|sebelas -

6 1 0
                                    

#sembilan: mimik wajahmu yang begitu acak.

Guru sedang rapat, jadi hampir seluruh murid di kelas sepakat untuk bermain game tebak-tebakan. Caranya hanya dengan menggunakan ekspresi. Kau ada di belakangku jadi aku perlu menebak untuk memberi tahukan ke pemain berikutnya. Mimik wajahmu begitu acak, aneh dan... dan... lucu.

Aku langsung terbayang begitu menulis ini. Kerutan dahimu yang frustasi. Lalu ejekanmu setelahnya.

Apa jika kau melihat mimik wajahku begitu mendapatkan kabar kematianmu, kau juga akan menunjukkan reaksi yang sama?

Lihat. Sekarang aku tidak tersenyum. Apa tidak bisa kau kembali dan memelukku sekali? Apa kau tidak lagi mencintaiku saat kita sudah berada di alam yang berbeda?

Haaaahh....

- • -

"Eh, woi! Guru rapat!" teriak Raya berlari masuk dari pintu. Bertepatan dengan itu, kelas langsung berubah rusuh.

"Main tebak-tebakan, seru nih!" celetuk Tama, bangkit dari duduknya, berlari ke depan kelas dan duduk di kursi guru, bersender. "Tebak-tebakan hewan!" cetusnya dengan mata menyalang. "Cara menebaknya dari ekspresi, pemainnya tidak boleh bersuara. Semuanya harus ikut main!"

Dan jadilah sebagian besar murid di kelas bersorak-sorak. Aku duduk di belakang Esha jadi aku bisa memerhatikan dengan jelas senyum yang mekar di wajahnya.

"Baik, ayo langsung main!" seruku antusias, berdiri.

Kami menggeser meja ke pojok-pojok ruangan, dan menumpuk beberapa. Setelah ruang tengahnya cukup besar, kami berdiri membentuk lingkaran. Beberapa murid yang bersikeras tidak ingin ikut bermain terpaksa harus mengungsi di luar kelas.

Seluruh peserta diminta menulis satu nama hewan di kertas kecil, menggulungnya lalu memasukannya ke dalam kotak. Setelah terkumpul, pemain pertama akan mengambilnya lalu memberikannya kembali pada Vani. Dia tidak ikut main, hanya memantau agar kami bermain jujur.

Aku berdiri di belakang Esha. Artinya, aku yang akan memberikan petunjuk. Permainan pun berjalan. Ada 20 orang pemain sehingga jarak antar pemain cukup dekat.

Giliranku menebak. Orang yang berusaha memberikan petunjuk adalah Yona. Ia mengepakkan tangannya ke arah ketiak sambil memajukan bibirnya. Mudah. Bebek. Pasti. Kami tidak boleh bicara sedikit pun jadi tebakannya hanya dijawab di otak pemain. Waktunya terbatas. Hanya 10 detik. Vani yang menghitung.

Aku berbalik, Esha. Dengan cepat aku meniru apa yang Yona lakukan. Mengepakkan tangan sambil membentuk bibir seolah sedang mengatakan "UUUWEK." Cewek Kanul itu mengeryit, tapi dua detik sebelum waktunya habis ia mengangguk-anggukan kepala. Lanjut ke pemain berikutnya.

Akhirnya, jawabannya tentu saja—

"Penguin."

"Hah? Kok?" Dahiku mengeryit.

Beberapa orang juga setuju kalau petunjuk dari masing-masing mirip seperti bebek. Ternyata orang yang pertama kali membuat kesalahan adalah Raya. Aku tidak ingin mendebat. Dengan kapasitas otak yang segitu, dia sudah cukup baik dalam menjalankan perannya sebagai manusia akhir-akhir ini.

Mengapa aku harus satu sekolah dengannya lagi...? Hidup memang penuh lho kok?.

"Mengapa teman sekelas hamba begitu tolol...?" Bukan aku yang bicara, itu suara Edgar yang terdengar begitu meremehkan.

Lalu permainan kembali berlanjut. Yang mengambil kertas adalah Galang. Permainan kembali berulang. Yona hanya menatapku dalam diam, matanya menyalang, lantas setelah lima detik ia menjulurkan lidahnya. Ekspresinya sukses membuat keningku mengerut dalam-dalam dan mataku besar sebelah. Aneh dan menyeramkan.

Aku mencoba menebak. Lalat?

"Sepuluh."

Aku mencoba menirukan semirip mungkin. Aku diam tiga detik dengan membesarkan mata, menaikkan kedua alis dan bibir terbuka. Terlihat jelas kalau cewek di depanku ingin tertawa. Lantas aku menjulurkan lidah dan menggerakannya ke kiri dan ke kanan dengan cepat. Aku mengulanginya dua kali.

"Pfft." Esha mencoba menahan tawanya dan langsung berbalik setelah waktunya habis. Sungguh aku sangat penasaran dengan ekspresinya.

Apa tidak ada yang berniat merekamnya?

Jawabannya adalah—

"Katak."

Dan terjawab benar oleh Gerald. Nilai UN-nya masuk lima besar yang tertinggi. Ia memakai kacamata dan rambutnya keriting. Gerald punya lesung pipi dan—mengapa aku harus menjelaskan ciri-cirinya?

Lanjut.

Yona menggerakan tangannya dengan sangat lambat. Sepertinya ia ingin bertepuk tangan tapi aku sama sekali tidak bisa menebak. Gerakannya belum selesai sama sekali dan Vani sudah berseru mengatakan, "Sepuluh."

Tubuhku berbalik dan Esha memerhatikan wajahku sebaik-baiknya. Kelas kami sedang tergila-gila oleh segala hal yang berbau Korea dan ada satu gerakan yang sangat sering kulihat—membuat simbol hati dengan tangan di atas kepala. Aku menirunya. Menggerakan selambat mungkin. Dan—

"Sepuluh."

Bahkan aku baru ingin mengangkat tangan. Esha tampak bingung jadi dia hanya diam dan di tiga detik terakhir dia baru mengikuti gerakan tanganku dengan sangat lambat.

"Kenapa petunjuknya bego banget, deh?" Edgar mengembuskan napas berat. "Kurcaci?"

Vani menggeleng. "Salah. Jawabannya Kungkang."

Edgar mengeryit, merotasikan bola mata malas lantas mengedikkan bahu singkat. "Otak murid di kelas ini saja sudah lambat dan masih ada orang yang menulis hewan lamban seperti ini? Hah... tingkat kepercayaan diri yang terlampau tinggi." Edgar menarik sudut bibirnya, meremehkan.

"Pacar," panggilku, menepuk bahu Cewek Kanul, lalu menyeringai.

Esha berbalik.

"Tebak." Senyumku mengembang, berdiri tegap.

Kepalaku sedikit mendongak. Keningku mengerut. Dan aku berusaha membuat suaraku agar terdengar mirip dengan suaranya. Aku berdecak dan mengatakan dengan nada kesal, "Berhenti memanggilku Cewek Kanul! Apa telingamu tidak berfungsi dengan baik?" Lalu aku merotasikan bola mata malas, menatap sinis. "Siapa?"

"... Aku."

"Buahahahahaha!" Tawaku pecah sampai membuat beberapa orang menoleh. "Nenek penyihir!"

"Oh, jadi aku adalah nenek penyihir tua, begitu?"

"Kalau nenek sudah pasti tua!" Tawaku makin deras. Sedangkan wajahnya mengerut.

Lima detik kemudian, ia tertawa kecil, menertawai kebodohannya. "... Benar juga."

Sepertinya aku membuat cewek ini jadi tidak waras.

- • -

Aku ketiduran.

- bersambung -

VOTE dan KOMEN kalau suka dengan ceritanya! :)

16 Mengapa Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang