Malam penuh tanya

90 8 0
                                    

"Masih mau belain dia?! Ha?! Sekarang ketauan kan kalau selama ini dia cuma pake topeng di depan kita semua?!!".

Sedari tadi aku menahan diri untuk tidak perlu tau siapa yang sedang marah-marah di rumahku malam-malam begini. Tapi lama-lama aku kesal juga. PR matematikaku belum selesai ku kerjakan. Bising di ruang tamu itu membuat fokusku buyarrrr

Aku menjadi ingin tau siapa gerangan pemilik suara keras itu?!
Dengan gerakan pelan, aku mencoba mengintip di balik gorden kamar yang sedikit ku singkap.

"Udah mas, tahan emosinya. Tenang dulu. Kita cari jalan keluarnya bareng-bareng".
Ku lihat Abi mencoba membujuk Mas Hendra. Ya, ternyata ia yang telah menggangu belajarku.

"Gimana bisa tenang pak Ustadz?! Dia kabur bawa uang mamak".
Mas Hendra masih berapi-api. Kedua matanya memerah.


Di shofa yang bersebrangan dengan yang ditempati Abi dan mas Hendra, aku melihat mamak tengah menangis. Mbak Diana juga di sana bersama umi. Mata mbak Diana yang basah itu tak lepas memperhatikan mas Hendra, sang suami.

"Udah Diana, mamak, jangan nangis!! Ngapain nangisin orang kaya dia?!! Buang-buang air mata!!!"

Aku semakin kesal pada mas Hendra. Beraninya dia meninggikan suara terhadap mamak! Sebagai menantu tidak selayaknya mas Hendra seperti itu! Seingatku Abah saja hampir tidak pernah memarahi mamak.


Mamak masih terus menangis. Ah, aku tidak tega. Ingin rasanya ikut memeluk mamak seperti yang dilakukan mbak Diana. Tapi jika aku keluar dari persembunyianku sekarang, aku akan gagal mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Hendra yakin dia belum jauh dari sini. Kalian diem di sini aja. Hendra mau nyari tu orang. Sampe ketemu, bakal abis dia di tangan Hendra".


Semua orang di sana terperangah. Mamak berusaha menahan tangan kekar menantunya yang kini hampir sampai di depan pintu.


"Jangan mas. Kalau sayang sama mamak, mas jangan gitu. Itu cuma akan nambah masalah baru".
Cegah umi. Selaras dengan gerakan kepala mamak yang terus menggeleng pelan. Tatapannya yang prihatin seakan mengatakan 'jangan' kepada Mas Hendra.


Rupanya mas Hendra tetap ingin pergi. Berkali-kali ia berusaha melepaskan genggaman mamak di lengannya. Namun mamak terus menggenggam sekuat mungkin. Sampai akhirnya genggaman mamak berhasil lepas saat ia tersungkur jatuh. Mas Hendra mendorong tubuhnya cukup keras. Entah sengaja atau karena terlalu emosi, aku tak tau. Yang jelas, hatiku ikut sakit kala itu melihat mamak jatuh dengan air mata yang berderai deras.


Umi, Abi dan mbak Diana segera membantu mamak untuk bangun. Sedang mas Hendra memanfaatkan situasi itu untuk keluar rumahku dengan cepat. Mengetahui itu, mamak lekas menyusul mas Hendra keluar.


"Mak mau kemana Mak???!!!".
Kini mbak Diana mulai histeris. Ia ikut keluar menyusul ibu dan suaminya. Abi dan umi tampak sekali khawatir.


"Umi, jaga rumah ya. Jaga anak-anak. Abi mau susul mamak sama mbak Diana. Takut ada apa-apa".
Titah Abi tak lama setelah mbak Diana keluar dari rumahku. Umi mengangguk faham.


Setelah umi menutup pintu, aku berlari menghampiri umi dan memeluknya.


"Umiiiii"

Air mataku tumpah. Kembali terlintas bayangan mamak yang menangis tersedu.


"Kamila? Kamu denger semuanya?"
Aku mengangguk. Terdengar umi berdecak pelan.

"Mas Hendra kenapa bentak-bentak mamak mi?? Mamak kenapa?? Siapa yang bawa kabur uang mamak mi?? Mamak kemalingan?? Mi, jawab. Mamak kenapa??"


Dadaku semakin sesak. Umi tak menjawab sederet pertanyaanku. Ia justru mengusap kepalaku pelan. Aku masih menarik ujung jilbab umi agar mau memberiku penjelasan.


"Sayang, doain aja mamaknya ya. Kamu masih kecil. Umi gak bisa cerita. Ini urusan orang tua".

Aku masih merengek. Umi malah mengantarku menuju kamar. Memintaku untuk segera tidur dan tidak memikirkan kejadian yang aku lihat tadi.


Di balik selimut aku masih terus menangis. Sampai akhirnya lelah membuatku terlelap juga.

Wanita TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang