Chapter 2.

145 10 1
                                    

Hari Selasa di pagi hari ini, Rida sengaja berangkat kerja agak siang. Karena ibunya berjualan sayur keliling komplek, Rida memasak nasi goreng untuk sarapan ayahnya yang sekarang masih belum bangun dari tidurnya.

Rida sudah menyiapkan kopi tanpa gula di meja makan kecil, bersisian dengan nasi goreng telur ceplok buatannya.

Rida mengikat rambutnya, lalu meraih tas kecil yang biasa ia bawa ke kafe yang berisi sabun muka, bedak dan liptint.

"Siapa yang masak?"

Menolehkan kepala, Rida tersenyum kaku. "Aku Yah."

Ardi—Ayah Rida, mengangguk singkat.

"Ayah, Rida berangkat kerja dulu," Rida mengulurkan tangan untuk menyalami tangan Ardi.

"Semangat kerjanya, biar jadi orang sukses. Punya duit," ucap Ardi dingin, lalu melepaskan tangannya .

"I-iya Ayah," jawab Rida, gagap. Entah mengapa kadang Rida merasa kurang nyaman jika berbicara dengan Ayahnya.

Mungkin karena aura di paras Ardi nampak galak, dingin, juga datar sehingga ada rasa takut dalam diri Rida jika menatap wajah sang Ayah.

Rida menundukkan kepalanya. "Rida berangkat," pamitnya sekali lagi.

***

Seperti biasa, sejak enam bulan terakhir ini Rida menghabiskan waktunya dengan bekerja.

Diperjalanan menuju kafe, Rida memerhatikan cewek-cewek berbaju putih abu yang hendak menyeberang jalan.

Dalam hati, Rida tersenyum miris. Ia tidak seberuntung orang-orang itu yang bisa sekolah.

Padahal Rida sangat ingin bersekolah seperti teman-temannya, namun apa daya Rida tidak mempunyai uang cukup banyak untuk melanjutkan pendidikannya.

Malam tadi Rida bertanya kepada Leani jika ia ingin sekolah bagaimana? Leani menjawab, "Boleh, tapi gimana? Bunda tidak punya uang untuk kamu sekolah. Rida, Bunda selalu ajarkan kamu untuk selalu bersyukur atas apa yang kamu miliki sekarang. Dan kamu harus bersyukur karena bisa lulus SMP, coba lihat ke bawah, bukan ke atas. Banyak anak-anak yang tidak melanjutkan sekolahnya, Sekolah Dasar saja mereka tidak."

Iya, seharusnya Rida bersyukur. Bukan malah membandingkan dirinya dengan orang lain. Tapi mengapa rasa ingin bersekolah selalu bersemayam di hatinya?

"Rida awas!"

Bruk.

Sepeda yang Rida kendarai menabrak tembok pembatas kafe.

"Aww," ringis Rida, kakinya tertimban oleh sepedanya sendiri.

Rina berlari ke arah Rida, lalu membenarkan posisi sepeda, kemudian membatu Rida untuk berdiri.

"Lo gapapa?" tanya Rina.

"Kaki aku sakit, tapi dikit. Gapapa kok," Rida mengelus kaki kanannya bekas tertindih sepeda.

Rida menekuk kedua alisnya, ia heran. Mengapa ia ada di sini, di depan kafe? Ah Rida melupakan sesuatu, melamun di perjalanan hingga tidak menyadari kalau dirinya sudah sampai di tempat tujuan.

Varida [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang