Bagian 9

1.5K 146 16
                                    

Adrian Magenta, 27 tahun

Tahun ini aku pulang ke rumah nenek bertepatan dengan libur nasional yang menjadi cuti bersama 3 hari. Rumah nenek cukup ramai dengan keluargaku karena kami sudah janjian untuk meluangkan waktu di long weekend ini.

"Om Genta!" seru keponakan-keponakanku yang menyambutku di pelataran rumah. Aku tersenyum lebar lalu merangkul mereka berempat  bersamaan. Mereka berceloteh riang dan makin bersemangat setelah aku mengeluarkan beberapa kantong makanan kecil.

Sesudah keponakan-keponakanku membubarkan diri, aku berdiri dan menempuk-nepuk celana jeansku, lalu melangkah masuk ke rumah nenek. Di ruang tamu, berdiri seorang gadis yang membelakangiku. Tubuhnya tampaknya tak bertambah tinggi beberapa tahun ini. Tapi ukuran tubuhnya tampak mengurus dari terakhir kali aku melihatnya. Rambutnya yang sudah panjang kini dicepol rapi diatas tengkuknya. Rok berpotongan sederhana berwarna hijau muda beraksen bunga kuning lembut membalut pas di tubuh itu.

"Aya?" lirih aku memanggilnya. Gadis itu menoleh dan mengembangkan senyum.

"Hai Gen. Lama nggak ketemu." Ia melangkah mendekatiku dengan canggung dan mengulurkan tangannya. Aku perbaiki ransel di salah satu tanganku, lalu mengacuhkan tangannya yang mengajakku bersalaman. Alih-alih bersalaman, aku memeluknya erat-erat. Aku rindu padanya. Sangat.

 flashback on - 3 tahun sebelumnya

Entah bagaimana, Rania selalu memundurkan tanggal lamaran. Padahal aku sudah siap melamarnya secara resmi bersama keluargaku. Membuatku bertanya-tanya, apa sebenarnya yang membuatnya menunda kebahagiaan kami. Setiap kali aku tanyakan, tak ada jawaban yang memuaskan. Ia hanya bilang,"Beri aku waktu, Genta." Selalu. Sudah tiga kali ia melakukannya.

Hingga akhirnya hari ini aku mendengar Aya pun batal bertunangan karena pacarnya ternyata lebih memilih perempuan lain. Kukira Bara itu pemuda yang baik, ternyata ia tak lebih baik daripada sekedar chicken. Aya tidak mengatakan sendiri padaku. Ibu mendengar dari sumber yang terpercaya setajam infotainment investigasi, Nenek. Bahkan kata nenek, Aya mengurung diri di kamarnya dan tidak mau keluar walaupun sudah dibujuk rayu oleh orangtuanya. Yang lebih parah, dia tiba-tiba menghilang. Orangtuanya sudah mencari kemana-mana tapi belum ketemu. Kalau kopi campur susu jadi enak, campuran rasa marah, galau dan kepikiran Aya, malah membuatku jadi mual. WA tidak tercentang, sms failed dan entah sudah berapa puluh kali aku mencoba menghubungi ponselnya, hanya disambut suara mbak-mbak yang bilang kalau nomor yang kutuju ada diluar area. Aku tahu dia mungkin sedang menghindari Bara yang coba menghubunginya. Tapi apakah dia harus menghindariku juga? Grrhhhh....

"Sayang, aku harus pulang ke rumah nenek. Sesuatu menimpa Aya." Aku menemui Rania di apartemennya sepulang kantor. Aku sudah menggenggam tiket pesawat untuk penerbangan paling akhir malam ini.

"Boleh aku bicara dulu sebelum kamu pulang?" Rania menyambutku dengan ekspresi datar. Aku mengerutkan kening. Kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak.

"Yaa...bicara aja. Kenapa kayak seriusan gini sih." Aku menegakkan dudukku di sofa merah marun di depan televisi.

"Kamu tinggal pilih. Pilih untuk pulang, atau pilih untuk tetap tinggal." Mata Rania yang biasanya lembut seketika menjadi sedingin es. Tak terbantahkan. Aku melongo. Apa-apaan ini.

"Maksudnya apa sih? Aku kan cuma pulang ketemu Aya sebentar. Paling dua hari lagi aku balik. Cutiku kan juga cuma dua hari." Aku masih berusaha mengalunkan ketenangan dalam nada suaraku.

"Kamu pulang, itu berarti untuk Aya kan? Semua selalu tentang Aya. Selalu, Genta. Kamu tak pernah berhenti menceritakan Aya, kamu tak pernah berhenti memikirkan Aya. Semua SELALU tentang Aya!" Rania menekankan kata selalu berulangkali. Aku terkesiap dengan kata-katanya dan hanya membeku di tempatku. Memandangnya tanpa kedip. Sebuah kesadaran menelusup pelan ke otakku dan ketika setibanya menembus otak besarku, aku seperti dihantam kenyataan. Yang diucapkan Rania itu tidak salah. Aku memang selalu bercerita tentang Aya begini, Aya begitu pada Rania....tanpa sadar! Seakan Aya yang wujudnya tak pernah ada di hadapanku, adalah salah satu dari kedua paruku yang menopang hidupku. Tak terpisahkan.

Once in a lifetimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang