Mengerjapkan mata adalah hal yang pertama kulakukan. Dengan melihat disekelilingku, ruangan bernuansa putih ini yang paling dominan diantara semuanya.
Samar-samar kudengar suara, "Bagaimana keadaanmu?" Aku melirik dengan ujung mata. Yang pertama kutangkap adalah seseorang yang menggunakan cardingan putih dengan tangannya yang menggantung di saku kiri bajunya.
"Sssttt ...," ringisku. Kepalaku masih saja berdenyut, kupegang rambutku masih basah dan sangat pekat dengan adanya bau kuah bakso.
"Sudah berapa lama?" tanya orang itu.
"Aku dimana, dan kau siapa?" Sambil memandangi laki-laki ber-jas putih ini dari atas sampai bawah. Raut mukanya sangat enak dipandang, dengan kulit bersih serta kumis tipisnya. Bulu matanya terlihat sangat lentik jika di pandang dari posisiku sekarang.
"Beristirahatlah dulu, kalau sudah baikan. Silahkan berkunjung ke ruanganku," ucapnya sambil menunjuk ruangan yang tepat diarah pendang mataku. Ku lihat di depan ruangan itu tertulis 'Tidak diperbolehkan masuk jika tidak berkepentingan'
Sekarang, tinggal diriku sendiri di ruangan ini. Aku turun dari brankar dan niat pergi ke toilet yang berada diruangan ini. Tapi langkahku terhenti ketika indra penglihatanku tak sengaja mengamati kearah luar jendela.
"HA!?" bersamaan dengan mataku yang terbelalak kaget. Di bawah sana kulihat orang-orang menggunakan baju pasien berwarna biru, ternyata diriku dirumah sakit. Tapi, dirumah sakit mana? sudah bertahun-tahun aku tinggal dikota ini tapi tidak pernah sekalipun aku mengetahui Rumah Sakit ini.
Dengan langkah setengah berlari aku keluar dari tempat ini dan tanpa mengetuk terlebih dahulu, aku langsung masuk kedalam ruangan yang sempat diberitahukan kepadaku tadi.
Mungkin karena kedatanganku yang tiba-tiba, orang yang duduk dikursi putar itu refleks berdiri bersamaan dengan dirinya yang memperbaiki baju pengabdiannya itu.
"Siapa yang membawa diriku kesini ha?" Amukku kepada seseorang yang hanya berbatas meja dari diriku. Kulihat dia menelpon dan berbicara sambil melirikku. Aku merasakan hal-hal yang tidak enak, sepertinya akan terjadi hal baru dalam diriku. Entah buruk atau baik.
"Duduk dulu. tenangkan dirimu," ucapnya sambil mempersilahkan diriku duduk dan langsung kutepis.
"Bagaimana aku bisa tenang? sedangkan tempat ini bukan habitatku!" Resahku. "Kenapa aku tidak dibawa ke rumah sakit bia—
Tok ... Tok
"Masuk," ucap seorang yang berseberangan meja dengan diriku. Kulihat seorang wanita dengan balutan seragam putih yang ku yakin adalah Suster dirumah sakit ini."Ada yang bisa saya bantu, Psikiater Jun?" ucap Suster itu.
"Tolong bersihkan bangsal B3 di lantai 2," ucapnya sembari melirikku. "Dan jangan tinggalkan jejak pasien lama di bangsal itu, terutama pulpen!" tegasnya dan langsung diangguki Suster tersebut.
"Kau seorang Psikiater, bagaimana bisa?" ucapku. Jujur saja, aku tak ingin berlama-lama ditempat orang yang punya Kelainan Mental seperti diriku. Orang-orang disini pasti tidak ada bedanya dari golongan Meria dan antek-anteknya. Aku tak mau semakin mempersulit diriku.
"Apa kau bisa bertahan hidup dengan kelainan mentalmu itu?" seketika langkahku terhenti begitu saja mendengar suara sindiran dari Psikiater itu.
Tanpa menunda waktu lebih lama lagi, aku berlari dengan secepat mungkin meninggalkan ruangan itu. Persetan dengan Sakit Mental ini. Bukan aku tidak mau sembuh, kurasa ini bukan waktu yang tepat. Ketika sampai di depan lift aku menekan tombol dengan sangat tergesa-gesa tapi hasilnya nihil. Aku berbelok dan mencari tangga darurat, tapi seketika dadaku bergemuruh seiring mendengar suara sirene Rumah Sakit.
Menuruni anak tangga dengan sangat cepat, rok sekolahku sudah ter-ayun sana sini. Tidak boleh, tidak boleh. Aku menyugesti diriku sendiri untuk tidak boleh menjadi salah satu pasien di Rumah Sakit Jiwa ini.
Tidak peduli lagi dengan kakiku yang sakit, yang ada di benakku sekarang adalah 'Pergi meninggalkan tempat gila ini'.
Seketika nafasku legah begitu melihat jalan keluar di depan sana. Tapi seseorang menarikku secara paksa, aku memberontak. Mencoba melepaskan diriku, tapi tetap saja aku kalah tenaga. Bayangkan saja, aku harus memberontak melawan tiga suster sekaligus. Terpaksa aku menyerah seiring dengan tenagaku yang melemah. Hanya melemah, tapi tidak pingsan.
Kudengar suara tandu dorong, melihat kearah kiriku disana ada seorang suster yang mendorong alat itu. Lengkap dengan tali. What the hell?
Aku miris melihat diriku sendiri yang sudah terbaring diatas brankar tersebut. Bukan infus yang melingkar ditanganku, melainkan sebuah tali dikasurnya yang mengikat pergelangan tanganku.
"Lepaskan aku!" racauku. Kulihat Psikiater itu menarik kursi dan duduk disamping brangkarku, hingga ku palingkan wajahku menghadap langsung ke jendela.
"Tenanglah. Aku tidak ingin menyiksamu, tapi kau sendiri yang justru ingin membunuh dirimu secara perlahan," ucapnya sembari mengamati wajahku.
"Bipolar disorder!" Tebaknya.
Aku kaget mendengar suara tegas itu, apa? Bipolar Disorder?
"Mana ada!" Pungkasku cepat.
"Apa kau tidak bisa melihat nametagku hm? aku seorang Psikiater," ucapnya dan lagi-lagi meneliti wajahku.
"Bodoamat. Aku ingin pulang, lepaskan! Malam ini aku mau kerja."
"Tenangkan dulu pikiranmu, kau masih sangat muda. Emosimu belum bisa terkontrol, jadi tolong ikuti saja intruksiku. Aku ada jadwal sebentar, jangan kemana-mana. Tunggu disini!" Dia berdiri memperbaiki jas pengabdiannya itu. "Jangan mencoba kabur dari sini, kurasa kau melihat benda apa yang berada dipojok atas ruangan ini." Tunjuknya kearah CCTV dan segera meninggalkan diriku untuk yang kedua kalinya.
Dia menyembulkan kepalanya di pintu dan berucap dengan jari telunjuknya yang melayang di udara "Ingat, jangan coba-coba kabur."
Aku menghembuskan nafas kasar, ruangan ini berbeda dari sebelumnya. Berukuran 4×6, dengan fasilitas yang sangat sedikit. Hanya ada brankar, kursi satu ditambah dengan lemari gantung dekat brankarku. Ah iya, dengan sebuah jam yang tergantung tepat diatas pintu masuk.
•••
Pukul 16.20
Aku sangat bosan berada diruangan ini, yang kulakukan dari tadi hanya duduk, diam, tidur dan mengamati kota diluar sana melalui jendela kaca.Kemana Psikiater itu? Katanya dia ingin mengunjungiku? Apa dia hanya mempermainkanku agar aku tidak kabur dari sini? Ah.
Ceklek
Aku menoleh kearah pintu yang mulai terdorong, menampilkan seorang suster."Ny. Maretta, benar?" ucapnya sembari menenteng sebuah papan data informasi lengkap dengan pulpen.
"Iya."
"Psikiater Jun menyampaikan bahwa pertemuan Ny. Maretta dengan dirinya ditunda, dikarenakan ada pasien yang lebih dulu harus dia tangani," ucapnya suster itu.
"Terus, saya?"
"Anda boleh diruangan ini dulu, sampai Psikiater Jun selesai."
"Baiklah," Putusku. Aku malas berbicara hari ini.
Psikiater itu seenak saja mengatur diriku, dia tidak tahu apa? Aku ini tidak punya biaya untuk berobat seperti ini. Dulu saja aku berkonsultasi ke Psikolog, uangku habis hampir setengah dari gajiku per bulan, benar-benar menyebalkan.
Lama menunggu, akhirnya aku tertidur dengan sendirinya. Terjun ke alam bawah sadar, tiba-tiba suara decitan pintu membangunkanku.
"Maafkan aku,"
•••
Salam hangat,
Azashakila❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Maretta's Mental Disorder
General Fiction"Maaf, kau tidak bisa sembuh secara total. Kelainan mentalmu ini, bukan kelainan mental ringan. Ini berat," ucap Psikiater Jun dan memijit pelipisnya. "Apa saya tidak bisa disembuhkan?" tanyaku sekali lagi. "Bipolar tidak bisa sembuh total, hanya bi...