- sembilan|

6 1 0
                                    

#tujuh: ketika tiba-tiba kau datang ke rumah, menarik tanganku paksa hanya untuk menemanimu makan malam.

Kukira hanya sebatas itu, tapi kejadian selanjutnya benar-benar mengejutkan, ya. Sebagai bocah 15 tahun, kau berani juga. Tapi aku sangat senang sampai aku tidak memerdulikan kandungan dalam nasi goreng yang begitu hangat di mulut itu.

Orangtuaku sangat khawatir dan memarahiku begitu aku pulang. Aku tidak bisa membayangkan ekspresi mereka jika tahu aku makan sembarangan. Tapi seakan hari itu aku tidak punya beban. Aku sangat senang sampai seluruh anggota keluargaku menatap heran.

Terima kasih telah mentraktirku makan makanan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Karena aku sudah mati, kau pasti sudah tahu kalau makanan itu seperti musuh bagi tubuhku. Tapi kala itu aku benar-benar baik-baik saja. Aku bisa hidup seribu tahun lagi.

Lucu sekali menuliskannya. Padahal, saat menulis ini aku sedang di tengah-tengah. Risiko hidup dan matinya sama-sama bernilai 50. Haha.

Padahal kenangannya cukup lucu dan mendebarkan. Bibirku begitu gemetar pada waktu-waktu terakhir. Harusnya aku tertawa mengingat kekacauanku saat itu. Tapi air mataku justru terjatuh.

Aku tidak berusaha menahannya. Memilih untuk menjatuhkannya begitu saja.

- • -

Selama seminggu terakhir aku memikirkan tentang satu hal: ulang tahun Esha. Kehidupan SMA dimulai minggu lalu dan aku benar-benar berdebar karenanya. Aku ingin kehidupan di SMA-ku seperti dalam novel kebanyakan. Manis, penuh warna, drama, seru.

Aku ingin semuanya mengalir alami. Jadi aku memutuskan untuk tidak membuat rencana apa pun dan menjalaninya suka-suka.

Pukul setengah delapan malam, aku pergi ke rumah Cewek Kanul menggunakan sepeda hitam yang sudah agak berkarat. Aku melesat di dinginnya angin malam dengan hanya mengenakan celana pendek putih dan kaus hitam polos. Seperti judul acara televisi. Tapi aku membawa jaket yang cukup tebal dan topi abu-abu, untuk Esha. Untuk sementara waktu, aku yang memakainya.

Saat sampai di depan rumahnya, jantungku berdebar begitu cepat. Tapi senyumku merekah dan makin mengembang. Setelah melamun semenit, aku mengeluarkan ponsel dari saku untuk mengiriminya pesan.

Esha

Aku di depan rumahmu. Keluarlah. Aku sudah menunggu selama hampir seabad.
19.54

Kepalaku mendongak dan senyumku makin melebar hingga menampilkan deretan gigi. Tanganku melambai. Gadis itu mengintip di balik tirai jendela dengan mata menyalang dan mulut terbuka. Lalu dirinya menghilang. Aku menunggu.

Tidak sampai lima menit gadis itu sudah membukakan gerbang rumahnya dengan tergesa. Napasnya berantakan sedang tangannya memegang lutut. Padahal dia tidak perlu terburu-buru begini. Tapi ekspresi setelahnya benar-benar imut. Keningnya mengerut dan matanya memicing heran.

"Ada apa dengan ekspresi wajahmu?" Aku tertawa kecil. "Naik. Aku sampai memasangkan kursi hanya untukmu." Tanganku memukul-mukul kursi besi di belakangku, lantas aku kembali menatapnya lekat-lekat, tersenyum miring.

Cewek Kanul itu masih membeku. Aku mendesah, membuka jaket dan melempar ke atas kepalanya. "Pakai itu. Cepat naik. Tidak akan lama, kok!" ujarku meyakinkan.

Esha masih menatap bingung. Tapi akhirnya dia menurut. Cewek itu memakai jaketnya, menarik ritsletingnya sampai atas. Lantas aku memberikan topi yang sebelumnya kukenakan. Beberapa helai rambut jatuh hingga menutupi telinganya, dan aku langsung menyelipkannya. Tersenyum lebar sambil menghela napas pendek.

16 Mengapa Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang