Bagian 8

1.7K 158 15
                                    

Andraya Andromeda, 22 tahun

Terakhir whatsapp dengan Genta sebulan lalu, dia bilang akan membawa kejutan ketika pulang tahun ini. Kesibukanku menyusun skripsi membuat komunikasiku dengan Genta tak se-intens biasanya. Tahun ini memang masuk ke semester 9 kuliahku, artinya aku sudah molor setengah tahun dari target 4 tahun lulus. Wajar kalau aku mati-matian mengerjakan skripsi agar lulus di akhir semester.

Genta sendiri, yang sudah lulus beberapa bulan setelah kepulangannya tahun lalu, sudah bekerja di salah satu perusahaan otomotif terkemuka negeri ini. Aku nggak bilang dia makhluk paling pintar, karena lulusnya aja juga menjelang 5 tahun kuliah. Tapi dia selalu punya mimpi besar dan berusaha mengikuti mimpinya itu. Itu yang selalu kukagumi.

"Ay, kenalin ini Rania." Genta berkata sambil mencolek bahuku dari belakang. Aku sedang ngobrol dengan Nadia, salah satu sepupu Genta, saat itu. Aku itu kenal dengan semuaaa keluarga besar Neneknya Genta. Mulai dari pakde, budenya, sepupunya hingga keponakannya yang masih krucil.

Aku menatap perempuan itu. Rania menyalamiku dengan hangat. Dia bilang, Genta sering cerita tentang aku. Katanya aku ini sahabat masa kecilnya, sudah seperti adik baginya. Auch! Entah kenapa mendengar pernyataan Genta bahwa aku seperti adik dari mulut Rania, rasanya nyerinya lebih tajam daripada digelitikin pake silet.

Jadi ini paket kejutan yang dibilang Genta. Benar-benar paket lengkap. Cantik, modis, charming dan pintar. Dengan segera Nadia terbengong-bengong ketika Rania bilang dia bisa 5 bahasa asing dengan fasih. Nadia itu kan kuliahnya di sastra Inggris. Fasihnya ya cuma bahasa Inggris. Itu aja dia merasa bahasa Inggris ternyata sulit. Yah kalo kuliah di sastra Inggris kan ga boleh cuma asal bisa ngomong kayak aku. Inggris ngapak ngapak pula.

Pakde Burhan membuat pengumuman yang makin membuat luka sayatan siletku seperti diberi air jeruk campur cuka...Hmmm...Aku tak tau perasaan apa ini. Saat melihat Genta duduk di sebelah Rania, aku harus akui mereka itu pasangan serasi. Genta sudah tumbuh jadi pemuda yang gantengnya sebelas dua belas dengan Nicholas Saputra, makin ganteng kalau pakai kemeja batik formal begitu. Arrghhhh!! Dari seberang ruangan, Genta menatapku. Gelisah segera menjalari sekujur tubuhku. Ngapain sih dia pakai menatapku segala? Karena yang kurasakan, sakitnya lebih sakit daripada saat aku harus melepasnya pindah 13 tahun yang lalu.

Sudahlah...aku sudah tak sanggup lagi berlama-lama di ruangan yang beraroma kebahagiaan macam ini. Aku butuh udara segar di luar. Segera menyelinap adalah salah satu cara yang bisa kulakukan. Aku melihat Bara sedang memarkir motor di depan rumahku. Bara itu pegawai kecamatan yang baru. Sekretaris bapak. Sudah dua tahun ini bapak jadi camat dan sebulan lalu sekretaris bapak pensiun. Jadilah si Bara bere ini jadi sekretaris bapak. Lumayan ganteng juga dia. Cuma orangnya pendiam abis. Aku beberapa kali bertemu dengannya saat ia ada urusan mengantar surat untuk ditandatangani bapak.

"Aya!" Deg! Itu kan suara Genta. Ngapain lagi cowok itu memanggilku. Aku menghela nafas panjang lalu membalik tubuhku.

"Ya Gen?"

"Mmm...mau kemana?" Hanya aku yang merasa, atau memang dia sedang gugup?

"Mau pulang. Kenapa?" aku membuat suaraku sedatar mungkin.

"Ng..nggak apa-apa. Cuma mau memastikan kamu nggak apa-apa." Hah? Helooowww...Genta ini nggak sedang korslet kan otaknya? Rumahku itu hanya berbatas pagar dengan rumahnya. Mau apa-apa gimana? Kemungkinan paling buruk ya cuma kesandung batu di depan rumah, atau terpleset masuk got. Yang tidak mungkin terjadi setelah aku sebesar ini.

"Kenapa aku harus apa-apa? Owwhh..maksudmu dengan kejutanmu tadi? Ya, aku cukup terkejut. Selamat ya." Aku berusaha memberikan senyum setulus mungkin sambil menahan sesak di dada.

"Aya. Bapak a..." Bara tiba-tiba sudah ada di sebelahku.

"Gen, kenalkan ini Bara. Pacar aku." Aku segera memotong ucapan Bara. Bara tampak terkejut setengah mati. Genta juga menunjukkan wajah terkejut sesaat tapi lalu dengan segera bisa mengubah wajahnya menjadi ramah.

Setelah mereka bersalaman, aku segera menyeret Bara pergi, mengajaknya ke rumahku. Genta berbalik kembali ke rumah nenek dengan alasan tidak enak meninggalkan Rania sendiri. Ow yeah! Seakan keluarganya semacam predator saja.

"Aya, maksudnya tadi gimana sih?" Bara tampaknya masih belum bisa mencerna kejadian tadi. Aku dan Bara sedang duduk di teras.

"Maaf ya, kang. Aku jadi bawa-bawa kang Bara. Aku tadi nggak bermaksud aneh-aneh. Itu tadi Genta, teman aku sejak kecil. Dia datang bawa tunangannya. Mau nikah tahun ini katanya." Tanpa kusadari, aku sudah menangis termehek-mehek dihadapan Bara. Duh!

Bara hanya diam sepanjang aku menangis. Lalu menepuk-nepuk punggungku.

"Kamu cinta sama dia ya?" tanya Bara lirih. Aku terdiam. Entahlah apa itu cinta atau hanya rasa kepemilikan yang terlalu besar. Tak pernah kubayangkan Genta akan jadi milik orang lain. Sejauh apapun ia dari pandanganku, aku selalu bisa menghubunginya kapanpun, selalu bisa mengandalkannya untuk membantuku menyelesaikan permasalahan apapun.

Tampaknya memang ini semua terjadi karena aku menyukai Genta. Bahkan mencintainya mungkin.  Aku sekarang tahu kenapa disebut dengan jatuh cinta. Karena rasanya seperti jatuh dari tebing. Dan....jatuh dari tebing itu tidak bagus.

Once in a lifetimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang