The Truth #1

70 25 25
                                    

.
.

Recka, kamu kenapa?

.

.

Isya mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Orang dibelakangnya suka angin malam, tapi kalau diajak ngebut bisa lebih berisik dibanding suara bajaj.

Jalanan lumayan ramai. Masih jam delapan malam. Lampu dari para pedagang kaki lima dan ruko-ruko menambah suasana malam khas kota metropolitan ini.

Setiap kali melihat warteg warteg itu, Isya kembali pada bayangan Recka yang mencuci piring. Sore hari nya ia tahu fakta Recka benar-benar bekerja di sana dari ibu pemilik warteg ber-cat hijau itu.

"Mau beli apa lagi?" , tanya Isya saat motornya berhenti karena lampu merah perempatan kecil itu.

"Udahlah, ini aja, nanti Renata marah gw pinjem lo kelamaan" , jawab Dipta dengan salah satu tangan nya memegang plastik putih penuh dengan molen kecil dan onde-onde mini pula. Kesukaannya.

Jalan yang harusnya dilewati Isya untuk pergi kembali ke rumah Dipta adalah lurus kedepan. Tapi anak itu malah berbelok ke arah jalan lain saat lampu hijau menyala.

"Eh.. mau kemana woy!" , seru Dipta, tangan nya menepuk pundak sahabatnya itu cepat namun tidak menimbulkan sakit pada Isya. Tapi yang ditanya tetap melaju jauh ke tempat yang jauh berbeda dari tujuan.

Isya hanya melaju cepat, tapi Dipta tidak masalah. Sebenarnya sudah mengantuk karena hawa dingin malam itu benar-benar nyaman.

Dan mereka sampai, didepan sebuah terminal yang tidak begitu besar. Ada tempat jualan martabak telur kesukaan Isya.

"Oalah" , kata Dipta singkat saat motor Isya sudah terparkir disamping kanan gerobak martabak telur itu.

Isya menoleh pada Dipta dengan senyumnya karena Dipta mengeri maksud perginya dia ketempat ini.

"Bentaran dip, lagi ngidam gw"

"Iya"

Isya turun dari motornya sedang Dipta tetap duduk disana, menguyah makanannya.

"Biasa bang" , seru Isya yang diangguki pria yang cukup berumur itu dengan anggukan lalu menunjukkan ibu jarinya tanda mengerti yang dijawab Isya juga sama. Dipta tersenyum simpul saat tukang martabak yang diketahui bernama Karya itu tersenyum padanya.

Isya kembali ke motornya. Tapi hanya berdiri disamping motor dengan tangannya mengambil molen dari plastik yang dipegang Dipta.

"Gak mau ke Recka?"

Dipta spontan membulatkan matanya, menanggapi lelucon Isya.

"Kagak lah, ngapain?!"

"Santai" , kata Isya dengan tangannya menepuk kepala Dipta pelan.

Dipta hanya menatap Isya sinis. Sedang Isya masih tersenyum jahil.

Mungkin kurang lebih hampir setengah jam, martabak telor Isya sudah siap. Jadi Isya mengeluarkan dompetnya untuk membayar makanannya itu.

"Makasih ye bang" , kata Isya setelah tangannya menerima martabak favoritnya itu. Senyum terlukis diwajahnya selagi kakinya melangkah ke arah Dipta yang duduk di motornya.

"Seneng lo" , seru Dipta saat Isya menggantungkan martabaknya pada spion motor kirinya.

"Jelas" , jawab Isya singkat yang berbuah tawa singkat dua orang itu.

.
.
.

.

.

Daerah itu benar-benar dekat dengan rumah Recka. Menyebalkan, seperti membawa harapan untuk menemui anak itu.

Hi,Hello?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang