"Luka mereka aku yang melakukannya. Aku yang menyebabkan mereka terluka, Mr. Carlson."
Liana menundukkan kepalanya takut. Ia tidak berani menatap lawan bicaranya. Sejak tadi keringat dingin terus keluar membasahi keningnya. Kedua kakinya sekarang terasa seperti jelly.
Eric membulatkan matanya tidak percaya. "Apa kau sedang bergurau, Ms. Collins?" tanya pria itu dengan kedua alisnya yang terangkat tinggi. Tidak mungkin wanita itu melakukannya, apa lagi sampai membuat hidung kedua cucunya berdarah.
Liana mengelengkan kepalanya pelan. Ia tidak peduli jika pria tua itu memanggil polisi dan memenjarakannya atas kasus penyerangan. Liana sungguh tidak bisa membohonginya.
"Tidak, aku mengatakan yang sebenarnya, Mr. Carlson," ucapnya lirih yang terdengar seperti suara cicitan tikus.
Eric terkejut dengan apa yang dikatakan Liana. Pria tua itu menatap kedua cucu kesayangannya secara bergantian meminta penjelasan dari mereka. Tatapan matanya seolah mengatakan 'Apa itu benar?'
Darel dan Erlan menganggukkan kepala mereka pelan. Harga diri seorang pria yang mereka miliki sekarang telah jatuh dihadapan Kakeknya. Itu pasti akan menjadi bahan lelucon Kakeknya selama akhir hayatnya. Sial! Mereka tidak akan melepaskan wanita itu dengan mudah.
Eric menahan tawanya. Pria itu cukup penasaran dengan alasan Liana yang meninju keras kedua cucunya. Pasti seru jika ia ada disana dan melihatnya secara langsung, sangat disayangkan ia melewatkannya.
"Apa alasanmu melakukanya? Apa mereka membuatmu kesal, Ms. Collins?"
Liana semakin dalam menundukkan kepalanya. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya? Kalau si pria porselen itu bersikap kurang ajar dan mengatakan hal buruk tentangnya. Lalu cucunya yang satu lagi yang paling berengsek itu menciumnya tanpa permisi. Liana menghela napasnya kasar. Harus! Pria tua itu harus mengetahui sifat mesum yang dimiliki kedua cucunya itu.
"I-itu karena.." Liana tidak melanjutkan ucapanya karena suara tawa yang terdengar sangat keras di kedua telinganya. Wanita itu mengadahkan kepalanya ke atas mencari pemilik suara tersebut.
Betapa tercengangnya ia saat melihat pria tua itu tengah tertawa terbahak-bahak sembari memegangi perutnya. Ada apa dengannya? Liana tidak mengerti, menurutnya tidak ada yang lucu disini.
Liana mengenyitkan dahinya menatap heran Darel dan Erlan yang justru berbanding terbalik dengan Kakeknya. Kedua pria itu memilih memasang wajah datar tanpa ekspresi.
Setelah lima menit pria tua itu baru meredakan tawanya.
"Aku menyukai kejujuranmu, Ms. Collins," ucap Eric di sela tawanya. Ia tidak bisa menahan lebih lama lagi untuk tidak tertawa. Pria itu menghapus cairan bening yang keluar dari sudut matanya. Sudah lama ia tidak tertawa lepas seperti tadi.
Liana membulatkan kedua matanya tidak percaya. Apa itu artinya ia dimaafkan? Apa itu artinya pria tua itu tidak akan memanggil polisi? Berbagai pertanyaan mulai bermunculan di kepala Liana. Wanita itu menggeleng keras. Ia bahkan belum mengucapkan kata 'maaf' padanya. Bagaimana bisa ia berpikir seperti itu?
Liana kembali menundukkan kepalanya. "Sebelumnya aku minta maaf jika itu menyakiti perasaan anda, Mr. Carlson. Kumohon jangan pen--"
"Tidak perlu meminta maaf, Ms. Collins. Kau tahu? Aku sangat menyukai orang yang jujur. Sebagai hadiahnya aku tidak akan membiarkanmu pulang dengan tangan kosong!"
Liana menggelengkan kepalanya ingin menolak.
"Kumohon terimalah, aku akan sangat sedih jika kau menolaknya, Ms. Collins."
________________________________________
"Satu jam lagi anda memiliki rapat dengan pemegang saham, sir. Pukul 10 nanti anda harus menghadiri pertemuan yang diadakan kolega. Lalu..." Jeslyn membacakan jadwal harian Bosnya dengan teliti. Wanita itu sesekali menggeser ipad yang berada di tangannya. Semua jadwal penting Bosnya ia catat di benda berlayar persegi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY JERK BOSS
Romans[ADULT ROMANCE | CEO SERIES] Apa yang diharapkan dari kehidupan Liana yang bekerja sebagai administrator disebuah kantor cabang yang letaknya jauh dari pusat kota? Tentu saja tidak ada. Penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari dan biaya te...