Bagian 7

1.4K 181 19
                                    

Adrian Magenta, 24 tahun

Tahun ini aku pulang ke rumah nenek dengan bergelar sarjana. Keren kan? Bukan hanya itu, aku juga sudah diterima di sebuah perusahaan otomotif terbesar di negeri ini. Hampir separuh teman kuliahku menginginkan masuk ke perusahaan ini. Melalui persaingan yang ketat, aku berhasil masuk ke posisi yang cukup baik dan memiliki gaji yang lumayan besar. Menurutku, itu pencapaian yang luar biasa untukku...seseorang yang selama ini hanya bisa bermimpi untuk sukses. Aku harus menantang diri sendiri untuk bisa meretas batas kemampuanku yang sesungguhnya.

Yang lebih istimewa lagi adalah aku mengajak seseorang untuk pulang bersama. Dengan penuh kebahagiaan, aku datang membawa pacar yang akan segera jadi tunanganku. Rania Kayana Putri. Gadis cantik, modis, pintar dan loveable sangat lah pokoknya. Bayangkan saja, dia menguasai 5 bahasa asing, Inggris, Jepang, Mandarin, Belanda dan Spanyol. Jadi, dia itu benar-benar bintang jatuh untukku. Kalau tidak jatuh, mana mungkin aku bisa menggapai bintang macam dia?

Aku bertemu dengannya saat aku magang di akhir kuliahku. Kebetulan perusahaan tempatku magang adalah perusahaan asing. Rania juga sedang magang disana di bagian humas. Setelah sering makan siang bersama dengan mahasiswa magang lainnya, berlanjut dengan makan malam berdua dan acara-acara berdua lainnya selayaknya orang pendekatan, aku pun menyatakan cinta dan disambut langsung dengan anggukan dan mata berbinar. Ah! Dunia ini memang memabukkan. Indah tak bercela.

Dengan bangga aku menggandengnya dan memperkenalkan Rania kepada nenek, bude, pakde, sepupu dan keponakanku. Bapak dan ibu sudah mengenal Rania sebulan sebelum aku mengajaknya pulang ke rumah nenek. Ibu sering menatap berbinar kagum pada kekasihku, namun tak pernah bilang menyetujui Rania jadi menantunya. Bapak hanya mengangguk-angguk dan menyerahkan semua padaku masa depanku bersama Rania.

Tinggal satu orang yang kurasa harus tahu dan ikut berbahagia atas nama kebahagiaanku. Aya. Waktu whatsapp terakhir minggu lalu, aku bilang aku akan pulang dan memberinya kejutan.

"Ay, kenalin ini Rania." Aku mencolek Aya yang tengah asyik berbincang dengan salah satu sepupuku. Ia menoleh. Matanya melebar menatap Rania, membeku sesaat namun lalu menyambut uluran tangan Rania sambil memamerkan senyum manisnya. Hatiku berdenyut. Bukan melihat senyum Rania, tapi melihat senyum Aya yang menemani matanya yang mendadak kulihat kehilangan sinarnya.

Kami makan beramai-ramai di meja nenek. Semua berkumpul mengelilingi meja. Pakde Burhan, kakak pertama ibu memukul-mukul gelas dengan menggunakan sendok.

"Semuanya mohon perhatian. Dik Anton dan Dik Tatik akan punya hajat besar tahun ini. Genta akan menikah. Bukan begitu Genta?" pengumuman Pakde langsung disambut dengan riuh oleh seluruh keluarga, termasuk bapak dan ibu Aya yang sudah seperti keluarga kami. Rania yang ada di sampingku pun tersenyum bahagia saat salah satu sepupuku, Linda, menepuk tangannya menunjukkan dukungan. Entah bagaimana, aku malah menatap Aya yang duduk disebelah ibunya. Ia menatapku dengan raut tak terbaca. Lalu ia tersenyum tipis dan mengangguk sekilas.

Setelah acara perkenalan dengan Rania dan pengumuman dari Pakde, Rania sibuk meladeni bude-budeku yang ingin mengenalnya lebih dekat. Aku melihat Aya menyelinap keluar dari pintu depan. Aku mempercepat langkah untuk mengejarnya. Aku sendiri tak mengerti kenapa aku harus mempertimbangkan perasaannya dan peduli pada pendapatnya.

"Aya!" seruku saat melihatnya keluar dari pagar rumah nenek menuju ke rumahnya. Tampak seorang pemuda sedang memarkir motornya di halaman rumah Aya. Aya menghentikan langkahnya dan menoleh padaku.

"Ya Gen?"

"Mmmm...mau kemana?" lidahku mendadak kelu. Aku sendiri bingung memanggilnya untuk apa.

"Mau pulang. Kenapa?" tanyanya datar.

"Ng..nggak apa-apa. Cuma mau memastikan kamu nggak apa-apa." Ini apa sih. Dalam satu kalimat aku bahkan mengulang nggak apa-apa sampai dua kali.

"Kenapa aku harus apa-apa?" Aya menaikkan alisnya bingung. "Owwhh..maksudmu dengan kejutanmu tadi? Ya, aku cukup terkejut. Selamat ya." Ia lalu tersenyum dan mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya sebagai reaksi kesopanan.

"Aya. Bapak a..." Pemuda yang tadi parkir di halaman rumah Aya menghampiri kami.

"Gen, kenalkan ini Bara. Pacar aku." Aya mengenalkan pemuda tadi. Pemuda itu menunjukkan sikap terkejut dan menoleh bingung pada Aya. Tapi lalu mengulurkan tangannya juga setelah tangannya diangkat oleh Aya.

Ternyata Aya punya pacar. Itu bisa membuatku lega karena ada yang menjaganya. Bara rasanya pemuda yang cukup baik.

 ----

Halooo...wahhh sepi banget ini yang komen pada kemana ya? :(

Selain vote, komen juga boleh lhoo...hihihi

Cerita ini sebenarnya short story. Dibikin ringan & nggak banyak konflik. Aku nyoba cara nulis yang agak beda. Kasih komen please dengan cara nulis ini, masih dapet feelnya nggak?

thanks

-BJ-

Once in a lifetimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang