20 Januari 2018

210 60 5
                                    


*


20 Januari 2018

Bunyi ponsel Anja yang terus menerus berdering membuat gadis itu terusik dari tidurnya. Ia terduduk, tangannya bergerak mengambil ponsel di atas nakas sebelum memilih mengangkat panggilan.

"Halo ..., "

"Halo, Nja. Anja?"

Suara tak asing dari seberang sana membuat Anja mengeryit. "Haris?"

"Iya, Nja. Ini gue, Haris."

"Kenapa, Ris?" Anja melirik jam dinding di pojok atas. Pukul 02.00.

"Maaf banget gue ganggu lo jam segini. Esa lagi sama lo gak?"

Anja mengeryit. "Engga, Ris."

"... atau kali aja lo tau dia pergi ke mana gitu?"

Anja menggeleng tanpa sadar. "Engga juga. Gue terakhir ketemu dia kemarin malam."

Terdengar Haris mengumpat dari seberang sana. "Kenapa, Ris?"

"Dia gak ada kabar."

"Oh, mungkin lagi sibuk di studio."

"Enggak. Gak ada."

"Udah lo cek di apart dia?"

"Udah, tapi gak ada." Haris terdengar menghela napas. "Tadi sore dia pamit mau balik ke rumah karna ada yang perlu di ambil, tapi sampai sekarang gak ada kabar. Ponselnya juga gak aktif."

Anja terdiam sebentar, sebelum berujar tak yakin, "Mungkin dia lagi ada perlu .... "

"Gak. Gak gitu, Nja." Haris mendesah. "Masalahnya dia abis berantem sama bokapnya."

Anja terbelalak. "Kenapa??"

"Dia emang sering cekcok sama bokapnya. Ma—,"

Bunyi Bip. terdengar, menandakan adanya panggilan lain yang masuk.

"Kenapa, Nja?"

"Sebentar," Anja buru-buru memeriksa. Matanya seketika membola. Gadis itu refleks berseru, "Dari Esa!"

"Hah? Apa?"

"Ada telpon dari, Esa! Gue matiin dulu ya, Ris. Nanti gue kabarin."

"Oh, oke. Kabarin gue jangan lupa."

Tut.

Begitu panggilan dengan Haris terputus. Dengan segera ia mengangkat panggilan dari Mahesa.

"Halo ..., "

"Nja ..., " sapaan lirih terdengar dari seberang sana, seketika membuat Anja diliputi perasaan khawatir.

"Sa?" Gadis itu memanggil lembut.

"Nja ... Anja .... "

Merasa ada yang tidak beres, ia buru-buru bertanya, "Lo di mana?"

"Jembatan."

Dengan segera Anja bangkit. "Gue ke situ. Jangan ke mana-mana."

"Iya."

"Tunggu gue. Jangan aneh-aneh."

"Iya. Nja?"

Pergerakan Anja terhenti. "Kenapa?"

"Pake jaket."

Tut.

Sambungan terputus. Anja menyambar hoodie miliknya, dengan cepat berlari menuju pintu lalu bergegas pergi.

***

"Esa .... "

Mahesa menoleh, mendapati Anja tengah merunduk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut, berusaha mengatur napasnya yang putus-putus.

"Lo lari?"

Anja menggeleng. "Gue jalan cepet."

Pemuda itu tersenyum tipis. Ia lalu mengisyaratkan gadis itu untuk mendekat. Anja menurut.

"Lo dari mana?" Alih-alih tanyakan kenapa, gadis itu memilih tanyakan di mana pemuda itu berada sebelumnya.

Pemuda itu tak menjawab. Tatapannya terarah lurus ke depan. Di sebelahnya, Anja melakukan hal yang sama.

Semilir angin berhembus, menerbangkan helaian rambut dua anak manusia yang tengah bergelung dengan pikirannya masing-masing.

Hening masih menyelimuti.

"Gue capek."

Perkataan tiba-tiba itu membuat Anja terdiam.

"Gue capek harus terus menerus nurutin kemauan bokap gue. Gue capek harus terus cekcok dan berakhir lari."

Anja masih terdiam, mendengarkan.

"Bokap selalu maksa gue buat ikutin kemauan dia. Selalu maksa semua harus sesuai dengan rencana beliau, tanpa pernah tanya gue keberatan atau gak."

"Gue capek, Nja."

Gadis itu memandang lurus ke depan. "Istirahat."

Pemuda itu menoleh, menatap penuh tanya.

Gadis itu menoleh. "Kalau capek, istirahat." Ia kembali alihkan pandangan ke arah depan, lalu melanjutkan, "Gak ada yang bilang lo harus terus selalu menuruti apa yang di inginkan oleh seseorang yang menyebut dirinya orang tua.

"Ini hidup lo. Lo berhak melakukan apa yang lo mau tanpa dalih menuruti keegoisan yang bersembunyi di balik kata orang tua."

Mahesa memandang lurus gadis yang saat ini sudah kembali menatapnya dengan senyum tipis tersemat.

Cahaya temaram dari sinar rembulan menyorot pada sosok pemuda itu, menampilkan sesuatu yang sejak tadi tak terlihat dengan jelas oleh pandangan.

Anja menatap khawatir begitu tangkap dengan jelas wajah Mahesa di bawah sinar rembulan. "Muka lo kenapa?"

Mahesa melengos. Enggan menatap.

Gadis itu segera menangkup wajah Mahesa, menariknya agar kembali menghadap dirinya. "Kenapa?"

Mahesa menghela napas. "Dipukul bokap."

Anja sedikit tersentak.

"Karna gue ngelawan jadinya beliau marah dan berakhir mukul gue. And then, gue lagi-lagi lari." Mahesa menjelaskan sebelum gadis itu kembali melontarkan tanya.

"Udah diobatin belum?"

Mahesa menggeleng.

"Tunggu di sini." Anja hendak berbalik, namun Mahesa lebih dulu menahan pergerakannya.

"Kenapa?"

Mahesa menggeleng.

Anja menghela napas. Kembali ia bawa tubuhnya mendekat, arahkan tangan untuk sentuh wajah penuh lebam itu, "Pasti sakit banget .... "

Mahesa memejamkan mata saat merasakan sentuhan lembut pada area lukanya.

"Obatin dulu ya?"

Mahesa menggeleng. Tangannya bergerak naik, menggengam tangan gadis yang masih mengusap dengan lembut, membuka mata perlahan, lalu lemparkan tatapan sarat akan kelelahan.

"Nja,"

"Kenapa?"

"Boleh peluk?"

Gadis itu mengerjap. Sedetik setelahnya ia tersenyum seraya membuka lengannya lebar-lebar, "Sini."

Dan tanpa menunggu lebih lama, pemuda itu segera berhambur ke dalam pelukan sang gadis bersurai kelabu. Mendekap erat, mencari nyaman pada ceruk leher beraromakan telon.

Pelukan itu hangat, lebih hangat dari pada semburat mentari di kala petang. Rasanya sudah lama ia tak merasakan perasaan ini. Rasanya seperti kembali pulang, pulang ke rumah ternyamannya.


*

away | ksm, hyj [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang