Dipta duduk di kursi tempat makannya lesu. Bibir nya cemberut. Tatapan nya kosong bahkan saat nasi goreng sarapan didepan nya terlihat sangat enak di tambah telur mata sapi di atasnya bahkan tak menggairahkan cewe itu.
Orang tuanya sudah keluar sejak pagi tadi, dan Dipta di minggu pagi itu hanya diam tanpa selera. Masih memikirkan soal malam kemarin. Benar. Pertanyaannya mungkin memamg terjawab. Tapi itu benar-benar bukan yang ia inginkan. Terlalu ekstreme, mungkin.
Malam itu, Isya sempat menunjukkan tempat dimana Recka bekerja. Itu benar-benar memukul dada Dipta. Benar-benar tak pernah ia bayangkan.
Tapi untuk bertanya-tanya lagi pun sudah hanya membuang waktu. Sepertinya semua berantakan untuk Dipta. Tapi, jelas. Jelas lebih berantakan yang dihadapi Recka.Hari itu, Dipta hanya tetap dirumahnya. Entah berdiam diri di kamarnya, pergi ke toilet, ke dapur. Lalu kembali diam di kamarnya dengan buku dan handphonenya mengalunkan lagu. Sedikit pengalihan.
Padahal hari itu punya cuaca yang sangat bagus. Langit biru terang dengan awan putih tipis dibagian bawah. Angin juga berhembus pelan menggerakan dedaunan di pohon tinggi.
Jalanan rumah Dipta sedari tadi sepi. Seandainya moodnya bagus sudah tersenyum sejak tadi, Dipta.Tangannya memegang benda persegi panjang itu dalam gusar. Pesan terakhir Isya hanya dibiarkan terbaca tanpa balasan. Sedikit kesal menjalar, kenapa Isya pintar sekali menebak. Padahal, bukankah 10 tahun bukan waktu yang cepat lagi untuk saling mengenal. Dan itu bukan tebakan. Jelas hanya Dipta yang tidak bisa menyadari itu.
16:45 WIB
Dipta melepas helm hijau itu dari kepalanya. Lalu menyerahkannya dengan senyum.
"Terima kasih pak" , kata Dipta sedikit menundukkan kepalanya sopan.
"Iya neng, terima kasih" , jawab bapak ojek itu ramah.
Dipta disana. Tinggal menyebrang dan sampailah. Tempat kerja Recka.
Hampir jam 5 sore, langit mulai meredup, dan lalu lalang makin ramai. Hari minggu mungkin banyak yang baru ingin pergi atau pulang nongkrong. Para pedagang kaki lima juga mulai mendirikan spanduk dagang mereka, misalnya tukang pecel lele di sisi jalan yang sama dengan Dipta.
Entah apa yang merasuki cewe itu sampai dirinya berani menatap kesana. Bukankah lebih baik dirumah. Tapi sudahlah. Dengan langkah yang masih ragu itu Dipta melangkah, menyebrang ke arah warung tegal ber-cat hijau itu.
Hanya dalam beberapa langkah, Dipta sudah sampai didepan warung nasi itu. Matanya menatap ke sekeliling. Sebenarnya otak dan pikirannya memang memikirkan Recka. Tapi jauh dari itu hatinya terus berdegup kacau, bagaimana kalau nanti benar-benar ada Recka di dalam, dia harus apa kalau sampai itu terjadi. Kabur?
Jadi sekarang Dipta hanya linglung. Menatap bangunan itu. Bahkan perempuan paruh baya pemilik warung tegal itu juga menatap Dipta dari dalam bertanya-tanya.
"Ngapain lu?"
Dipta menoleh pada sumber suara. Kepalanya menatap ke arah kanan, disana. Recka.
Dipta terkejut, terlalu tiba-tiba. Kenapa harus Recka duluan yang menemui wujudnya.Recka melangkah kearah Dipta, celana panjang hitamnya basah sempat mencuci piring dibelakang tadi. Sebenarnya Recka tidak suka melihat Dipta ada disini tapi bagaimana lagi, Dipta juga sudah tahu banyak hal.
"Ah, maaf Reck"
***
Rambutnya dikuncir kuda. Sepertinya ini rambut terpanjangnya. Biasanya baru beberapa bulan saja tiba-tiba rambutnya sudah pendek lagi, sekarang rambut itu bahkan sudah jauh melewati bahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi,Hello?
Teen FictionLagi, mungkin itu kata yang paling pas untukku sekarang . Lagi, jatuh pada bayang kelabu yang tak pernah tergapai itu . Lagi, hanya dalam satu senyuman aku kembali pada mimpi ke kanak-kanakan tentang berpegangan tangan atau mengobrol lewat telepon s...