#dua belas: ketika kau berkata jujur dengan akhiran manis (kadang juga pahit).
Sehari setelah tragedi kau yang menerobos hujan tanpa pakaian, kau datang ke rumah sakit. Memalukan. Aku tidak mandi dan kupastikan rambutku bau. Namun sejujurnya, aku sangat senang sampai rasanya aku tidak bisa menahan diri agar tidak tersenyum.
Saat itu aku pikir, "Baik, ini saatnya. Aku harus memberitahu perihal penyakitku". Tapi aku masih ragu jadi kuputuskan untuk memberikan beberapa pertanyaan sepele padamu. Bahkan aku tidak menyiapkannya. Yang kuucapkan adalah apa yang terlintas di kepalaku saat itu.
Suasana hatiku jadi sangat acak karena jawaban jujur dan pahitmu yang dilanjut dengan kejujuran manis dan sebenarnya cukup menggelikan. Tapi aku senang. Sangat senang. Sampai aku berpikir kalau aku tidak sakit. Aku sudah sembuh total.
Tolong katakan "Esha sangat cantik" begitu kau selesai membaca bagian ini. Sudah?
Aku tersenyum, air mata masih membekas di wajahku. "Esha sangat cantik," gumamku, menatap kertasnya lekat-lekat. "Sudah."
Sudah yang kedua belas, ya....
- • -
Aku datang ke rumah sakit sekitar pukul lima sore. Sebelum ke sana, aku mampir ke toko untuk membeli roti dan susu cokelat. Jaraknya tidak begitu jauh dari rumahku. Bisa dibilang, tempat tinggalku memang sangat strategis.
Langit sudah gelap dan aku datang dengan tergesa. Aku sudah meminta izin pada orangtua Esha, dan seperti biasa mereka tidak keberatan. Sekarang, aku duduk di kursi, memandanginya yang membalikkan tubuhnya dari pandanganku.
"Kenapa kau justru membalikkan tubuh berlawanan arah denganku?" tanyaku.
Esha diam selama beberapa detik. Lantas ia berbalik. Aku tersenyum. Masih pucat tapi dia terlihat lebih baik dari pada kemarin. Saat ini, aku bisa melihat kanul yang menutupi sebagian wajahnya. Ada juga slang infus di tangannya dan benda lain yang sama sekali tidak kuketahui. Omong-omong, aku masuk jurusan IPS.
"Apa kau sudah baikan?" tanyaku, memandanginya cemas. "Bagaimana—"
"Dengar... aku punya beberapa pertanyaan." Esha tidak menatapku, matanya bergerak ke kiri dan ke kanan, tampak cemas. "Aku mau kau menjawabnya dengan jujur." Cewek Kanul—yang benar-benar jadi cewek berkanul—mendongak. Tatapannya dalam sampai membuatku terhanyut.
Aku mengangguk kikuk. "Ya, silakan...?"
Esha mengembuskan napasnya berat, kembali menunduk. "Mengapa kau... menyukaiku? A-apa aku cantik?"
Wah, ternyata pertanyaan seperti ini. Sejujurnya aku tidak tahu jawabannya. Lagi pula, memangnya menyukai—bahkan mencintai—seseorang itu butuh alasan?
"Ah... ya, cantik, tapi tidak terlalu," balasku, tertawa kecil.
"Oh... begitu." Tatapannya tampak kecewa, matanya memandang ke bawah. Bibirnya diulum lambat dan pelan-pelan ia menggigit bibir bawahnya.
"Sebenarnya tipe cewekku itu yang kalem dan pemalu, bukan tsundere." Aku tertawa renyah, menarik napas dan mengembuskannya pelan. "Mengerti, kan? Artinya alasanku menyukaimu bukan hanya terbatas pada satu dan dua hal. Ada banyak alasan—yang jujur—aku pun tidak mengetahuinya.
"Aku hanya merasa senang, bahagia ketika melihatmu tersenyum cerah. Aku ingin kau baik-baik saja. Aku cemas saat kondisi tubuhmu buruk. Bahkan aku pikir jiwa dan ragaku bukan milikku lagi, tapi milikmu karena aku jadi terlalu sering memikirkanmu." Aku tersenyum cerah.
"Jadi kalau kau tidak cantik, itu bukan alasan aku tidak menyukaimu... mencintaimu. Apa sudah cukup jelas untuk menjawab pertanyaanmu?" Aku menyeringai dan alisku naik satu. "Oh ya... dan... sekarang kau benar-benar jadi Cewek Kanul, ya!" Aku terkekeh, tertawa geli.
"Sialan! Aku kira kau akan mengatakan sesuatu yang romantis seperti aku men—... tidak, lupakan."
Tawaku pudar, digantikan senyum tipis dan tatapan sendu. Aku menatap matanya lekat-lekat. "Benar. Aku mencintaimu."
- • -
Padahal ceritanya sangat singkat, tapi kelihatannya Esha benar-benar menyukainya. Cewek Kanul yang menjadi Cewek Kanul.
Halaman selanjutnya.
- bersambung -
VOTE dan KOMEN kalau suka dengan ceritanya! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
16 Mengapa Aku Mencintaimu
القصة القصيرةAku benci kenangan. Di mana aku hanya bisa menangis, mengerutkan kening, tersenyum; tanpa bisa merasakan hal yang sama. Tapi aku juga menyukainya. Yang mana aku bisa terus merasakan kehadirannya. Bahwa, dia selalu ada di sisiku. 16 tahun terakhirnya...