hari penuh luka

273 89 35
                                    

Pagi-pagi sekali, penampilan Aila sudah rapih pun kamar tidurnya sudah begitu semerbak. Gadis itu kian beranjak, berjalan menuruni tangga dan melesat ke meja makan. Aila meraih satu bangku dan langsung duduk disana. "Kenapa belum sarapan?"

"Menunggu mbak lah, apalagi?" Jawab Ayana dengan cepat.

"Sudah-sudah, ayo kita sarapan. Sebenarnya dari tadi Abi mu itu sudah tidak sabar untuk mencicipi masakan putrinya ini, tapi umi melarang."

"Kenapa di larang umi?" Gadis itu meraih sangku dan mengisi piring-piring disana.

"Yo harus bebarengan lah makan nya, kan kamu yang memasak moso kamu yang di tinggal makan sendirian?"

"Padahal tidak apa umi." Aila tersenyum lalu menyodorkan pepes ikan mas buatan nya kepada sang Abi.

"Ini baru sedep rasanya pas!" Puji sang Abi, lelaki paruh baya itu begitu lahap.

"Ah Abi mah semua makanan juga di sebut sedep enak! toh enak nya Abi tinggal makan saja, tidak harus masak. Iya kan umi?" 

Aila terkikik mendengar penuturan adiknya, begitupun umi Halimah. "Sudah sudah, cepat di lanjut makan nya nanti keburu di habiskan Abi tuh ikan nya."

Acara sarapan pagi itu berjalan dengan khidmat, dengan celotehan Ayana yang terus beradu argument dengan Abinya.

Selepas menghabiskan makanannya, Aila segera beranjak. Membawa piring-piring kotornya ke dapur dan mencucinya. Sedang sang Abi, umi dan Ayana beranjak ke ruang tengah untuk sekedar mengobrol.

drtt drtt.

Tiba-tiba ponselnya berdering, Aila meraih kain dan mengeringkan lengan nya yang basah.

Nomor tidak di kenal.

"Assalamualaikum, mbak Aila? Benar ini mbak Aila?" Suara di sebrang sana mulai terdengar olehnya.

"Benar, maaf dengan siapa?"

"Saya Azizah, mbak masih ingat saya?"

"Azizah ... "

"Mas Syam, saya Azizah adiknya mas Syam. Mbak ingat?"

Deg!

Mendengar nama itu, dadanya kembali bergemuruh riuh. Entah mengapa, Aila merasa dirinya begitu lemah. Perihal Syam, ia tak bisa baik-baik saja.

"Mbak ... mbak masih disana?"

"Ohiya Azizah, ada yang bisa mbak bantu?"

"Jika mbak berkenan, saya ingin bertemu dengan mbak hari ini di taman." Entah mengapa, suara Azizah di sebrang sana bergetar.

"Baiklah, sepuluh menit lagi mbak datang."

Setelah sambungan telpon di matikan, Aila berjalan ke arah kamarnya. Sebelum mengambil tas kecilnya di atas sana, Aila pamit terlebih dulu kepada kedua orang tuanya.

"Hati-hati ya nduk. Langsung kabari Abah jika terjadi sesuatu."Aila mengangguk, meraih kedua lengan orang tuanya lalu undur diri.

DIA [revisi version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang