*25 September 2017
Hawa dingin menusuk kulit saat Anja melangkahkan kaki menyusuri jalan setapak menuju taman tak jauh dari tempat tinggalnya berada.
Hari sudah hampir larut, tapi kantuk tak kunjung datang, membuat Anja memilih mengelilingi daerah tempat tinggalnya yang baru. Mencoba peruntungan barangkali saja, ia temukan tempat pelarian selain jembatan Kali Biru favoritnya.
Anja hendak melangkah saat sesuatu-atau lebih tepatnya seseorang-menabraknya dari arah belakang.
"Aduh."
"Eh—Sorry ... sorry ..., " sang penabrak meminta maaf. "Gue gak se—Anja??"
Anja yang tengah meringis seketika mendongak. Matanya menemukan figure yang baru ia temui tiga hari lalu. "Loh, Esa?"
Sang lawan bicara tertawa kecil. "Hai!" Ia lalu meringis tak enak hati. "Lo gapapa? Gak ada yang luka?"
Anja terkekeh. "Gak apa."
"Duh sorry banget ya, Nja. Gue beneran gak sengaja."
"Iya, Esa."
Mahesa tersenyum.
"Kenapa lari-lari?"
Pemuda itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Lagi menghindar dari temen yang minta traktir."
Gadis itu menggelengkan kepala. "Ada-ada aja."
Mahesa memperhatikan gadis itu. "Lo mau ke mana tengah malam begini?"
"Mau ke taman depan."
"Nyari ketenangan lagi?"
Gadis itu menggeleng. "Gak bisa tidur."
Mahesa terkekeh. "Gue boleh ikut gak?"
"Boleh aja."
Setelahnya mereka berjalan beriringan menuju taman yang berada tak jauh di depan.
"Rumah lo daerah sini, Nja?" Mahesa kembali membuka percakapan.
"Iya. Lo di sini juga?"
"Oh enggak. Gue lagi main di rumah temen."
Anja manggut-manggut. "Nanti di cariin temen lo gak?"
Mahesa terkekeh. "Gak akan."
Begitu sampai, gadis kelabu itu lalu mendudukkan diri di kursi taman.
"Itu temen yang ngerjain lo kemarin?"
Mahesa merengut, kemudian ikut mendudukkan diri di sebelah gadis itu. "Jangan diingetin please, gue malu banget."
Anja tertawa.
"Dan iya, itu salah satu temen yang ngerjain gue kemarin. Haris namanya."
"Oh, emang ada berapa orang?"
"Delapan sama gue."
"Wah!" Mata gadis itu membola lucu. "Seru banget temen lo banyak!"
Mahesa terkekeh. "Gak juga ah, lebih sering bikin rusuh ketimbang serunya."
"Tapi kan tetep aja seru."
Pemuda itu terkekeh lagi. "Emang temen lo gak seru?"
Tatapan gadis itu seketika meredup. Ia lalu menggeleng pelan. "Gue gak punya temen."
Mahesa membola. "Serius?"
Anja mengangguk pelan. "Iya serius." Ia menghempaskan bahu. "Lagipula, gue udah terbiasa sendiri."
"Even ... satu pun gak ada?"
Gadis itu melirik sebentar, menggoyangkan kakinya dengan lucu. "Sebenarnya ada satu. Dia baik. Baik banget." Gadis itu menatap lurus ke arah depan. "Bagi gue, dia lebih dari sekadar teman. Tapi gue gak pernah berani beranggapan bahwa gue adalah temannya, terlebih sahabatnya. Karna menurut gue, gue gak pantas."
"Kenapa?"
Gadis itu menoleh, lalu tersenyum tipis. "Gapapa."
Mahesa tersenyum memaklumi. Ia tau, mereka baru saja kenal, masih terlalu dini jika memutuskan untuk bercerita tentang persoalan pribadi terhadap satu sama lain.
"Kalo gitu," Pemuda itu tegakkan tubuh. "Mulai sekarang, lo gak akan kesepian lagi."
Anja mengerjap. "G-gimana?"
Mahesa tersenyum lebar lalu melanjutkan, "Soalnya mulai sekarang, Mahesa bakal terus meramaikan hidupnya Anjani."
Gadis itu terkekeh. "Ada-ada aja."
"Tapi boleh kan?"
Gadis itu menoleh lagi, kemudian tersenyum dengan mata bulan sabitnya. "Boleh."
Mahesa ikut tersenyum. Pandangannya lalu beralih pada bulan yang bersinar terang di atas sana.
Gadis di sebelahnya lakukan hal yang sama. "Bulannya cantik."
"Iya, Cantik. Cantik banget."
Anja menoleh, dan demi tuhan. Ia tak akan pernah menyesal, bisa berada dalam jarak sedekat ini, menatap langsung pada pemuda yang tengah memandang penuh kagum pada benda langit berbentuk setengah lingkaran yang memancarkan cahaya di antara bentang langit malam.
Pemuda itu tampan, kelewat tampan kalo boleh Anja akui.
Bahkan disaat pemuda itu berdiri di bawah cahaya remang saja, pahatan sempurna-nya masih terlihat sangat jelas.
Maka saat Anja diberi kesempatan untuk dapat menatap langsung dalam jarak dekat, maha karya tuhan dari samping tubuh, dengan senyum teramat manis juga mata berbinar penuh kekaguman, di bawah guyuran sinar rembulan, berkali-kali lipat lebih indah,
Sedetik pun dirinya tak pernah menyesal dan berhenti berucap syukur. Terlebih Tuhan telah mempertemukan di ujung keputus-asaan gadis itu, dengan cara terlampau konyol.
Pada tengah malam itu, di bawah guyuran sinar rembulan, sang gadis kelabu sudah jatuh. Dan semakin jatuh.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
away | ksm, hyj [✓]
Short StoryMahesa berharap dirinya tak pernah terlambat, perihal apapun menyangkut Anja. © name eskalokal & itzyslokal