Hari kemenangan telah hadir. Kedatangannya disambut senyum penuh suka cita oleh segelintir ummat yang benar-benar tengah merasakan kemenangan. Bagi ummat muslim, inilah saatnya. Puncak di mana nafsu kembali diumbar setelah sebulan penuh terikat oleh kesucian.
Hari raya idul fitri. Tak banyak perbedaan, setiap perayaan pasti melulu tentang kue dan beberapa makanan khas lainnya. Saling berjabat tangan, mencoba menghapus dosa kecil maupun besar melalui tutur kata maaf yang di pondasi oleh sebuah keihklasan.
Begitu pula dengan sebuah keluarga kecil yang beranggotakan tiga laki-laki ini. Walau terbilang masih dalam keadaan berduka sebab baru ditinggal sang ibu, ketiganya terlihat cukup menikmati hari kemenangan mereka dengan berkumpul di ruang televisi sembari memakan kue yang si sulung beli dari pasar. Sehabis salat Ied berjama'ah di masjid, tak ada kegiatan spesial yang mereka rencakan. Ketiganya masih memilih menikmati kebersamaan mereka.
"Brisik, angkat ngapa itu teleponnya, Bang!"
Si pemilik ponsel lantas meraih benda pipih itu dari atas meja. Menatap dengan alis menungkik lalu kembali menghempaskan benda itu cukup kasar, membuat Aska dan Arga menatap dengan sedikit jengkel.
"Kalo nggak penting, di-silent, Ar." Si sulung akhirnya bersuara, membuat Arkan akhirnya menyambar sang ponsel lalu berdiri.
"Susah kalo punya mukak ganteng, hari raya mau quality time sama keluarga aja nggak bisa."
"Narsis kau bangsat." Aska mendecih lalu akhirnya kembali fokus pada televisi saat kaki jenjang Arkan mulai menjauh dan tertelan pintu.
Tak ada percakapan setelahnya, ruangan minimalis ini sekarang hanya berisi suara wartawan yang sedang menjelaskan kondisi jalanan lintas saat ini. Aska membuang napas kasar lalu bersandar penuh pada sandaran sofa. Ekor matanya melirik eksitensi si sulung yang tampak fokus dengan benda petak di depan. Selalu begini, masih mending kalau ada Arkan yang selalu punya seribu macam topik yang akhirnya menimbulkan perdebatan seru. Tidak dengan Arga, pria yang memiliki tatapan datar dan membosankan. Jika sudah bertemu dengan kopi dan televisi seperti saat ini, jangan harap akan ada suara yang keluar dari bibirnya.
"Bang, tadi di masjid gue beneran di maafin?"
"He'em."
Aska melipat kakinya lalu menghadap penuh ke arah sang kakak. "Kalo gitu, boleh beli temennya jupri 'kan? Satu aja. Kemaren ada Odoy nawarin, murah."
"Nggak, cukup satu. Nggak ada istilah anjing baru di rumah ini."
Remaja yang memiliki belahan di bagian dagu itu langsung mendesah dan mengacak surai frustasi. "Just anjing, apa masalahnya, Bang?"
"Gue nggak suka," jawab laki-laki itu tanpa ekspresi juga tanpa menoleh. Sepertinya, kesabaran Aska benar-benar sedang diuji saat ini.
"Bang, lo nggak bisa maksa seseorang buat nggak menyukai apa yang nggak lo suka 'kan?"
Arga melirik sedikit lalu menoleh. Bibirnya merapat dan sedikit tertarik ke kiri. "Siapa bilang gue maksa lo buat nggak suka anjing. Itu si Jupri?"
"Bodo lah, nggak peduli gue."
Tubuh kurus itu tiba-tiba berdiri dan berjalan dengan langkah lebar. Arga menatap dengan sebelah alis yang menaik. Diraihnya secangkir kopi kemasan di atas meja lalu menyesapnya dengan santai.
"Ambekan."
-Brothersick-
"Iya sayang, kan aku udah bilang dari tadi, ponselnya ketinggalan di kamar, lagi sungkem sama keluarga di bawah. Kok jadi panjang gini 'sih?"
Kalau saja bisa, ingin sekali rasanya Aska memuntahkan rasa jijiknya saat tak sengaja suara buaya semacam Arkan terdengar melukai gendang telinganya. Dengan meninggalkan satu tendangan kasar di sisi pintu, remaja itu berlalu dengan santai memasuki kamarnya yang tentu hanya berbatas dinding dengan kamar Arkan.
Setelah merasa pintu sudah terkunci apik, remaja kurus itu pun langsung menuju nakas, menarik salah satu lacinya dan mengambil sebungkus rokok berwarna biru dari sana. Tak lupa si pemantik, Aska lantas menggiring langkahnya menuju jendela dan mulai mengeluarkan satu batang benda berbahan dasar nikotin itu.
Asap mulai mengepul indah, menjamahi setiap inci wajahnya yang masih terbilang mulus tanpa satu jerawat pun. Dagunya yang berbelah masih tampak elok menambah kesan manis atas paduan indah di wajahnya. Sesekali asap keluar dari lubang hidung bangirnya. Seketika, rasa dongkolnya meluap, emosinya terkendali dan yang pasti ... Aska merasa lega dan santai.
Merasa asap tak keluar, Aska kembali menyingkap kain gorden dengan lebar. Untung jendelanya model engsel samping, jadi sangat mudah bagi udara untuk keluar masuk kamar pengapnya. Antisipasi saja, takut kalau-kalau Arga tiba-tiba datang dan menghirup aroma asap rokoknya yang masih mengepul di ruangan.
Bukannya pengecut, Aska hanya sadar bahwa yang ia lakukan ini, salah. Arga pasti marah, itu jelas. Umurnya masih tujuh belas tahun dan satu bulan lagi baru hendak melaksanakan ujian kelulusan. Sebenarnya belum pantas mengenal rokok. Tapi apalah daya, Aska terlalu bebas, ia sampai tak bisa memungkiri bahwa rokok sudah menjadi kebutuhan rutinnya, bukan lagi sebagai benda pelarian semata.
Sejak dulu, tepatnya saat ia duduk di kelas dua menengah pertama, saat masa sulit perundungannya terasa memuncak, Aska menerima saran teman nongkrongnya untuk mencoba benda bernikotin itu dengan iming-iming sebuah kenikmatan dan kelegaan. Awalnya Aska tak percaya dan menocoba. Untuk sekali isapan, ia terbatuk, tapi kata temannya itu biasa. Sampai di penghujung batang, Aska benar-benar merasakannya. Rasa lega dan nikmat, hingga ... candu, sampai saat ini.
Duak!
"Heh! Buka woy! Ngapain pake dikunci segala? Coli lu di dalem?"
Dengan mulut yang masih tersumpal rokok dengan iringan asap, dengan santai Aska berjalan dan membuka pintu hingga terlihatlah wajah si buaya darat kita. Arkan, laki-laki itu langsung mendorong Aska masuk lalu kembali menutup pintu.
"Gila, jangan nantang gitu, Ka. Kalo bang Arga liat, bisa mati lu."
"Udah gede, bodo amat lah kalau pun dia tau," jawab Aska santai lalu merebahkan diri di kasur dan menikmati isapannya sambil memandang langit-langit kamar.
Arkan menggeleng pasrah. Kalau saja bisa, ingin sekali rasanya ia menyumpal mulut anak itu dengan puntung-puntung rokoknya yang terlihat berserak di lantai dekat jendela. Laki-laki itu maju lalu menggesernya memakai kaki menuju sudut, takut kalau-kalau sampai ketahuan si sulung.
"Efek rokok banyak, bibir item, paru-paru item, hati item, gigi item, napas pende-"
"Kelainan jantung, hipotensi, keguguran, gagal ginjal," potong Aska tanpa jeda.
Arkan mengerling. "Gini nih, kelakuan anak yang kebanyakan nontonin drama Fizi, kerjaannya ngelawan mulu. Dikasih tau bagus kok malah."
Satu embusan penuh kepul asap Aska keluarkan dari mulut lalu membuang asal puntung yang belum sepenuhnya padam itu ke sembarang arah.
"Ikutin kata-kata fuckboy kayak elu itu semacam curhat sama dukun. Sesat."
Ceklek~
"Kalian turun, di bawah ad-"
Mata Arga sejenak berhenti, fokusnya terkunci pada benda putih pendek yang masih sedikit mengeluarkan asap di dekat sendalnya.
"Puntung ini punya siapa?"
- Brothersick -
KAMU SEDANG MEMBACA
Brothersick
Teen Fiction#Teenfiction #Sicklit #Chimon Namanya Aska Aileen Nagarjuna, remaja bermulut kotor yang sialnya memiliki wajah kelewat manis. Alergi mencium yang berbau kebahagiaan dan keluarga membuatnya tumbuh menjadi anak yang sangat tertutup. Dirundung akibat t...