Bagian 3

1.7K 152 18
                                    

Adrian Magenta, 14 tahun

Nyatanya aku baru bisa pulang ke rumah nenek, 3 tahun kemudian. Tahun lalu ayah tak bisa cuti, tahun lalunya lagi aku sakit campak saat ayah dan ibu sudah bersiap ke rumah nenek dan tahun sebelumnya lagi, ayah masih harus menabung untuk pulang ke rumah nenek kalau hendak membawa kami semua serta. Biaya pesawat dan lain-lain dari luar pulau cukup mahal.

Sekarang disinilah aku. Mengayun-ayun Retha yang sedang duduk di ayunan taman dekat kompleks perumahan. Retha telah tumbuh jadi gadis cantik dan ternyata aku masih menyukainya. Apa aku sudah pernah bilang kalau aku menyukai Retha? Rambut ikal-ikal panjangnya berwarna hitam legam, kulit putihnya kemerahan tampak sehat, tubuhnya yang ramping proporsional rasanya tak akan membuat mataku bosan. Hari-hariku lebih banyak kuhabiskan dengan Retha semenjak aku menginjakkan kaki di rumah Nenek. Kami makan ice cream di kedai ujung jalan, bersepeda di sore hari, pergi menikmati angin di pematang sawah dan bermain kecipak air di sungai belakang perumahan. Aku belum bertemu dengan Aya sekalipun.

Aya, apa kabarnya bocah mungil yang menangisi kepergianku dulu? Si tukang ngambek yang hobinya cuma menangis lalu menyembunyikan diri di kolong meja makan nenek. Setiap aku ke rumahnya, hanya kutemui ibunya yang selalu bilang aku sudah tumbuh besar dan jadi remaja ganteng. Eh bukan itu poinnya. Ibunya selalu bilang Aya belum pulang sekolah lah, ekskul ini itu lah, pramuka, dan sebagainya dan sebagainya. Hingga akhirnya di hari keempat, aku memutuskan menunggunya seharian di rumahnya. Membantu ayah Aya memaku-maku kursi meja kerjanya yang mulai bergoyang jika diduduki, masuk ke kolong mobil tua ayah Aya untuk membenahi kabel-kabel hingga membantu ibu Aya menyirami kebunnya hingga sore.

Menjelang matahari merebahkan dirinya, muncullah gadis yang kutunggu-tunggu. Ia datang dengan sepeda BMXnya - catat. Bukan sepeda seperti miliki Retha dengan keranjang di depan. Dengan topi baseball yang dibalik, ransel bertengger di punggungnya, celana basket dan kaos kedodoran. Aku mematung menatapnya melewatiku di jalan masuk rumahnya. Remnya berdecit dan dia turun dari sepeda. Berbalik memandangku dalam diam dengan matanya yang menyipit tajam dan bibirnya yang mengatup rapat, lalu memutar badannya lagi melangkah masuk ke rumahnya. Aku bergegas berlari kecil dan dengan gesit kugapai ranselnya. Pernah tahu induk kucing membawa anaknya berjalan-jalan dengan menggigit tengkuknya? Kira-kira seperti itulah aku membawa Aya pergi sekarang.

"Lepasin! Lepasin Genta bego!" Aya terus meronta-ronta saat kuseret ranselnya menuju halaman rumahku.

"Sibuk amat sih? Udah kayak seleb aja." Cibirku sambil melepas ranselnya. Aya membenahi letak ranselnya lalu memandangku sewot.

"Apa pedulimu? Tiga tahun ga kasih kabar aja bisa kok. Ngapain juga sekarang peduli aku sibuk apa nggak." Nada sinisnya meluncur begitu saja dari mulut mungilnya. Sikap berdirinya seakan menantangku berkelahi. Aku tertawa terbahak-bahak.  Wajah Aya yang tadinya seperti mengajak berperang langsung bengong seketika.

Aku menghampirinya dan memeluknya erat.

"Aku juga kangen kamu, Aya."

Once in a lifetimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang