dia, Syam?

729 279 528
                                    

Hujan baru saja reda. Genting-genting masih basah. Ujung dedaunan sesekali masih meneteskan air sisa hujan. Air menggenang di beberapa bagian halaman rumah bernuansa putih berlantai dua. Angin dingin mendesau, mengibarkan jilbab Aila yang tengah berjalan gontai memasuki pelataran rumahnya.

"Sebentar lagi Maghrib," ucapnya. Lalu bergegas cepat membuka pintu dan melenggang masuk begitu saja.

"Habis dari mana, nduk?" Seorang lelaki paruh baya tersenyum hangat melihat Aila berjalan gontai hendak menghampirinya.

"Tadi dari depan sebentar Abah, ada keperluan." Aila menjawab sembari meraih lengan yang sudah rentan milik ayahnya.

"Adikmu kemana?"

"Tadi izin ke asrama, Bah. Ingin ikut kegiatan dengan mbak-mbak santri yang lain katanya."

"Yasudah, cepat ke kamar sebentar lagi maghrib. Cepat bebersih."

Aila mengangguk patuh, lalu undur diri untuk meninggalkan sang Abah sendirian di bawah sana.

"Habis salat Maghrib ada yang ingin Abah bicarakan."

Belum sempat Aila menginjakkan kakinya menaiki anak tangga, suara sang Abah berhasil menghentikan langkahnya. "Bicara soal apa, Bah?"

"Rahasia," jawab sang Abah dengan lagak guyonan nya.

"Abah sudah pandai menyimpan rahasia rupanya," jawab Aila terkekeh sembari melanjutkan langkahnya.

"Jangan salah nduk, Abahmu ini dulu orang paling pandai sekecamatan." Di bawah sana, sang Abah tertawa begitupun dengan Aila. "Tapi, apa sangkut pautnya dengan rahasia Bah?" Jawab Aila di dalam hatinya. Dasar Abah, ada-ada saja.

ෆ✧*⁠。

Pasokan oksigen tiba-tiba menipis, entahlah. Entah memang karena cuaca yang tidak stabil atau mungkin karena situasi yang membuat Aila merasa kehabisan pasokan nafas di area sekitarnya.

Selepas salat maghrib tadi, Aila langsung turun menemui abahnya di ruang keluarga. Namun ternyata, bukan hanya Abah yang berada disana. melainkan ada sebuah keluarga asing serta lelaki jangkung berkulit putih yang ikut serta disana.

"Apa yang mereka lakukan disini umi?" Bisiknya kepada umi Halimah.

"Kita dengarkan saja nak." Aila pasrah, hanya bisa mengangguk sembari tersenyum dengan terpaksa.

Semakin jauh pembicaraan semakin membuat Aila merasa tak betah berada di tempatnya, di tambah dengan kehadiran Ayana yang kini malah memprovokasi keterdiaman nya.

"Saya sungguh ingin memperistri kamu, Aila."

Deg!

Jantungnya seakan jatuh begitu saja. Hal yang sedari tadi di takutinya benar saja terjadi.

"Nak, Arfan sudah cukup mapan begitupun kamu. Kalian berdua sudah sama-sama dewasa, sudah pantas untuk menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius."

Seorang wanita paruh baya berjilbab panjang itu mengelus punggung lengan Aila yang terasa sangat dingin.

"Nak." Kini, Umi Halimah yang berucap.

DIA [revisi version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang