ASMARA

27 3 0
                                    

Seminggu sudah Andari berada di Mekkah, berarti seminggu juga Andari meninggalkan Hanafi. Perasaan rindu yang menghantui Andari pada suaminya semakin tak terbendung di tambah lagi karena Andari sudah mantap akan keputusan yang ia ambil.

Dalam hitungan jam, Andari harus meninggalkan tempat yang dianggapnya sebagai tempat yang membuat ia bahagia, yaitu Mekkah. Perasaan haru juga datang pada Andari saat ia harus meninggalkan paman dan bibinya di Mekkah.

"Paman, bibi. Andari pamit untuk kembali ke Indonesia. Terima kasih atas nasehat dan saran dari paman dan bibi". Pamitku pada paman dan bibi.
"Iya nak, bibi sangat senang kamu udah mau jenguk paman sama bibi di sini". Jelas bibi.
"Nah, bibimu itu betul nak. Kami sangat bahagia kalau kamu jenguk kami di sini. Malahan kami akan tambah senang jikalau kamu sama Hanafi tinggal juga di sini". Tambah paman.
"Alhamdulillah, Andari senang kalo lihat paman sama bibi juga senang. Fauzan tadi kemana bi??". Tanyaku.
"Fauzan tadi izin sama bibi, untuk keluar sebentar, katanya ada perlu". Jelas Bibi.
"Ya udah, sampaikan ucapan terima kasih untuk Fauzan dari Andari, paman. Bibi". Pintaku.
"Iya nak, nanti paman sampaikan sama Fauzan".

Setelah itu, kami bergegas pergi ke bandara. Tak lama setelah itu, aku bergegas untuk siap terbang dan kembali ke Indonesia.

"Andari pamit paman, bibi. Sekali lagi terima kasih atas semuanya". Pamitku.
"Iya nak, kamu hati - hati di perjalanan. Kalo udah sampai nanti jangan lupa kabari paman sama bibi". Pinta paman.
"Iya paman. Assalamualaikum".
"Waalaikumusallam warohmatullahi wabarokatuh". Jawab paman dan bibi.

Saat hendak memasuki pesawat, ada telepon masuk dari suamiku, Hanafi.

"Assalamualaikum, dek".
"Waalaikumusallam bang. Ada apa??".
"Jadi begini dek, abang nggak jadi nunggu adek di Singapura, soalnya hari ini abang lagi ada urusan kerja".
"Iya bang. Andari semalam udah wa abang, Andari juga nggak bisa ke Singapura dulu karena ada berkas penting yang harus di antar ke sekolah".
"Iya dek. Abang lupa buka wa dari adek, soalnya tugas abang sedang banyak".
"Ya udah kalo gitu, abang semangat kerjanya. Harus fokus ngerjain tugasnya".
"Iya adek. Kamu hati - hati di perjalanan. Abang akan tunggu adek di bandara. Abang rindu sama adek. Abang uhibbuka fillah pada adek".
"Abang bisa aja. Ya udah Andari udah mau berangkat bang. Assalamualaikum".
"Fii amanillah dek. Waalaikumusallam warohmatullahi wabarokatuh".

9 jam di perjalanan yang harus ku tempuh untuk bisa kembali ke Indonesia. Aku lalui perjalanan 9 jam tersebut dengan semangat dengan harapan semoga Hanafi bisa menjemputku ketika tiba di bandara.

"Mohon perhatian, pesawat akan mendarat dari hitungan 3.2.1..". Begitulah suara sistem yang menandakan bahwa aku sudah kembali ke Indonesia.

"Alhamdulillah, Ya Allah. Engkau telah memberi keselamatan pada hamba-Mu hingga bisa kembali dengan selamat". Gumamku dalam hati sambil bersyukur atas nikmat yang sudah diberikan.

Setelah mengikuti prosedur di bandara. Tak lama setelah itu, aku lihat di sekeliling belum nampak kedatangan Hanafi. Terbesit di dalam pemikiranku bahwa Hanafi tidak akan menepati janjinya untuk menjemputku di bandara, seperti yang dia ucapkan sebelum keberangkatanku.

"Asraugfirullahalladzim, aku nggak boleh suudzon pada suamiku. Siapa tau kan dia sibuk dengan kerjaannya". Gumamku dalam hati.

Sekitar 10 menit aku menunggu kedatangan Hanafi, namun tak juga kunjung tiba. Akhirnya aku putuskan untuk minta jemput dengan mbak Rahma, sahabat di sekolah tempat aku mengajar. Saat hendak menghubungi mbak Rahma, tiba - tiba handphone ku mati dan aku rasa itu karena batre handphone habis.

"Astaugfirullah, kok handphone nya mati sih, kayaknya batrenya habis deh". Gumamku.
"Terus, aku pulang ke rumah gimana coba?. Ayo Andari mikir, jangan kehabisan akal. Kan bisa pinjam handphone orang sekitar yang mau bantuin kamu". Kataku sambil memikirkan jalan keluarnya.

Di saat aku nampak kebingungan, tak sengaja ada anak kecil yang menangis minta antarkan ke orang tuanya.

"Kamu kenapa nak?? Kok nangis?". Tanyaku pada anak itu.
"Mama.. mama dimana". Ia nampak kebingungan mencari ibunya.

Timbul rasa iba bagiku untuk membantu anak itu, lantaran aku memang nggak bisa kalau melihat anak kecil nangis.

"Nak, emang mamanya di mana??". Tanyaku.
"Tadi mama di dekat halte bis. Aku tadi nengok orang bagi - bagi balon, makanya aku ke sana tante. Waktu aku pergi ke halte lagi mama nggak ada". Jelas anak itu.
"Ya udah. Tante bantu nyariin mama kamu ya nak, kamu jangan nangis lagi". Hiburku pada anak itu agar dia tidak nangis lagi.

Setelah itu, aku bantu anak tersebut untuk mencari ibunya. Ketika hendak menuju halte bis, anak itu langsung berlari meninggalkanku.

"Itu mama (sambil menunjuk ke arah halte bus). Makasih ya tante cantik". Ucap anak itu.
"Eh nak tunggu". Panggilku.

Setelah berlari, aku kehilangan jejak anak itu. Tak lama setelah itu, saat aku hendak menunggu taksi, tiba - tiba ada yang memelukku dari belakang. Aku tentu bingung, takut dengan orang yang sudah memelukku.

"Assalamualaikum akhwat, sendirian aja? Abang temenin boleh?". Ucap Hanafi dari belakang.

Aku sepertinya kenal dengan suara itu dan bagiku suara itu tidak asing lagi. Aku balikkan badan dan ternyata memang benar itu adalah Hanafi. Dengan memakai seragam TNI, nampak bahwa Hanafi sangat gagah lagi tampan saat mengenakan baju tersebut dan aku tau mungkin ia pergi ke bandara setelah pulang dari kerja.

"Waalaikumusallam warohmatullahi wabarokatuh, abang". Balasku.
"Adek udah lama nunggunya?". Tanya Hanafi.
"Udah lumanyan lama bang. Sekitar 15 menit yang lalu". Jawabku.
"Maafin abang ya dek. Soalnya abang nggak tepat waktu jemput adek".
"Ya nggak apa - apa abang. Andari tahu bahwa abang akan datang".
"Ya udah, pulang yuk". Ajak Hanafi.

Setelah itu, aku dan Hanafi menuju mobil dan segera pulang ke rumah. Tidak terasa, perjalanan menuju rumah selesai sudah.

"Alhamdulillah, akhirnya sampai juga". Ucapku.
"Iya dek. Alhamdulillah. Ayo masuk". Ajak Hanafi.

Saat aku memasuki rumah, terlihat oleh ku suasana rumah sangat rapi dan terjaga, malahan lebih rapi sebelum aku pergi ke Mekkah dan aku tahu pasti Hanafi lah yang membereskan semua ini.

"Masya Allah. Rumah rapi banget bang. Abang yang beresin rumah?". Tanyaku.
"Iya dek". Jawab Hanafi.
"Aku bangga banget sama abang". Tambahku.

Saat memasuki kamar, aku juga di buat kagum oleh Hanafi. Kamar saat aku tinggalkan kurang rapi ternyata sekarang sudah menjadi tertata rapi. Bahkan baju kotor suamiku selama aku tinggalkan ke Mekkah pun juga tidak terlihat.

"Baju kotor abang selama Andari di Mekkah mana bang, biar nanti Andari cuci".
"Adek istirahat aja dulu kan adek capek selama di perjalanan. Kalo urusan cuci baju, baju kotor abang udah abang cuci semua, tinggal baju yang abang pakai lagi yang kotor". Ucap Hanafi.
"Subhanallah. Rajin banget suamiku. Aku bangga sama kamu bang". Ungkapku.

Tekagum aku pada Hanafi, bukan hanya pekerja keras dan gagah. Ia juga sholeh dan rajin. Bagaimana tidak, di saat aku pergi dan di tengah kesibukannya dalam bekerja, ia masih sempat - sempatnya untuk membersihkan rumah bahkan ia juga sempat untuk mencuci pakaiannya sendiri selama ia pergi.

Rasa cinta dan kagumku pada Hanafi semakin membuat aku mencintai Hanafi, walaupun ia pernah menyakitiku waktu itu dan aku pun belum tahu apakah masalah Hanafi dan Sonya sudah selesai. Namun berkat bantuan dan hidayah-Nya lah yang membuat aku berpikir dan terhenyang untuk tetap bertahan dan mencintainya karena Allah. Bukan karena ketampanannya ataupun bukan karena hartanya. Begitu pula Hanafi, ia juga mencintaiku karena Allah tanpa memandang pekerjaan ataupun status sosial antara kami berdua. Aku semakin yakin bahwa sebuah cinta harus di landasi dengan kepercayaan dan tidak saling memenangkan ego masing - masing dan aku bangga karena aku mencintai Hanafi karena Allh Ta'ala bukan karena apa - apa. Yang kami cari dalam kehidupan adalah kehidupan dunia dan akhirat agar kami bisa untuk selalu bersama baik di dunia maupun di akhirat.

☆☆☆☆☆

Menghapus Jejak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang