Adrian Magenta, 7 tahun
Aku memandang gadis kecil yang tengah tersedu-sedu di hadapanku. Ia menangisi kucingnya yang mati pagi ini. Walaupun kucingnya sudah dikuburkan, Aya masih tetap menangis bahkan menangis di depan kuburan kucingnya di pekarangan. Aku bisa mengerti kesedihannya karena kucing itu sudah ada sejak Aya lahir. Yang aku tak mengerti, kenapa Aya masih saja bersedih karena sesuatu yang sudah mati tak akan kembali bukan?
Aku meraih tangannya, menggandengnya, lalu mengajaknya masuk ke dalam rumahku yang ada di sebelah rumahnya. Aku tinggal dengan nenek dan ibuku di rumah sederhana ini. Ayah bekerja di kota lain dan pulang sebulan sekali. Gadis dengan mata belok dan rambut cokelat tua panjang lurus mengikutiku. Aku mengajaknya masuk ke bawah meja makan di rumahku. Ini tempat favoritku. Taplak meja makan yang menjuntai, menutupi sekeliling meja, membuatku tak nampak untuk sementara waktu.
Aku mengeluarkan semua krayonku dan kertas-kertas. Sebagian sudah kugambari, sebagian masih putih bersih. Aku ulurkan warna pink pucat ke arah Aya.
"Ini cocok untukmu. Sama dengan baju yang kamu pakai."
Aya tersenyum. Ia menerima uluran krayonku, lalu mengambil selembar kertas.
Seharian itu kami habiskan dengan menggambar dan mewarnai hingga lelah. Sebenarnya aku sudah terlalu besar untuk kegiatan mewarnai, tapi yang aku tahu, untuk Aya yang masih 5 tahun, hanya menggambar dan mewarnai yang mencerahkan harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once in a lifetime
Short StoryBahkan tidak memilih adalah sebuah pilihan... Short story of Genta and Aya -BJ, 27 Dec 2014-