sebuah cinta

353 114 116
                                    

Rintik hujan yang jatuh ke bumi menjadi irama pelengkap sunyi nya malam hari. Tak ada yang di lakukan oleh Aila sedari tadi, ia hanya sibuk memandang jauh ke depan sana dengan tatapan yang kosong. Ia merasa hampa, merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Tapi apa? Aila menarik nafasnya dalam-dalam, keping demi keping ingatan itu kembali menyeruak mengganggu pikirannya. Aku harus bagaimana?

Sekejap, ia diam. Mengingat beberapa jam kebelakang, lalu melihat telapak lengannya yang dingin. "Lengan itu ... ?" Lelaki pucat yang beberapa jam lalu ikut serta bersamanya berhasil mengalihkan pikiran Aila. Siapa dia? Mengapa Aila merasa begitu tak asing dengannya? Siapa dia? Mengapa uluran lengan itu seakan memberinya sebuah isyarat pertemuan. Siapa dia? Mengapa sayu sorot matanya membuat hati Aila patah?

Siapa dia?  Aila memejam, mencoba merasakan lagi uluran lengan dingin itu. Apakah dia ... ?

Aila tersadar, setitik air luruh membasahi pipi mulusnya. Mengapa? Siapa? kenapa rasa itu seakan kembali hadir di dalam hidupnya? Di saat ia mencoba untuk melupakan. Namun, selalu ada yang membuat hatinya ragu dan kembali berharap akan sesuatu yang semu.

Apakah aku terlalu bodoh? Batinnya.
Tetes demi tetes air yang jatuh ke bumi, mengapa membawa kembali namamu dan semua rasa itu? Perihal ini, aku yang salah atau memang takdirnya sudah begitu??

Namun ...

Aila tersadar. Tidak! Terkaan itu tidak benar! Lelaki itu bukan siapa-siapa! Lelaki itu bukan Syam! Syam tidak mungkin selemah itu! Tiba-tiba hatinya bergemuruh, rasa cemas menyeruak begitu saja. Ia menepis dengan cepat dugaan menyakitkan itu. Ia tak ingin melihat Syam seperti itu, itu menyakitkan.

Syam ... dimanapun kamu berada saat ini, dengan siapapun kamu saat ini sungguh aku ikhlas. Yang terpenting adalah kamu bahagia dan Allah selalu melindungi mu.

Adakah hal yang lebih indah dari mengikhlaskan? Adakah yang lebih pantas di lakukan selain mendoakan?

Aila dengan cepat menghapus jejak air yang menggenang di pelupuk matanya. Ia ingin berhusnudzon kepada Allah, bukankah semua ini adalah rencana-Nya?

Ceklek.

"Anjani? ... "

"Heh! siapa lo!" Suara bariton di ambang pintu sana, menghentakkan kesadaran Aila. Gadis itu bangkit, gelagapan. Merasa tidak aman dengan posisinya, di tambah lelaki itu berjalan mendekat.

"Jangan mendekat! Ini kamar saya!"

"Dan ini rumah gue!"

Aila bungkam seribu bahasa. "Sa ... saya teman Anjani."

"Abangg!!!"

Suara teriakan Anjani yang sedang berlari ke arah kamar begitu menggelegar. Membuat sang empu yang di panggil terpengang seketika.

"Abang! lo jangan kurang ajar ya sama temen gue!" Di ambang pintu sana Anjani berkecak pinggang, membuat Aila menghembuskan nafas lega.

"Oh ini temen lo?!"

"Iya kenapa?!!"

"Bisa ya orang jelek kaya lo punya temen secantik ini?" Setelah mengatakan itu, sang empu melenggang pergi begitu saja. Tak menghiraukan Anjani sebagai adiknya.

DIA [revisi version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang