3 | Kesalahpahaman

735 90 85
                                    


.

.

"Kita butuh darah anak itu. Tapi, anak itu dilindungi. Dan yang melindungi anak itu bukan tandingannya kita. Kita bisa langsung kalah jika melawan mereka."
"Aku tahu caranya."
"Bagaimana?"
"Aku kenal dengan anak itu. Tinggal hancurkan saja hubungan mereka dengan anak itu. Dengan begitu, anak itu tidak lagi terlindungi."

.

.

.

.

Pagi yang cerah.
Mafu terbangun dari tidurnya. Kondisinya sudah membaik sekarang.
Ia berniat untuk bersiap untuk-..
Oh, ini hari Minggu.
Saatnya untuk tidur lagi.

Awalnya begitu yang Mafu inginkan, sampai tiba-tiba pintu rumahnya diketuk dengan sangat keras. Seperti orang yang mau nagih hutang.

Begitu pintu dibuka, Mafu dikejutkan dengan ekspresi para pacarnya yang kelihatannya kesal.

"E-eh... Ada apa dengan kalian semua...?" Tanya Mafu dengan ketakutan.
"Ini apa...?" Soraru memperlihatkan sebuah foto. Di foto itu terlihat dirinya dengan seseorang. Terlebih lagi, berciuman.

"Kau mengkhianati kami..?" Soraru bertanya sambil menahan amarahnya.
"Tidak, tidak... Itu bukan aku! Aku tidak mungkin melakukan hal itu dengan orang lain! Kumohon percaya padaku, Soraru-san!" Ujar Mafu.
"Cih..." Soraru membalikkan badannya dan pergi.

"Orang itu... Teman sekelas nii-chan kan? Kenapa nii-chan berkhianat kepada kami? Jawab aku, nii-chan!" Sou mencengkram tangan Mafu.
"Tapi... Itu bukan aku..." Sou tidak berkata apapun. Ia melepaskan cengkramannya dan pergi.

"Sepertinya aku perlu mendinginkan kepalaku. Aku pulang dulu" Ujar Kiyo dan pergi. Mafu menatap Amatsuki. Bahkan Amatsuki yang selalu membelanya tidak berbicara sepatah kata pun dan pergi begitu saja.

"Ck... Aku tidak percaya mereka semua termakan oleh emosi..." Urata pun menghampiri Mafu.
"Iya, aku juga..." Sakata juga menghampiri Mafu.
"Urata-san... Sakatan... Kumohon.... Percayalah padaku... Hiks..." Mafu mulai terisak.

Mereka berdua pun memeluk Mafu.
"Sshh... Jangan menangis." Ujar Urata.
"Kami percaya kau tidak akan pernah mengkhianati kami." Ujar Sakata.
"Menurutku, ini semua tidak benar." Ujar Urata.
"Kau benar, nii-san. Ada yang aneh disini. Mafu kan tidak pernah keluar rumah. Dia selalu bersama kita kemanapun." Ujar Sakata.
"Dan walaupun keluar rumah sendirian, Sou selalu membuntutinya kemanapun Mafu pergi." Urata nampak menimbang-nimbang.

"Sepertinya ada yang ingin merusak hubungan kita semua dengan Mafu." Ujar Urata.
"Eh? Aku tidak mengerti." Ujar Sakata.
"Begini... Mafu itu termasuk manusia yang berbeda dari manusia lainnya. Dengan kata lain dia spesial." Jelas Urata.

"Souka... Lalu sekarang apa rencanamu, nii-san?" Tanya Sakata.
"Kita harus mencari tahu siapa orang dibalik ini semua."
"Caranya?"
"Laki-laki itu teman sekelas Mafu, kan? Kita bisa mengintrogasinya."
"Haa? Tapi ku dengar dia itu bukan manusia juga. Apa kita bisa melakukannya?" Tanya Sakata lagi.
"Hmm.. Sepertinya kita butuh bantuan yang lain."
"Tapi jika mereka masih emosi, akan sulit, nii-san." Ujar Sakata.
"Kau benar..." Urata pun menghela nafas.

"Mafu, apa kau bisa menjaga dirimu selagi kami pergi?" Tanya Urata. Mafu hanya mengangguk.
"Ambil ini." Urata memberikan sebuah pisau miliknya.
"Jika ada yang membahayakan hidupmu, bunuh orang itu."
"W-... Wakatta..." Mafu pun menerima pisau tersebut. Urata dan Sakata pun tersenyum tipis.
"Sakata, ayo kita pergi."
"Iya."

Mafu hanya bisa menatap kepergian mereka berdua.

.

.

Tengah malam.
Mafu terbangun karena ia mendengar suara-suara yang mencurigakan.

Lalu ia dapat mendengar seseorang yang tengah membicarakan sesuatu.

"Hei, apa kau yakin ini rumah anak itu?"
"Tentu saja. Apa kau tidak bisa mencium bau darah anak itu?"
"Maa, aku bisa mencium aromanya sih. Kelihatannya dia berada di kamar."

Jantung Mafu berdetak dengan kencang. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Anak yang malang, ya. Dia ditinggalkan oleh para pelindungnya karena kesalah pahaman yang telah kita buat."

Mata Mafu terbelalak.
'Jadi... Itu.. Ulah mereka...?' Batin Mafu. Ia mengepalkan tangannya. Ketakutannya hilang. Ia pun memegang pisaunya.
"Pertama, aku harus keluar dari sini dulu." Gumamnya. Ia pun keluar lewat jendela.

Ia langsung bersembunyi karena melihat banyak orang yang berada di depan rumahnya. Tapi tunggu, memangnya mereka manusia?

'Jika Urata-san memberikanku pisau ini, berarti tandanya aku akan berhadapan dengan orang yang bukan manusia...' Batin Mafu.

Mafu pun menemukan jalan untuk kabur, tapi satu orang menghalanginya.
'Aku tidak punya pilihan lain...' Mafu pun mengendap-endap menghampiri orang tersebut. Saat orang itu berbalik, Mafu menancapkan pisau itu di leher orang itu dan mengambilnya kembali. Ia pun segera melarikan diri.

.

Setelah dirasa cukup jauh melarikan diri dari rumahnya, Mafu pun bersandar di pohon.

Tiba-tiba, seseorang mencekiknya entah darimana datangnya orang itu.
Mafu berusaha melepaskan diri. Ia pun menusuk dada orang itu dengan pisaunya.

Awalnya, Mafu kira orang itu sudah mati. Tapi ternyata dugaan Mafu salah. Orang itu kembali bangkit.

"Kau... Karena kau... Ayahku mati..."
"A-.. Apa.. Maksudmu...?"
"Sekarang tidak ada yang melindungimu lagi. Bisa apa kau tanpa mereka?" Orang itu tersenyum mengejek Mafu.
"Jika sejak awal tidak ada yang melindungimu, ayahku masih hidup sekarang. Mereka membunuh ayahku karenamu. Sekarang kau harus membayar semuanya."
"E-.. Eh...?"

.

"Perasaanku tidak enak..." Gumam Soraru. Ia menatap foto orang yang dikiranya Mafu itu. Semakin lama melihatnya, semakin yakin bahwa orang yang di foto itu bukan Mafu.
"Aku harus minta maaf padanya..." Soraru pun memakai jaketnya dan keluar rumah.

Saat tiba di rumah Mafu, ia sadar apa yang telah terjadi.
'Jadi... Kita semua dibohongi? Cih, tidak bisa ku maafkan. Lihat saja, akan ku bunuh kalian semua. Tapi pertama-tama, aku harus menyelamatkan Mafu.' Batin Soraru.

.

Mafu berjalan sambil memegangi luka di perutnya. Karena ia sudah tidak sanggup lagi berjalan, akhirnya ia ambruk juga.

"Siapapun.... Tolong aku...." Lirihnya.

Tbc

Vote dan comment kalau kalian suka dengan ceritanya.

See you in the next chapter

Our Angel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang