT! INGAT ADA AZAB ••• Sequel Castilia Academy Diharapkan membaca Castilia Academy untuk kenyamanan dalam membaca ••• Ketika semua orang mengira, peperangan singkat itu adalah akhir dari segalanya. Semua dugaan itu ternyata...