|dua belas -

3 1 0
                                    

#sepuluh: ketika sentuhan lembutmu berusaha menenangkanku.

Padahal masih awal semester satu tapi tubuhku sudah berulah lagi. Dadaku sangat nyeri, jantungku berdenyut cepat, napasku pendek dan kepalaku berkeringat. Aku benar-benar pucat dan pelan-pelan pandanganku kabur. Tulisan di papan tulis mulai tidak jelas begitu pula dengan segala hal yang ada di sekitarku.

Kau benar-benar memerhatikanku, ya? Dengan cepat kau berusaha membuat kesadaranku kembali. Kau langsung melemparkan pertanyaan dan meminta pertolongan guru dengan nada yang meninggi. Kelas jadi panik karenaku. Tanganmu menggenggam tanganku erat, mengelus rambutku dan menempelkan telapak tanganmu di dahiku.

Asal kau tahu, aku justru makin memanas. Tapi, aku pikir waktu itu aku akan baik-baik saja karena aku punya kau. Tapi ternyata tidak. Saat aku bangun, aku sudah berada di rumah sakit.

Aku memanggil namamu.

Begitulah isi halaman ke sebelas yang buru-buru kubaca ketika aku terbangun di atas meja belajar. Sekarang pukul delapan pagi. Aku membaca alasan ke sepuluh ditemani dengan suara gerimis hujan. Aku bangkit dari duduk, membuka jendela, lantas keluar untuk membuat mi.

Jariku memutar, menyalakan kompor. Sambil menunggu airnya mendidih, aku membuka bungkus mi, menuangkan bumbunya dalam mangkuk. Aku berjalan ke kanan, membuka kulkas dan mengambil dua buah telur.

Pertama, aku memasukkan telurnya, lalu mi dan menunggunya selama tiga menit. Setelah matang, aku mematikan dan menyaring mi beserta telurnya. Kemudian aku berjalan ke arah dispenser, memasukkan air secukupnya lalu kembali ke kamar.

Aku duduk di kursi belajar, menyetel lagu secara acak di Spotify. Mengenang sembari memakan mi soto. Hujan.

- • -

Senin pagi. Pelajaran setelah kegiatan upacara rutin adalah matematika. Pertama, lelah fisik. Kedua, mental. Pasalnya guru matematika yang mengajar—Pak Esan—galak. Biasanya tiap selesai upacara, hampir semua murid di kelas akan mengeluh.

Yang lebih menjengkelkan, Pak Esan tidak pernah telat masuk kelas. Bahkan biasanya sebelum bel pelajaran berbunyi dia sudah datang, yang paling sering lima menit sebelum pelajaran dimulai. Pak Esan hanya duduk diam, menulis sesuatu di bukunya. Dan kami—para murid—hanya bisa membisu, melirik satu sama lain atau menelan saliva paksa.

Esha merotasikan bola matanya ketika Pak Esan masuk, mengembuskan napas samar agar tidak terdengar. Ia mengeluarkan buku paket, dua buku tulis, dan tempat pensil. Tangannya bersila di atas meja, tubuhnya agak menunduk, malas. Cewek itu bukan tipe manusia yang antusias belajar. Dia suka sekolah hanya karena suasana dan teman, katanya.

Aku tersenyum, nyengir begitu melihatnya mengerucutkan bibir, malas. Ia mengembuskan napas sekali. Berat.

Namun sedetik kemudian matanya menyalang. Tangannya memegang dada kuat-kuat. "... Haaaahhhh... haaah.... Haaaahh...." Esha menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya dengan keras dan lambat sampai aku bisa mendengarnya dengan jelas.

"Esha? Ada apa? Apa kau baik-baik saja?"

Aku berdiri dan langsung keluar dari mejaku. Teman sebangkunya—Rara—terlihat panik. Aku menyuruhnya berdiri agar aku bisa memeriksa kondisi Esha. Kuletakkan telapak tangan di atas dahinya lalu menyamakannya dengan suhu di dahiku. Dia begitu berkeringat dan pucat. Napasnya berantakan dan Esha berusaha mengaturnya.

"Apa kau sakit? Esha?" Aku menggenggam tangan satunya. Berkeringat dan gemetar. Aku makin panik.

"Ada apa?" tanya Pak Esan. Nada suaranya terdengar khawatir.

"Panggil ambulans," kata Esha dengan suara parau. "Haaaahhh.... Haaaahh...."

"A-ambulans?" Aku mengeryit bingung. "Panggil ambulans! Ambulans!" pintaku, menatap Pak Esan dengan tatapan nanar.

Pak Esan tidak banyak bertanya dan langsung bertindak. Ia memanggil ambulans. Kelas berubah panik dan ketua kelas berlari memanggil dokter sekolah.

Begitu dokter wanita berkisar 30 tahun masuk ke kelas, aku minggir, berdiri di depan Esha sambil menunduk. Aku mengelus rambutnya. Berusaha menenangkan.

Aku tidak paham tapi mereka segera membawa Esha ke UKS. Pak Esan menggendongnya. Ah, bukankah kalau di dalam novel biasanya orang sepertiku yang melakukan hal semacam itu? Sayangnya, ini realita.

Aku mengikutinya tapi tidak boleh masuk. Aku mengintip dari jendela, berusaha menguping. Namun aku tetap tidak bisa mendengar apa pun.

Sekitar lima menit kemudian, ambulans datang dan mereka mengangkat tubuh Esha dengan tandu. Aku mengikuti mereka, memegang tangan Esha kuat-kuat. Matanya terpejam tapi aku bisa mendengar gumamannya. "Jangan khawatir. Aku baik-baik saja."

Haha, lucu sekali. Kalau kau baik-baik saja, kau tidak akan meminta untuk dipanggilkan ambulans. Rasanya aku ingin sekali bilang begitu, tapi tatapannya yang nanar membuatku tidak bergeming, membeku seutuhnya.

Ambulans itu bergerak cepat dan aku hanya bisa memandangi kepergian mobil putih yang melaju cepat. Suara sirenenya benar-benar membuat tubuhku gemetar.

Bodohnya, air mataku sampai terjatuh. Alias, aku menangis. Aku takut. Dan aku ingat pertemuan keduaku dengan cewek itu.

Kanul.

- • -

Kejadian pertama yang benar-benar membuatku khawatir setengah mati. Pertama kalinya aku berpikir tentang bagaimana jika aku kehilangan sosoknya?

Dan naasnya, sekarang sudah benar-benar terjadi.

Aku mengembuskan napas berat bersamaan dengan mi soto yang tersisa setengah. Lagunya jadi begitu acak. Dan yang paling menjengkelkan adalah iklan yang muncul tiba-tiba.

"Cewek Kanul, kau jangan salah paham, ya," gumamku sembari mengelus kertas dengan tekstur kasar tersebut, lantas aku tersenyum tipis, semu. "Aku akan segera mengunjungimu setelah membaca semuanya. Sore ini. Doakan, ya... semoga tidak hujan."

- bersambung -

VOTE dan KOMEN kalau suka dengan ceritanya! :)

16 Mengapa Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang