Senin. Minggu pertama bulan Juli.
Hari pemakaman seseorang yang mengisi sebagian kecil hari-hariku. Intinya, gadis dengan rambut lurus sebahu itu adalah orang yang spesial. Untukku. Dan mungkin ketika kau selesai membaca kisah ini, juga spesial bagimu. Tapi jangan melebihi batas karena dia hanya milikku.
Senin adalah hari yang paling ia benci sekaligus sukai. Dia suka karena sekolah akan dimulai kembali. Gadis itu benar-benar suka suasana sekolah. Ia tidak suka terkungkung di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama. Tapi, ia juga tidak suka karena akan ada banyak tugas yang menumpuk.
Namanya Esha Ishana. Hanya dua kata seperti namaku. Gadis berbulu mata lentik itu meninggal saat usianya masih 16 tahun. Mengingkari janjinya. Tidak bertanggung jawab. Meninggalkanku dalam dunia yang begitu keji.
Padahal dosanya sudah banyak. Aku ragu apakah saat suatu hari nanti aku mati, aku akan bertemu dengannya di surga. Untuk orang baik sepertiku tidak mungkin ditempatkan di tempat yang sama dengan pendosa sepertinya.
Tapi aku berharap. Aku ingin menemuinya untuk terakhir kali. Aku ingin memeluknya. Aku ingin mencium bibirnya. Aku ingin lihat mata melototnya dan alis berantakan yang saling menaut.
Esha selalu menjadi pengecut. Lemah.
Namun sekarang, aku yang jadi orang seperti itu. Pecundang. Aku tidak datang ke pemakamannya atau ke rumah sakit saat keluarganya mengumumkan kabar kematiannya. Bahkan tidak melihat fotonya sama sekali.Selama berhari-hari aku hanya berdiam diri di kamar. Saat sore aku akan jalan-jalan ke sekitar sekolah. Sudah seminggu aku begini. Sekarang sudah Senin berikutnya selepas pemakaman.
Aku mengepal erat-erat lubang-lubang pagar sekolah, meremasnya sampai buku jariku memutih dan merah. Sakit. Aku sedang melampiaskan emosi untuk yang kesekian kali. Aku berdecak, mendesah, menarik napas dalam-dalam agar tidak menangis. Bayangan itu menari-nari dari balik pagar. Aku bisa melihatnya. Dia tersenyum. Dia menangis.
Seusai melihat bentuk halusinasiku, aku membulatkan tekad. Kali ini aku harus membuang jiwa pengecutku. Kakiku berjalan dengan langkah panjang, lalu pelan-pelan berubah menjadi sangat cepat. Aku berlari. Wajahku merah tapi aku sama sekali tidak menjatuhkan air mata.
Aku berlari ke rumahnya. Sangat dekat dari sekolah. Aku hanya perlu belok kiri dan berjalan sekitar satu kilometer. Rumahnya sudah tidak dipenuhi oleh ucapan berduka. Sepi. Pagar cokelat yang meninggi. Tingkat dua dengan balkon bersisi cokelat serupa. Tua dan agak bergaris. Catnya didominasi warna krem dan cokelat muda.
Ting tong!
Suara itu keluar begitu aku memencet bel. Tidak ada jawaban. Aku memencet sekali lagi, dua kali.
Ting tong ting tong!
Adiknya yang menyambut. Usianya masih sembilan tahun, dikucir dua dengan pita merah. Daisy tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat. Gadis kecil ini menarik tanganku, setelah menutup pagarnya dengan kasar. Karenanya, aku perlu agak menunduk.
"Duduk, Kak. Mama lagi ke kamarnya sebentar," jelasnya. Lalu berlari kecil menaiki tangga.
Aku duduk di sofa biru tua yang panjang. Di depanku ada meja kayu dengan alas kaca. Dari situ aku bisa melihat wajahku yang menyedihkan. Aku tidak berekspresi tapi aku tahu kalau perasaanku memang sedang seperti itu.
Tidak lama, wanita paruh baya dengan rambut disanggul ke atas berjalan pelan menuruni tangga. Mama Esha. Dia membawa sebuah buku tipis bersampul putih dengan beberapa stiker. Wanita itu duduk di sebelahku, memberi jarak sekiranya satu kaki.
Tanpa bicara, ia memberikan buku tipisnya padaku. Aku memandangnya sekilas lantas mengambil buku tersebut.
"Untukmu, dari Esha. Kau hanya boleh membacanya saat sudah sampai rumah," katanya, tatapannya sendu tapi bibirnya mengukir senyum.
Aku memandangnya, lalu kembali memandang bukunya. Terdapat tulisan 16 Mengapa Aku Mencintaimu dengan spidol, gambaran dengan pulpen, stiker, kertas yang ia gunting dan tempel.
Akhirnya, aku mengangguk. Segera, aku izin pamit. Wanita itu mengantar sampai depan pagar. Aku berterima kasih, dan dia tersenyum. Aku masih tidak membuat air muka apa pun. Langit sedang mendung sekarang. Sepertinya akan hujan sebentar lagi.
Sebagai antisipasi, aku memesan ojek online. Tidak berjalan kali dan dilanjut dengan naik angkutan kota seperti yang sudah-sudah.
Benar saja. Ketika aku sampai depan rumah, hujan turun, dari gerimis sampai deras begitu aku sampai kamar. Rumahku hanya satu lantai, sederhana dengan cat monokrom. Kamarku terletak paling ujung, ada jendela besar di samping kanan yang mengarah ke taman belakang.
Aku duduk di kursi belajar, menaruh bukunya di atas meja. Mataku menatapnya lekat-lekat. Aku menarik napas, menahan, dan mengembuskannya lambat. Tanganku mulai bergerak, membukanya. Kertasnya berwarna putih keruh, teksturnya agak kasar.
Berengsek.
Pasti kau tidak menangisi kepergianku, kan?!Hahahahaha, maaf aku bercanda. Kamu pasti sedang menangis kencang selama sebulan penuh karena merindukanku. Nah, karena aku sangat baik dan perhatian, aku membuat buku ini khusus untukmu. Sebaiknya kau berterima kasih. Satukan kedua tanganmu di depan seluruh foto Instagramku!
Sebenarnya aku tidak tahu harus menulis sesuatu yang seperti apa. Sedih, bahagia, mengharukan? Apa sebaiknya aku menulis surat saja? Benar-benar membuat frustasi. Aku ingin ini terlihat keren tapi aku malah membuat awalan yang sangat tidak jelas begini.
Baik. Sekarang aku serius.
Untukmu, Hujan Asensio.
Laki-laki spesial yang sering kujadikan bahan obrolan saat berbincang dengan Tuhan.16 Mengapa Aku Mencintaimu.
- • -
VOTE dan KOMEN kalau suka dengan ceritanya! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
16 Mengapa Aku Mencintaimu
Short StoryAku benci kenangan. Di mana aku hanya bisa menangis, mengerutkan kening, tersenyum; tanpa bisa merasakan hal yang sama. Tapi aku juga menyukainya. Yang mana aku bisa terus merasakan kehadirannya. Bahwa, dia selalu ada di sisiku. 16 tahun terakhirnya...