Arga menyesap kopi andalannya dengan nikmat. Sang mata fokus menatap gawai di genggaman. Sesekali kekehan keluar dari bibirnya. Menikmati pagi dengan secangkir minuman favorit sembari menonton para pelawak ternyata bisa sedikit menghilangkan penat. Biasanya pada jam-jam ini, Arga sudah bergulat dengan tumpukan berkas. Jadi, pemuda mancung itu harus benar-benar memanfaatkan libur idul fitrinya ini.
"Kopi teros. Masih pagi juga."
Netranya lantas berpindah, mendapati sang adik yang sudah ikut duduk di sampingnya. Anak itu tampak mengusak rambut dengan handuk kecilnya. Sensasi harum shampo menthol pun lantas menguar menjamahi penciuman.
"Laper? Abang nggak masak. Sayur yang dikasih tante Salamah juga masih ada di kulkas tinggal manasin. Kalo males, beli bubur ayam aja di depan komplek."
Aska menyodorkan tangannya. "Minta duit."
Sejenak Arkan meletakkan gawainya di atas meja. Merogoh saku lalu menyerahkan beberapa lembar uang. "Beli dua, buat Arkan juga."
"Abang?"
"Gue nanti aja."
"Emang cari mati ya lo. Perut belom diisi udah minum kopi."
"Udah sana."
Arga hanya acuh dan kembali fokus dengan gawainya. Aska mencibir lalu mulai beranjak.
Setelah menenteng satu kresek putih berisikan dua kotak berwarna putih, Aska berjalan dengan santai menyusuri jalanan area komplek. Terhitung, ini adalah hari raya idul fitri yang kedua. Namun, jalanan tampak lengang. Bahkan hanya sedikit yang terlihat bepergian mengunjungi sanak saudara. Kebijakan pemerintah yang mengharuskan para masyarakan untuk tetap di rumah saja sepertinya terlaksana dengan apik. Ya, ini juga untuk kebaikan bersama.
Lagipula, apa peduli Aska tentang itu. Baginya, adanya kebijakan atau tidak, ia tetap akan di rumah saja. Bahkan sedari ibunya masih ada dulu. Rutinitas rutin meminta maaf di setiap tahunnya namun kesalahan yang sama kembali diperbuat, untuk apa? Ya, nyatanya pemikiran Aska sesempit itu.
Sejenak kedua kaki jenjang anak itu berhenti melangkah. Sebelah tangannya terulur memasuki saku celana training yang ia kenakan. Matanya menajam, meneliti sosok pria berpakaian rapih yang terlihat mengamati sang rumah tepat di depan pagar.
Tiba-tiba, pria pemilik sepatu pentofel itu terkejut mendapati eksistensi Aska yang berdiri dengan ekspresi wajah datar. Ia dengan cepat melempar senyum sembari meneliti setiap jengkal tubuh mungil Aska.
"Ini rumah kamu, Dek?"
Aska mengangguk. Matanya masih melayangkan tatapan tajam saat mengingat betapa aneh gelagat pria di hadapannya ini.
"Adeknya Arga?"
"Mau apa?" Tanpa basa-basi, Aska bertanya dengan nada ketusnya.
Si pria tertawa. Kedua tangan lelaki paruh baya itu terlihat masuk menyelusup ke saku jaket yang ia kenakan. Ia tak berhenti menjatuhkan tatap ke setiap lekuk wajah Aska.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brothersick
Novela Juvenil#Teenfiction #Sicklit #Chimon Namanya Aska Aileen Nagarjuna, remaja bermulut kotor yang sialnya memiliki wajah kelewat manis. Alergi mencium yang berbau kebahagiaan dan keluarga membuatnya tumbuh menjadi anak yang sangat tertutup. Dirundung akibat t...