Sebuah mobil hitam baru saja melewati batas kota ketiga setelah berhari mengendara. Menepi disebuah jalan dengan hujan yang lebat. Pria 22 tahun itu akhirnya sampai di tempat tujuanDengan mata sayu ia menatap keluar jendela. Dengan hujan yang mungkin sama di tempat yang sama dengan daun gugur berbeda. Ia ingat dengan sangat jelas hari itu. Hari dimana ia mengungkapkan rasa dengan cincin yang kini melekat di jarinya.
Bahkan ia masih mengingat dengan jelas senyum manis dari gadisnya saat dipasangkan cincin. Sebelum akhirnya semua hancur oleh tabrakan di bawah hujan masa itu.
Divo meringis kesakitan, bahkan mengingat masa lalunya masih membawa rasa sakit sampai sekarang. Kepalanya berdenyut tepat seperti dua tahun yang lalu stir mobil menghantam kepalanya dengan keras.
"Arrgg..." Divo menggeram lalu mencoba untuk menarik nafas dalam "Ini cuma perasaan lo Div, semua ini gak nyata" lalu Divo memukul pelan dadanya untuk membuat udara masuk.
Butuh beberapa menit untuknya menenangkan diri. Divo melirik keluar dan bernafas lega "Gis, andai kamu masih disini, semua pasti bakalan bahagia" ujarnya sambil mengelus cincin di jarinya.
Divo menjalankan mobilnya lagi. Berbelok ke kiri hingga melewati jalan kecil. Tempatnya memang sepi ditambah dengan hujan yang turun membuat orang enggan ke sini. Hingga akhirnya Divo memarkirkan mobilnya di bawah pohon yang cukup rindang.
Ia mengela nafas dan membuka dashboard mobil. Mengambil sebuah kotak kecil dengan ikatan pita indah "Kamu ingatkan sama kalung ini?" ia membuka kotak itu dan menampilkan kalung indah dengan liontin berbentuk tetesan air "Gis, dulu aku pernah janji bakalan beliin kamu ini kalo aku udah kerja di rumah sakit kan?. Dan sekarang aku udah jadi dokter seperti yang kamu mau" ujarnya dan tersenyum.
Divo mengambil payung dari kursi belakang lalu keluar dari mobil. Berjalan dengan sayu ke kuburan milik Gisti. Bunga bunga masih segar berada di sana, karena setiap hari Divo membayar orang untuk membersihkan kuburan Gisti.
Ia menatap nisan Gisti masih dengan tak percaya. Meski dua tahun berlalu tapi Divo merasa Gisti selalu ada bersamanya. Divo langsung berlutut disebelah kuburan itu dan mengelus nisan dengan sangat lembut.
"Sayang, kamu baik baik aja kan disana?" tanya Divo seolah Gisti masih ada.
"Kamu masih ingat gak waktu pertama kali kita pacaran?. Waktu itu aku kelas tiga SMA sedangkan kamu dua tahun di bawah aku. Kita akhirnya pacaran setelah lima tahun Friendzone-an"
"Aku masih inget, gimana manisnya tawa bahagia kamu pas tau aku diterima di fakultas kedokteran. Kamu senyum lalu peluk aku sambil bilang "Aku bakalan nyusul kamu kuliah di sana" hari itu pokoknya bahagia"
Divo tersenyum manis sambil tak hentinya mengelus nisan Gisti. Dan tanpa ia sadari air mata ikut turun ke pipinya. Divo bahagia karena tau Gisti juga pasti bahagia di sana.
"Kamu tau?, kemarin aku ketumu sama orang yang mirip banget sama kamu Gis, awalnya aku hampir mengira itu kamu tapi aku sadar Gisti cuma ada satu, dan sekarang dia udah tenang"
Divo mengeluarkan kalung tadi dari sakunya "Aku beliin kalung ini buat kamu, hadiah karena aku udah jadi dokter sekarang" Divo meletakan kalung itu di samping nisan Gisti "Kamu pasti cantik banget kalo make ini"
Divo mendekat ke nisan gisti lalu memeluk nisan itu dengan erat. Ia tak peduli dengan payung yang sekarang tak meneduhinya. Ia tak peduli jika hujan akan membasahi semua tubuhnya. Tangisan tak hentinya pecah bercampur hujan yang deras.
"Gis... Aku sayang kamu, aku tau kamu udah gak ada Gis. Tapi aku gak bisa ikhlasin kamu Gis. Aku benci hari itu, gak seharusnya aku koma Gis" ia terus terisak.
"Harusnya aku dampingi kamu di hari terakhir kamu, harusnya aku ikut di hari pamakaman kamu. Dan gak seharusnya aku koma Gis... Maafin aku" ia terus menangis dan menyalahkan diri.
"Aku udah coba ikhlasin kamu Gis, tapi semua percuma. Aku gak bisa nerima kenyataan kalo kamu udah gak ada di hari pertama aku bangun dari koma Gis"
"Kenapa dunia gak adil?!" teriak Divo "kenapa tuhan gak ngambil kita berdua?, kenapa aku cuma koma sedangkan kamu pergi selama lamanya Gis?. Tuhan gak adil" teriaknya.
Hujan semakin lebat, membasahi tiap sisi di sana. Divo masih setia dengan posisinya meski hampir setengah jam berlalu. Tangisnya memang sudah mereda namun hatinya masih hancur.
Divo bangkit dari posisinya, memberi jarak dari nisan Gisti "Aku sayang kamu Gis" ujarnya sebelum semua menjadi gelap dan Divo kehilangan kesadarannya.
♡
Hari berganti, mentari mulai menunjukan eksistensi nya pada manusia. Cahayanya mulai merambat melalui jendela membuat banyak insan terbangun dari mimpi mereka.
Divo mengerjapkan matanya beberapa kali. Sebelum ia menyadari dirinya tengah berada di sebuah ruangan kecil. Ia langsung bangkit dan memperhatikan sekitar. Seperti sebuah kamar kecil.
Derap langkah dari luar membuat fokusnya teralihkan dan otomatis mengambil posisi waspada. Divo berjalan dan membuka pintu perlahan. Pemandangan yang cukup membuatnya kaget.
Pak Hardian, penjaga kebersihan di pemakaman yang tengah menatap jeli kalung yang Divo tinggalkan di makam Gisti.
Divo pun berdeham, membuat pak Hardian cukup kaget "Eh mas Divo udah bangun" ujarnya. Divo hanya sedikit tersenyum "Maaf pak, itu kalung di makam Gisti kan?" tanyanya.
Pak Hardian mengangguk "Iya mas tadi saya nemu pas mau bersihin makam mbak Gisti" pak Hardian pun memberikan kalung itu pada Divo "Mas Divo sering ya ngantar perhiasan ke sini?"tanyanya.
Divo sedikit bigung "Gak pak, saya baru kali ini" jawabnya dan sekarang malah pak Herdian yang terlihat bingung "Ada apa ya pak?"
"Sebenarnya ini bukan pertama kali saya lihat perhiasan di makam mbak Gisti. Akhir-akhir ini ada cincin, gelang dan kalung juga. Saya jadi heran, saya kira itu dari mas Divo. Tapi pas besoknya saya lihat, perhiasannya gak ada lagi"
Divo tertegun mendengar ucapan pak Herdian "Bapak yakin?" pastinya. Pak Herdian mengangguk mantap.
"Tapi beberapa hari yang lalu saya lihat ada gadis yang meletakan perhiasan di situ"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Psychopath Boyfriend
Horror"Naughty Girl should be punish right?" "T-t-tapi aku cuma mel--" "Wanna play with me baby?"