bahagia yang terluka

243 80 62
                                    

Saat kata tak mampu lagi menerjemahkan bahasa rasa, lantas harus dengan apa tersalurnya perasaan yang memenuhi relung jiwa? Saat lisan tak mampu menyampaikan, apakah perlakuan bisa menjadi hal untuk menafsirkan? Karena terkadang, ada beberapa hati yang tak peka akan rasa.

Dalam keterdiaman yang tak seharusnya, hati Syam menerka. Apakah ia pantas berdiam diri seperti ini? Dengan segala rasa sakit di tubuhnya apakah pantas ia menjadikan nya alasan mengabaikan rasanya dan Aila begitu saja? Sekejap ia memandang keluar jendela, lalu melihat selang infus yang masih tertancap di atas punggung lengannya. "Aku harus berusaha," batinnya.

Syam menekan tombol kecil berwarna merah, tak lama seorang suster datang menghampirinya. "Ada yang bisa saya bantu mas?" Tawarnya.

"Tolong lepaskan selang infus ini."

"Tapi untuk apa mas?"

"Saya hanya ingin keluar sebentar, Lagi pula saya juga sudah tidak merasa sakit." Syam berimbuh dengan yakin nya.

"Tapi mas saya tidak bisa jika tanpa persetujuan dokter terlebih dulu ... "

"Dokter Agreeta sedang menangani pasien lain, karena itulah saya menekan bel itu."

"Jadi sudah atas persetujuan dokter Agreeta?" Syam dengan cepat mengangguk, jelas lelaki itu berbohong.

"Baiklah."

Setelah membantu Syam melepaskan selang infusnya, suster itu kembali keluar. Sedang lelaki itu tersenyum samar sebentar, merogohkan lengan nya ke bawah bantal dan mengambil sebuah foto Aila yang hampir usang disana. Lalu di masukan ke dalam saku celana hitam yang beberapa menit lalu di kenakan nya.

Sebelum melangkahkan kakinya keluar, Syam meraih sebuah kertas dan ballpoint. Menulis beberapa kata disana dan ia letakkan di atas meja kecil, Agreeta akan membacanya jika wanita itu nanti datang kemari pikirnya. Baiklah, Syam berdiri sebentar merasakan tubuhnya.

"Maafkan aku Agreeta."

Syam melangkah pergi, meninggalkan tempat yang sudah setahun lebih membantunya untuk bertahan hidup selama ini. Melangkah pergi untuk meraih segala harap yang tak ingin ia sesali sekali lagi.

Aila, izinkan aku kembali membawa semua rasa ini. Izinkan aku bertanggung jawab atas apa yang kita alami selama ini. Sungguh, aku mencintaimu. Aku ingin memulai semua ini bersama mu lagi tanpa kata henti.

ෆ✧⁠*⁠。

Di depan kaca meja rias, Aila termenung menatap dirinya di dalam pantulan cermin. Baju kebaya berwarna salem telah ia gunakan sedari tadi, pun sedikit olesan make-up telah menyempurnakan kecantikan Aila. Di bawah sana, keluarga besar Malik baru saja sampai.

Lelaki tampan itu begitu terlihat rapih dengan setelah kemeja batik berwarna senada dengan pakaian Aila. "Mas ganteng banget, mbak Aila pasti makin cinta deh sama mas." Ayana menatap Malik tanpa berkedip sedikitpun. Lalu menarik lengan sang calon kakak ipar untuk segera masuk dan duduk di tempat keluarga yang sudah ramai.

Malik meremas kedua lengannya gugup, entah mengapa ia merasa sangat canggung berhadapan dengan banyak orang kali ini, tidak seperti biasanya. Ia menatap satu persatu wajah keluarga nya yang hadir disana. Raut bahagia mereka tak bisa di sembunyikan. Malik tersenyum, membayangkan akan betapa cantiknya Aila nanti.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DIA [revisi version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang