Desa Weton Nyelap kali ini terasa hening. Malam yang pekat seperti larut dalam mendung yang sejak sore tadi memayungi desa yang cukup ramai ini. Gerimis mulai turun satu-satu. Di ujung langit sana sesekali terlihat kilat yang menjilat angkasa. Sejenak suasana jadi terang benderang, kemudian kembali gelap pekat.
Glarrr!
"Oeee...! Oeee...!"
Di ujung desa yang menghadap ke sebuah jurang yang cukup dalam, berdiri sesosok tubuh ramping sambil menimang seorang bayi yang terus menangis. Ketika guntur membelah langit, tangis bayi itu berhenti sesaat. Dari denyut jantungnya yang berdetak cepat, agaknya bayi Itu terkejut kaget. Namun tangisnya kembali meledak, ketika rasa dingin dan lapar kembali menyengat.
"Anakku.... Maafkan ibu, Nak. Ibu terpaksa melakukannya terhadapmu. Rasanya, tak ada cara lain lagi untuk mengobatimu. Ibu tak tahu harus berbuat apa. Hidup pun rasanya kau tak berguna. Bahkan hanya menjadi cercaan serta hinaan belaka yang lebih menyakitkan...."
Perempuan itu menangis terisak, kemudian mengangkat bayinya agak tinggi. Lalu...
"Tidak! Kau tak boleh mati! Susah payah kau kulahirkan. Dan kau adalah anakku satu-satunya! Meskipun muka buruk dan tubuhmu menjijikkan, kau tetap anakku! Kau tetap anakku...." jerit perempuan yang rupanya ibu si bayi, sambil memeluk anaknya kembali erat-erat.
Glarrr!
Gemuruh petir kembali menggelegar. Ibu muda itu tersentak, dan terus memeluk anaknya, segera dia berlari kecil meninggalkan tempat itu, dan terus menelusuri jalan setapak melewati hutan yang tak begitu lebat. Kemudian, perempuan itu sudah tiba di sebuah pondok yang berada agak terpisah dari pondok-pondok lain di Desa Weton Nyelap ini.
"Kang Rukmana, buka pintu! Buka pintunya, Kang...!" teriak perempuan itu, ketika sudah berada di depan pintu.
Krieeet!
Perempuan itu mendorong pintu yang tak terkunci kemudian menyeruak masuk ke dalam. Segera bayinya diletakkan di atas tempat tidur. Bola matanya mencari-cari ke sekeliling ruangan, kemudian kembali menatap bayinya dengan wajah penuh haru. Tak terasa air matanya menitik satu persatu.
"Kang Rukmana, oh...! Maafkan aku, Kang. Sejak kematianmu, aku jadi sering kalut. Aku masih merasa kalau kau ada di rumah ini mengawasi kami. Kang Rukmana.... Aku tak tahu, apa yang harus kulakukan terhadap Palang Geni. Keadaannya terus menyiksaku...," desah perempuan itu lirih.
Perlahan-lahan dibelai bayinya itu. Bocah berusia kurang dari setahun itu terdiam. Bola matanya menatap lucu ke arah ibunya. Terlihat bibirnya tersenyum beberapa kali, seperti hendak mengajak bercanda. Dan perempuan itu coba tersenyum, walau terlihat pahit. Tak kuasa dia menahan haru, sehingga sesekali berpaling ke arah lain.
Bayi itu memang lain dari bayi lainnya. Sekujur tubuhnya dipenuhi koreng bernanah yang menebarkan bau busuk. Sehingga akan menimbulkan perasaaan jijik bagi siapa saja yang melihatnya. Seluruh penduduk di Desa Weton Nyelap ini telah mengetahui. Bahkan telah mengucilkan keluarga ini, karena penyakit yang dibawa bayi bernama Palang Geni. Mereka takut penyakit itu akan menular pada beberapa orang penduduk desa yang pernah bertandang di rumah ini.
Dan kenyataannya memang demikian. Tak lama saja para penduduk tertular, dan kedapatan tewas. Padahal beberapa dukun dan tabib hebat telah didatangkan. Namun, tak seorang pun yang berhasil mengobati. Sehingga orang-orang di desa ini tak ada yang berani mendekat ke rumah itu, karena takut tertular penyakit aneh bayi bernama Palang Geni.
Namun, kenyataan ada yang aneh. Ternyata ibu si bayi sama sekali tak ketularan penyakit anaknya itu. Padahal bapaknya sendiri tertular dan meninggal karena penyakit yang diderita anaknya. Dan yang lebih aneh lagi. Ibu muda itu malah terlihat lebih cantik dari biasanya!
Sebagai seorang janda dengan paras cantik, perempuan bernama Setiasih itu memang sering menjadi incaran pemuda-pemuda di desa ini. Beberapa orang kelaki-lakiannya tergoda, sering berkunjung dengan maksud tertentu, sambil berpura-pura iba atas kemalangan yang menimpa anaknya. Tapi justru merekalah yang kemudian tertular penyakit si bayi, dan tak berapa lama tewas. Inilah yang membuat beberapa pemuda desa tak ada lagi yang berani mendatangi rumahnya, meski menyimpan hasrat hati yang menggebu-gebu terhadap janda muda bernama Setiasih itu.***
Seseorang berlari-lari kecil di antara gerimisnya air hujan yang mulai merebak menjadi hujan lebat. Dia melewati sebuah tikungan jalan, lalu memasuki pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Tak lama, segera diketuknya pintu dengan tak sabar.
"Ki, tolong bukakan pintu! Ki Gendi, tolong bukakan pintu..!"
Sebentar saja terdengar langkah terseret di balik pintu. Tak berapa lama pintu terbuka. Dari dalam muncul, sesosok tubuh kurus berwajah lusuh yang hanya mengenakan sarung.
"Wongso...? Kukira siapa. Ada apa hujan-hujan begini, seperti dikejar setan?"
"Anu, Ki. Si Digul..., mati!" sahut orang yang dipanggil Wongso itu lirih.
"Hm!" gumam laki-laki bernama Gendi sambil menggeleng lemah.
"Sudah saatnya kita harus bertindak, Ki!" lanjut Wongso geram.
"Apa maksudmu?"
"Yang lain sudah setuju. Mereka hanya menunggu perintah dari Ki Gendi. Kami sudah tak tahan! Kalau terus dibiarkan, akan semakin banyak korban jatuh!"
"Kenapa si Digul masih nekat? Padahal, dia kan sudah tahu kalau mendekati Setiasih selagi anaknya masih ada, sama artinya bunuh diri...?" gumam laki-laki itu lagi.
"Aku juga telah memperingatkannya. Tapi dasar si Digul mata keranjang. Dia bisa buta, begitu melihat Setiasih yang semakin cantik itu!"
"Tapi, apa kita harus membunuh mereka?"
"Ki Gendi kan sebagai kepala desa, pasti bisa menemukan jalan keluarnya. Kita tak bisa terus hidup dibayangi ketakutan begini. Cepat atau lambat, seluruh Desa Weton Nyelap akan ketularan!"
Kepala Desa Weton Nyelap itu terdiam beberapa saat. Beberapa bulan belakangan ini, para penduduk terus mendesaknya agar mengusir Setiasih serta anaknya. Bahkan yang lebih keras lagi, menginginkan agar ibu dan anak itu dibunuh saja. Tapi sejauh ini, laki-laki setengah baya itu belum mengambil tindakan apa-apa. Memang, bagaimanapun juga, akal sehat serta sikapnya yang selama ini bijaksana masih bisa melihat kejadian itu dengan kepala dingin.
Penduduk yang ketularan biasanya adalah pemuda-pemuda desa lelaki hidung belang yang bermaksud mengoda janda berwajah cantik itu. Baik dengan rayuan maupun tindakan kasar. Akibatnya bisa diduga. Selain keinginan mereka gagal, orang-orang itu pun terkena penyakit yang menjijikkan. Dan akhirnya, penyakit itu ditularkan pada orang lain yang berdekatan. Padahal, selama ini Setiasih dan bayinya jarang berada di luar rumah. Mereka selalu mengurung diri, dan tak pernah bercampur penduduk lainnya, sejak anak pertamanya itu menimbulkan masalah.
"Bagaimana, Ki Gendi? Kita harus mengambil tindakan sekarang juga. Kalau tidak, semua orang desa akan mengamuk!" tanya Wongso mengingatkan.
"Kenapa kau berkata begitu?"
"Ki! Seluruh penduduk desa sekarang tengah berkumpul di rumah Setiasih. Mereka telah siap mencincang ibu dan anak itu. Ki Gendi cepat bertindak. Kalau tidak, mereka akan gelap mata!"
"Astaga! Kenapa kau tak bilang dari tadi?!" sentak kepala desa itu, seraya buru-buru masuk ke dalam untuk berpakaian.
Tak berapa lama, Ki Gendi telah keluar dengan sebilah golok terselip di pinggang. Laki-laki setengah baya itu berlari-lari kecil ke samping rumahnya, kemudian telah kembali bersama dua pelepah daun pisang yang cukup besar.
"Ayo cepat kita ke Sana!" lanjut Ki Gendil sambil menyerahkan sebelah pelepah daun pisang itu pada Wongso.
Ki Gendil Dan Wongso berlari-lari kecil menuju ujung desa di sebelah tenggara. Dari kejauhan terlihat nyala obor yang dibawa penduduk menerangi sekitar rumah kecil di ujung desa ini. Sementara teriakan-teriakan penuh amarah terdengar di antara deru rintik hujan yang semakin lebat.
"Setiasih! Pergi kau dari desa ini, Perempuan sial! Sejak kehadiranmu, desa ini terus ditimpa sial! Kaulah penyebabnya! Pergi dari sini, dan bawa anakmu yang menjijikkan. Cepaaat...!" teriak seorang penduduk.
"Pergi kalian dari sini atau kami bakar rumahmu!" tambah yang lain.
"Perempuan sial! Kau dan bayimu telah menyebar bencana bagi desa ini. Pergi kalian, cepaaat...!"
Di antara penduduk desa, tampaknya ada sebagian yang begitu geram dan dendam terhadap penghuni rumah itu. Serentak mereka maju dan menyulut dinding pondok yang terbuat dari anyaman bambu itu.
Prasss!
Werrr...!
Meskipun hujan turun lebat, api tetap menyala pada bagian-bagian dinding yang kering, begitu beberapa penduduk menyulutkan obornya, dan api pun terus menjalar ke sekitarnya ketika mereka melempar obor ke rumah itu.
"Oh! Tolong...! Tolooong...!" teriak sebuah suara dari dalam.
Mendadak sesosok tubuh keluar dari pintu belakang. Dengan tergopoh-gopoh sosok itu menuju hutan yang memang tak begitu jauh dari rumah ini.
"Itu dia! Kejar! Bunuh saja sekalian...!" teriak seorang penduduk.
Yang lain segera berlari mengejar, begitu mendengar seruan bernada perintah. Sambil berteriak riuh, mereka terus berlari mengacung-acungkan senjata-senjata tajam.
"Tangkap! Jangan biarkan dia lolos! Kejar terus...!"
"Bunuuuh...!"
Mereka yang tadinya mengepung rumah itu, kini berbondong-bondong mengejar sesosok tubuh yang tadi keluar dari rumah. Sementara Ki Gendi dan Wongso baru tiba, ketika penduduk desa telah cukup jauh mengejar sosok yang tak lain Setiasih bersama bayinya.
"Celaka! Mereka membakar rumahnya!" kata kepala desa itu menyesalkan sambil menggelengkan kepala.
"Sekarang mereka mengejar ke hutan. Barangkali, Setiasih kabur membawa anaknya ke sana, Ki!" sambung Wongso.
"Sebaiknya kita menyusul mereka!" sahut Ki Gendi sambil berlari kecil ke dalam hutan, ke arah sebagian penduduk desa menghilang ke sana.
"Eh, Ki! Tunggu..!"
"Apa lagi? Ayo, cepat! Mereka bisa mati di tangan penduduk desa yang tengah kalap itu!" sentak Kepala Desa Weton Nyelap tak mempedulikan teriakan laki-laki bernama Wongso.
Wongso sendiri sedikit heran. Kenapa kepala desanya ini kelihatan begitu cemas memikirkan nasib Setiasih dan anaknya? Padahal hampir seluruh penduduk desa ini bukan saja sekadar benci, tapi ingin melenyapkan ibu dan anak itu yang dianggap pembawa sial. Barangkali itulah yang membuat para penduduk tak mau melapor, ketika berangkat mengepung rumah Setiasih. Mereka beranggapan Ki Gendi pasti akan menghalangi niat mereka.
Memang, selama ini yang membuat Setiasih dan anaknya masih selamat di Desa Weton Nyelap adalah karena belas kasihan kepala desa itu. Entah apa yang membuat Ki Gendi begitu gigih membela ibu dan anaknya itu. Tak seorang pun mengetahuinya. Hanya sejak kematian istrinya dua tahun lalu, Ki Gendi itu sering memberi perhatian pada Setiasih!
Seluruh penduduk desa bukannya tak tahu. Bahkan ketika suami Setiasih masih hidup, Ki Gendi sering bertandang ke rumahnya. Dan ketika terdengar kabar kalau anak Setiasih ternyata menyebar malapetaka dengan menularkan penyakit, barulah kepala desa itu tak berani lagi datang ke sana. Hanya agaknya perhatian terhadap Setiasih masih terus berlanjut, dengan berusaha melindunginya dari amukan seluruh penduduk desa.
Setiasih yang masih menggendong anaknya terkejut setengah mati ketika suara-suara itu semakin dekat terdengar. Dan kepalanya tak mau menoleh sedikit pun. Ketakutannya semakin menggebu-gebu dalam dada. Sehingga larinya terus dipacu semakin kencang. Aneh! Sepertinya Setiasih merasa ada tenaga gaib yang menggerakkannya. Sehingga larinya semakin kencang. Bahkan mampu menembus kegelapan malam di dalam hutan yang mulai pekat dan rapat oleh pepohonan tanpa bantuan obor!
Tentu saja hal ini membuat para pengejar semakin panasaran saja. Tapi lama kelamaan mereka merasa ada sesuatu yang aneh dan tak wajar. Mustahil perempuan itu mampu berlari sedemikian cepat menembus kegelapan malam dan hutan yang begitu lebat. Mereka saja yang beramai ramai dan membawa penerangan obor tersendat-sendat. Bahkan semakin ke dalam malah tak bisa berlari karena banyak akar pohon dan ranting yang malang melintang menghalangi jalan.
"Sial! Dia sudah tak kelihatan lagi!" gerutu salah seorang penduduk mengayunkan golok menebas salah satu ranting pohon yang menghalangi jalan
"Bagaimana sekarang?" tanya yang lain.
"Sekarang dia sudah kabur. Dan suatu saat, dia pasti kembali serta membuat bencana. Kalau dibiarkan begitu saja, kitalah kelak yang bakal celaka dan hidup tak tenang," selak yang lain.
"Maksudmu, kita harus mengejarnya sampai dapat sekarang juga?" tegas seorang laki-laki bertubuh kurus berusia sekitar empat puluh tahun.
"Kapan lagi kesempatannya kalau tidak sekarang?" sahut orang itu enteng.
"Huh! Kalian boleh mengejar perempuan itu sampai dapat. Tapi kami tidak. Hutan di dalam sana angker. Malah bukan tak mungkin bahaya lain akan mengancam. Perempuan itu tentu tak akan selamat!" sahut sebuah suara yang menolak usul agar mereka terus mengejar buruannya.
"Ya. Aku juga tak sudi. Silakan kalau memang kalian ingin mengejarnya. Aku tak sudi mati sekarang!" sambung yang lainnya.
"Aku juga tak mau. Lebih ke dalam hutan ini, terdapat suatu daerah angker. Hiiiy...! Di situ terdapat sebuah Telaga Iblis. Tak seorang pun yang pernah kembali setelah masuk ke Sana!" desis orang tua berusia lanjut dengan raut wajah ketakutan.
Tapi, beberapa orang penduduk desa lain yang masih penasaran tak mempedulikannya. Mereka terus kembali mengejar buruannya. Sementara sebagian besar pendudukdesa lain kembali pulang.
Sementara Setiasih masih terus berlari sambil mendekap bayinya erat-erat. Langkah kakinya terus menuju ke tengah hutan yang selama ini tak pernah dimasuki manusia. Dan langkahnya baru berhenti ketika didepannya menghadang sebuah telaga yang airnya tampak keruh dan menghitam. Tepat dua tombak di tepi telaga, terdapat sebuah nisan yang kusam dan ditumbuhi lumut.
Bola mata perempuan itu memperhatikan ke sekeliling. Tampak banyak tulang-belulang berserakan disekitamya. Entah kenapa, sedikit pun tak terbersit rasa ngeri dan takut di hatinya. Kakinya terus melangkah pelan mendekati nisan tua itu dan berjongkok sambil memperhatikan dengan seksama.
Diusapnya pelan-pelan nisan tua itu. Lalu dibersihkannya lumut serta lumpur yang menempel pada nisan itu. Sehingga, terlihatlah sederetan tulisan yang berbunyi,DISINI DI KUBURKAN MAYAT SUKMA MANGUN TAPA
Krekkk!
Nisan itu diputar-putar ke kiri dan kanan, masing-masing dua kali. Dan..., mendadak terdengar suara-suara tanah yang berjatuhan pada tanah yang mengelilingi nisan. Makin lama makin banyak, sehingga terciptalah sebuah lubang di dekat nisan itu yang menuju ke suatu ruang di bawah tanah. Tanpa pikir panjang lagi, perempuan itu membawa bayinya ke dalam.
Ruangan di bawah tanah ini terasa lembab dan pengap. Ada penerangan dari nyala obor kecil. Entah siapa yang menyalakannya. Namun Setiasih tidak mempedulikannya. Dia memperhatikan dengan seksama keadaan di dalam ruangan ini. Di dekat nyala obor itu terlihat beberapa tetes getah kental berwarna hitam kecoklatan yang terus berkumpul pada wadah, sehingga membuat api menyala.
Tetesan getah itu sendiri berasal dari ranting pohon yang agaknya berasal dari atas permukaan tanah. Setiasih mencium tetesan getah itu, dan baru diketahuinya kalau itu tak lain dari getah damar. Kemudian kembali diperhatikannya keadaan di sekeliling. Diujung ruangan terlihat sesosok tulang-belulang mayat manusia sedang duduk bersila. Perempuan itu melangkah pelan. Dan seraya meletakkan bayinya yang sejak tadi kelihatan diam membisu, dia bersujud di depan kerangka manusia itu.
"Kisanak, maafkan kelancangan kami. Aku sendiri tak tahu kenapa bisa berada di sini. Sepertinya ada gambaran di mataku kalau tempat ini sama sekali tak asing. Dan seolah-olah aku telah hafal betul. Padahal seumur hidup, aku belum pernah ke sini. Kalau benar kau telah menolong kami dari bahaya maut, maka aku mengucapkan banyak terima kasih yang sedalam-dalamnya...," ucap Setiasih lirih.
Tak terdengar sahutan apa-apa. Perempuan itu masih bersujud. Dan anehnya, bayinya tetap diam membisu seperti patung. Tak terdengar sedikit pun suara dari mulutnya. Mendadak ruangan di tempat itu menjadi hangat. Dan perlahan-lahan bertiup angin berbau busuk yang berputar-putar dalam ruangan. Ada sesuatu yang terasa bergerak, namun perempuan itu tak berani mengangkat muka. Ketika segalanya terasa kembali seperti sediakala, barulah kepalanya berani diangkat.
Sesosok tubuh yang tinggal tulang belulang itu kini terangkat ke atas kira-kira dua jengkal lebih. Kini terlihat lebih jelas ternyata di atas tempatnya bersila, ada sebuah batu datar berbentuk segi empat yang tebal sekali. Perempuan itu melihat tulisan seperti digurat dengan tangan di sisi altar, SUKMA MANGUN TAPA!
Di bawahnya terlihat sebuah tanda panah yang menuju ke bawah. Seperti ada yang menggerakkan, tangannya bergerak ke bawah seperti mengorek sesuatu. Betul saja! Bagian bawah altar, persis di tempat yang ditunjukkan anak panah itu terdapat sebuah lubang kecil. Tak begitu dalam dia mengorek, sebentar saja sudah mendapatkan sebuah kitab yang cukup tebal. Buru-buru diambil dan dibukanya kitab itu setelah kembali bersujud di hadapan tengkorak yang diyakininya sebagai Ki Sukma Mangun Tapa.
"Kitab pelajaran ilmu silat?! Apakah aku, eh kami dipercayakan untuk mempelajarinya?" desis perempuan itu dengan wajah heran bercampur takjub.
Di halaman pertama kitab itu terdapat tulisan yang langsung dibaca.
Pelajaran ilmu-ilmu sakti yang ada di dalam kitab ini adalah untuk kalian yang sengaja kubawa ke sini!Perempuan itu merenung beberapa saat kemudian, lalu terlihat tersenyum haru. Langsung ditatapnya tengkorak Ki Sukma Mangun Tapa.
"Ki Sukma Mangun Tapa! Kami sangat berterima kasih kalau kau benar bermaksud mengangkat murid pada kami berdua. Terima kasih, Ki! Aku bersumpah akan belajar sebaik-baiknya, agar tak mengecewakanmu. Demikian pula anakku nantinya!" ucap perempuan itu.
Barulang-ulang kali Setiasih bersujud sebagai ungkapan rasa terima kasih, kemudian berpaling pada bayinya. Bocah itu tampak tersenyum sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya seolah hendak menggapai ibunya.
"Palang Geni, Anakku! Oh! Aku tak akan biarkan kau mati, Nak. Kau akan hidup! Kau harus hidup untuk membalaskan sakit hati kita pada penduduk Desa Weton Nyelap! Kau dengar, Nak?" ujar Setiasih.
Berkali-kali perempuan itu berkata demikian, sambil memeluk tubuh anaknya erat-erat untuk menumpahkan rasa haru. Pada saat itu, kembali bertiup hawa panas ke dalam ruangan yang berasal dari bawah batu, tempat tengkorak manusia itu berada.
Sementara, Setiasih seperti tak menyadari keadaan. Namun lama-kelamaan baru disadari kalau secara aneh ternyata seluruh tubuh anaknya yang penuh koreng bernanah dan menimbulkan bau busuk, kini mendadak kering. Bahkan bau busuknya perlahan-lahan sirna bersamaan dengan hilangnya hawa panas yang menyelimuti ruangan itu.
"Oh, Palang Geni! Anakku, syukurlah penyakitmu memperlihatkan tanda-tanda kesembuhan. Mudah-mudahan ada petunjuk yang bisa menyembuhkan seluruh luka yang ada di tubuhmu ini!" desis Setiasih dengan wajah suka cita.***

KAMU SEDANG MEMBACA
124. Pendekar Rajawali Sakti : Penghuni Telaga Iblis
AksiyonSerial ke 124. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.