Bagian 5

1.5K 147 17
                                    

Adrian Magenta, 17 tahun

Seperti tahun-tahun kemarin, aku pulang lagi ke rumah nenek. Bedanya, kali ini aku sudah lulus SMA dan akan menjalani hidupku sebagai mahasiswa. Kalau pulang pas lebaran seperti ini, suasana rumah akan sangat ramai. Tidak hanya ada nenek, tapi juga akan ada pakde, bude, om, tante, sepupu dan para keponakan. Ibuku itu sebenarnya bungsu dari 7 bersaudara. Heran juga ya kenapa orang dulu suka banget punya anak banyak, sedangkan aku anak tunggal.

Dulu ibu sempat mengandung lagi, tapi dua kali calon adikku gugur. Karena itu, ibu sayang juga sama Aya yang sudah dianggapnya sebagai adik perempuanku yang tak pernah ibu miliki. Yah walaupun terakhir kali aku ketemu Aya, dia masih lebih mirip anak laki-laki daripada perempuan. Haha. Beda sekali dengan dia waktu kecil yang sangat feminin dengan rambut panjang, koleksi roknya yang mirip Alice in the Wonderland dan mata bulatnya yang mengerjap polos.

"Genta...." seorang gadis memanggilku. Aku menoleh dan melihat seorang gadis cantik yang rambutnya dicepol sederhana, mengenakan kebaya encim yang manis dan rok batik selutut. Wajahnya polos tanpa pulasan make up, tampaknya hanya memakai lipgloss saja hingga bibirnya tampak basah dan merekah. Aku menatapnya dalam diam hingga lupa bernafas.

"Aya?" Aku menggumam ragu. Senyumnya langsung tersungging. Mataku sih biasa saja, masih pada tempatnya, tapi aku yakin pupil mataku membesar demi melihatnya. Sejak kapan gadis ini jadi cantik begini? Demi Bulan dan Bintang...dia ini masih 15 tahun sekarang.

Suasana menjadi agak canggung beberapa menit awal. Aku mengambil lontong, opor dan sayur, demikian pula dia yang mengantri di depanku. Kami lalu menuju bagian belakang rumah nenek yang lebih sepi dibanding di dalam rumah yang meriah dengan gelak tawa, jejeritan dan suara langkah kaki keponakanku atau sepupuku yang berlarian.

"Kamu apa kabar?" tanyaku padanya. Sungguh pertanyaan klise. Macam orang yang sudah lama tak berkomunikasi. Ya memang iya. Aku jenis orang yang enggan balas sms, sedangkan Aya masih dilarang orangtuanya bawa handphone hingga nanti dia masuk SMA sebentar lagi.

"Baik. Kamu apa kabar?"

"Baik. Retha apa kabar?"

"Baik. Memangnya kamu nggak pernah menghubunginya?" Aya menatapku ingin tahu. Nada suaranya seakan menuduhku hanya berbasa-basi menanyakan kabar Retha. Aku tersenyum kecil.

"Nggak. Setelah tahun kemarin kami bertengkar, kami tak pernah berhubungan lagi." Aya menatapku tak percaya setelah mendengar jawabanku.

"Memangnya kamu bertengkar dengannya? Gara-gara apa?"

"Yaaa..berdebat soal kecil sih sebenarnya. Tapi kemudian aku merasa dia terlalu cerewet dan mencampuri urusanku." Aku menjawab sekenanya. Aku malas menjelaskan masalah yang sesungguhnya bahwa Retha menyatakan cinta padaku. Padahal, aku tak pernah menyatakan cinta padanya. Pernyataannya itu sungguh membuatku jengah. Di sekolah, memang banyak juga yang lebih agresif daripada Retha ketika mendekatiku. Tapi entah kenapa, justru saat Retha mengungkapkan kalau dia menganggapku bukan teman biasa selama ini, aku justru ingin melarikan diri dari hadapannya. Ketika aku bilang hanya menganggapnya teman masa kecil, dia marah lalu menamparku dan meninggalkanku. Perempuan memang bisa sangat aneh.

"Genta, kamu kuliah dimana?" Aya mengajukan pertanyaan setelah kami terdiam beberapa lama. Ia lalu menatapku. Kerjap bola mata yang pernah kukagumi itu kembali lagi di hadapanku.

"Hmmm...aku sendiri masih bingung, Ay. Aku ingin masuk ke teknik mesin seperti ayah, tapi aku juga ingin kuliah di hubungan internasional agar bisa kelililing dunia." Aya mengangguk-anggukkan kepala cantiknya. Inilah aku. Magenta yang punya banyak cita-cita dan keinginan tapi selalu ragu-ragu dalam mengambil langkah.

"Tapi Gen...itu kan nggak ada hubungannya banget teknik mesin dan hubungan internasional. Beda banget malah. Kenapa kok milihnya bisa random gitu sih?"

"Hehehe...Ya gitu deh." Aku nyengir. Urusan memilih jurusan kuliah ini memang sedikit rumit. Aku menyukai mengutak atik mesin. Tapi aku juga ingin pergi keliling dunia. Mungkin saja kan kita punya minat pada dunia yang sungguh berbeda? Dan sampai sekarang aku juga masih belum menetapkan. Mungkin aku akan memilih dua-duanya dan pada akhirnya menunggu nasib akan membawaku kemana.

"Kamu? jadinya SMA mana? Akan ambil jurusan apa di SMA?" Aku balik bertanya.

"Hmm...aku inginnya masuk sosial. Yang pasti aku mendaftar di SMA tempat ibu mengajar." Sejurus kemudian Aya tersenyum samar hingga hampir tak nampak bahwa ia tersenyum. Dan inilah Aya. Gadis yang sudah memutuskan tujuannya atas nama keinginan orangtua. Ia mudah sekali mengambil keputusan, karena ia memang tak punya banyak hal untuk dipilih. Seluruh garis hidupnya seakan sudah tercetak di hadapannya sehingga walaupun ia adalah anak yang aktif, pada akhirnya ia hanya memainkan semua perannya dalam koridor yang sudah diciptakan orangtuanya.

"Memangnya kamu ingin jadi apa suatu saat nanti?"

"Aku belum memilih ingin jadi apa nanti, Gen. Itu masih terlalu jauh di anganku. Ibu menginginkanku menjadi guru, ayah menginginkanku menjadi pegawai kecamatan. Hahaha..." Begitu sederhana cita-citanya. Sungguh berlawanan denganku. Ia begitu menjejak tanah, sedangkan aku begitu merindukan bintang.

" Lalu kamu sendiri ingin jadi apa?" Suaraku menjadi terdengar agak mendesak.

"Aku kan tadi sudah bilang, aku belum memilih. Bahkan tidak memilih itu untukku juga sebuah pilihan." Aya menatapku lagi dalam senyumnya.

Once in a lifetimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang