Chapter 4.

100 10 5
                                    

"Boleh nanya gak?" tanya seorang dara kepada Rida.

Rida yang baru saja meletakkan hidangan cewek itu mengangguk kecil sembari berkata, "Boleh, silakan."

"Gue liat muka lo kayak masih muda, umur lo berapa?"

"Reina, kok lo kepo sih?"

Gadis yang disapa Reina menilik temannya yang baru saja menegurnya. "Gapapa lah, terserah gue. Dianya aja gak masalah, iya kan?" tanyanya, mengelih kepada Rida.

"Iya gapapa," jawab Rida ramah. "Umur aku 15 tahun lebih lima bulan."

"Tuhkan masih muda, sama kayak mukanya. Lo di sini kerja?" tanya Reina lagi.

"Iya, aku kerja."

"Baru 15 tahun kok udah kerja? Lo gak sekolah?"

Sebenarnya Rida kurang nyaman jika ada tamu yang bertanya perihal pribadinya, tetapi Rida tidak ingin menunjukkan ketidaknyamanan itu. Ia harus tetap sopan dan ramah tanpa harus merasa tersinggung atas pertanyaan sensitive itu.

"Lo banyak tanya banget. Lo sadar gak sih setiap orang punya privasi? Pertanyaan lo barusan bisa aja menyinggung perasaan dia. Jangan gitu deh Rein," tegur teman Reina.

Reina berdecak, "Gue cuma pengen tau aja kok, gak ada maksud lain."

"Maaf, saya permisi," pamit Rida yang tidak digubris oleh mereka.

***

Insiden tadi sudah lazim Rida terima dari tamu yang bertanya tentang usia dan sekolah. Namun Rida tidak peduli jika mereka ingin tahu usianya, yang Rida tidak suka adalah ketika orang lain bertanya pendidikannya. Bukannya Rida tidak mau menjawab, tapi sebagian dirinya tidak ingin jika Rida memberitahu orang lain kalau ia sudah tidak bersekolah.

Rida sekarang merasa malas dan tidak mood untuk bekerja setelah ada orang yang bertanya tadi.

Seharusnya Rida tidak boleh seperti itu, karena orang yang bertanya tadi tidak tahu kalau pertanyaan yang dilontarkan membuat orang yang ditanya hilang semangat.

Rida harus professional, ia harus kembali bersemangat dan terus semangat saat bekerja.

"Tadi kayak badmood gitu, sekarang goodmood banget ya?"

Candaan itu keluar dari mulut Rina ketika berpapasan dengan Rida di belokan dapur dengan wajah ceria seperti biasa.

Senyuman menghiasi wajah Rida. "Eh Rina."

"Moodnya labil banget," kata Rina, "dasar bocah."

Rina berlalu sembari geleng-geleng kepala, Rida kembali melanjutkan pekerjaannya.

Mungkin penilaian orang, Rida dianggap anak kecil, padahal tanpa mereka tahu Rida adalah remaja yang sudah dewasa di waktu yang belum tepat. Rida sudah merasakan pahitnya kehidupan, ia selalu tersenyum seolah tidak mempunyai beban.

***

"Kamu udah gajian kan?"

Rida yang baru saja menutup pintu utama menoleh kepada Ardi yang duduk di kursi dekat pintu.

"Iya Ayah," jawab Rida jujur, karena memang benar hari ini ia gajian.

Leani datang dari arah dapur seraya membawa gelas berisi kopi untuk Ardi.

"Kamu udah pulang?" tanya Leani kepada Rida.

"Udah Bun, baru aja." Rida duduk di kursi, ia membuka tas ranselnya dan mengeluarkan amplop panjang berwarna cokelat, disodorkannya amplop itu kepada Leani.

Leani tidak langsung menerima, ia menukik alisnya tidak mengerti. "Kenapa diserahin ke Bunda? Itu hasil kerja kamu."

"Buat Bunda sama Ayah," Rida meraih telapak tangan Leani. "Maaf gak seberapa, gajinya masih tetep kayak enam bulan yang lalu saat pertama kali Rida kerja."

Varida [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang