Hening.
Aska melirik kecil ke arah Arkan guna meminta pertolongan. Arkan sendiri memilih buang muka sambil menggaruk leher jenjangnya. Merasa diacuhkan, Arga pun semakin gencar bertanya tanpa nada.
"Ehehe, nggak mungkin Aska lah, Bang. Ya kali Aska ngerokok."
Arkan refleks mengerlingkan mata sambil mencibir dalam hati. Mulut siapa tadi yang bilang; Udah gede. Bodo amatlah kalau pun dia tahu. Cih!
"Punya lo, Ar?"
Tak ada pilihan. Melihat tatapan penuh permohonan dari sang adik membuat satu anggukan malas terpaksa Arkan gerakkan.
"Iye, Bang. Maap, khilaf."
Sempat terjadi adegan menegangkan saat Arga mengunci tatapannya cukup lama pada wajah Aska. Alis pemuda bermuka datar itu mengkerut lalu beralih menatap Arkan dengan malas.
"Em, ayo ke luar. Ada tante Salamah di bawah," tutur Arga. "Itu puntung kalau malas buang ke luar, telen aja," sambungnya dan berlalu.
Aska buru-buru meluaskan udara yang sempat tertahan menghimpit paru-paru. Ditatapnya Arkan yang sedang memasang raut kesal dengan senyum lebar.
"Tenang. Nanti gue kasih imbalan," tutur Aska. Remaja itu mulai memungut puntung dan membuangnya melalui jendela. Sesekali terbatuk, membuat yang lebih tua menghela napas.
"Berhenti, Dek. Mau sampe kapan?"
"Sampe gue puas."
-Brothersick-
"Eh, ada neng Sindi. Cantik banget neng, aduh."
Si gadis lantas tertunduk malu. Bokongnya beringsut menempel pada sang ibu sembari membenarkan rok yang sama sekali tidak berantakan. Memang, pujian beralaskan gombalan semacam tadi terlampau sering ia dengar. Tapi kali ini beda. Kata-kata itu keluar dari buaya darat yang sialnya memiliki wajah tampan semacam Arkan.
"Apaan sih, Ar," ujar gadis itu kemudian.
Arga geleng kepala lalu memilih membantu Bu Salamah menata beberapa makanan yang wanita itu bawa dengan rantang tingkatnya. Sesekali saling melempar senyum saat candaan garing Arkan tertangkap indera pendengaran. Sejak ibu dari tiga laki-laki itu meninggal, hanya Bu Salamah lah yang peduli dengan ketiganya.
"Aska mana, Bang?"
"Nggak tau. Mungkin masih di kamar, Tan." Arga melirik Arkan menggunakan ekor matanya. "Adek mana?"
"Boker."
Arga mengerjab lalu mengalihkan tatap ke arah pintu pojok kiri, kamar Aska. Dalam hati merutuk kebiasaan sang adik yang tak suka keramaian dan bercengkrama dengan orang-orang. Hatinya mendadak gusar saat kecurigaannya terasa mencuat. Puntung rokok tadi. Jelas ia mengingat Arkan pernah berkata bahwa menjadi tokoh model mengharuskannya menjauh dari bahan bernikotin itu. Lantas? Apa benar Aska yang merokok?
KAMU SEDANG MEMBACA
Brothersick
Ficção Adolescente#Teenfiction #Sicklit #Chimon Namanya Aska Aileen Nagarjuna, remaja bermulut kotor yang sialnya memiliki wajah kelewat manis. Alergi mencium yang berbau kebahagiaan dan keluarga membuatnya tumbuh menjadi anak yang sangat tertutup. Dirundung akibat t...