Seminggu setelah kejadian malam itu mamak pindah kontrakan. Lokasinya berdekatan dengan yang sebelumnya ia tempati. Tapi kontrakan ini terlihat lebih kecil. Hanya ada tiga ruang sempit. Ruang paling belakang digunakan untuk dapur, ruang tengah untuk kamar mamak bersama kak Ali dan mbak Lisa putri bungsunya, ruang depan difungsikan menjadi ruang menonton tv. Kamar mandinya pun tidak luas sama sekali. Semua terkesan minimalis.
Ohiya, mengapa hanya ada kak Ali dan mbak Lisa bersama mamak di kontrakan itu? Karena anak-anak mamak yang lain sudah menikah dan hidup bersama keluarga kecil mereka. Sebenarnya ada mas Dandi yang juga belum menikah, tapi ia jarang di rumah karena sudah mulai bekerja.
"Mak, kenapa pindah sih? Bukannya lebih luas kontrakan yang kemarin ya?"
Tanyaku disela-sela membantu mamak menyiapkan bahan gorengan yang akan ia jual besok."Disini uang sewanya lebih murah, Mil. Lumayan sisa uang mamak bisa buat tambahan biaya Ali sama Lisa sekolah".
"Oh gitu. Tapi Abah tau kan kalau pindah kontrakan? Kok Abah pulang kampung lama banget si Mak? Biasanya cuma 3 hari paling lama".
Tanyaku lagi. Kak Ali tiba-tiba menatapku tajam. Apa yang salah dari pertanyaanku?, Fikirku."Siapa yang bilang dia pulang kampung? Gak usah nanya-nanyain dia! Gak usah ngarep dia pulang! Dia udah mati!!"
Yaa Tuhan kenapa kak Ali kasar sekali?!!! Huhhh orang ini selalu membuatku naik darahhhh
"Apaan si kak?! Kalo ngomong sembarangan aja!! Mamak kok yang bilang Abah pulang kampung".
Protesku tak terima dengan ucapannya tadi. Anak macam apa menyumpahi ayahnya sendiri?"Assalamu'alaikum...."
Suasana yang mulai memanas tadi menjadi teralihkan dengan kepulangan mbak Lisa dari sekolah. Terlebih dia pulang dalam keadaan menangis.
"Wa'alaikum salam. Kenapa dek? Kok pulang sekolah nangis?".
Mamak membimbing mbak Lisa duduk di sampingnya. Aku dan kak Ali hanya memperhatikan.
"Tadi Abah ke sekolah dede, Mak. Abah ngasih dede hp. Katanya kalau dede kangen, dede disuruh telpon Abah".
Ujar mbak Lisa terbata. Tangisnya membuat suaranya semakin samar didengar.
Ku lihat mamak mulai menangis juga."Mana sini hpnya?".
Sahut kak Ali keras. Aku sampai kaget dibuatnya."Enggak kak. Mau diapain? Ini buat dede nelpon Abah".
Mbak Lisa berusaha menyembunyikan tasnya di balik pinggulnya. Mamak masih tak berkata apa-apa. Ia masih menangis sambil memeluk mbak Lisa.
Aku mencoba merangkai puzzle puzzle yang ku dapati sore itu.
Mulai sikap keras kak Ali saat aku menanyakan Abah sampai pengakuan mbak Lisa tentang kedatangan Abah ke sekolahnya.Dan akhirnya aku mengerti. Bahwa Abah tidak benar-benar pulang kampung seperti yang selalu mamak jadikan jawaban tiap aku bertanya 'kemana Abah?'. Aku baru menyadari bahwa yang disebut-sebut 'dia' oleh mas Hendra malam itu, adalah Abah. Dan aku baru paham alasan mamak pindah kontrakan karena sisa uang miliknya tidak cukup untuk membayar kontrakan sebelumnya.
Tapi masih tersisa tanya di benakku.
Kenapa Abah pergi begitu saja? Kemana ia pergi? Untuk apa pula ia membawa kabur uang tabungan milik mamak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Tangguh
Non-FictionKisah nyata yang ku alami. Tentang seorang wanita tangguh yang sangat ku cintai.