Tak Disangka

796 18 1
                                    

Hujan cukup lebat yang sejak sore sampai malam hari belum kunjung reda, air di tangga depan mulai naik. Para katak yang suka bermain air membuatku ingat masa kanak-kanakku, dimana aku bila hujan datang, aku langsung bergegas main air di depan tangga rumah meski Umiku marah kepadaku. Itu kan dulu.

Bagiku air hujan itu seperti rindu aku kepada Abiku. Abiku yang telah merantau sejak aku masih balita dan sampai aku telah dewasa Abi tak kunjung pulang. Aku sangat rindu kepada Abi. Aku tidak bisa buat apa-apa selain memanjatkan doa kepada Ilahi semoga rindu ini tersampai kepada Abi. Entah kenapa Abi tak kunjung mau pulang. Aku pun dilarang bertanya tentang Abiku kepada Umi.

Kata Umi, “Abi sedang merantau mencarii nafkah untuk kita. Kamu jangan memikir yang aneh-aneh tentang Abi, Angga.”

Mendengar kata Umi bahwa Abi sedang merantau mencari nafkah, aku pun lega. Semoga Abi benar-benar merantau dan bukan melarikan diri untuk pindah rumah.

Pada saat ayahku berangkat hujan mulai turun, itulah kenapa aku sangat Rindu kepada Abi. Hujan ini menghadirkan perasaanku kepada Abi.

Aku malas memikirkan tentang ini membuat air mataku keluar aja.
Satu jam aku mengingat masa laluku. Tak sadar bahwa hujan sudah reda. Aku beranjak dekat jendela dan membuka seraya melihat ke langit, aku terrpana melihat bintang-bintang mulai berseri dan bulan pun menampakkan diri, air mataku kembali keluar. “Kapan Ayah akan pulang.”  Ujar aku dalam hati.

Banyak sekali kenangan aku bersama Abi disaat masa kanak-kanakku.
Jam menunujukkan pukul 21.00. Sirene polisi di jalan depan rumah dengan pengumuman supaya membubarkan perkumpulan,  harus menutup toko pun berbunyi, aku pun langung beranjak ke tempat tidur.

Karena besok aku harus keluar rumah ada kegiatan yang sangat penting di pasar tradisonal kota kecamatan. Aku pun khawatr untuk keluar. Desaku ini dalam keadaan zona merah, hampir 40% warga terjangkit virus Corona. Dan banyak sekali warga yang sangat mengeluhkan karena pekerjaan yang hilang, biaaya hidup yang seadanya. Kami pun ikut mengeluh.

Dan akhir-akhir ini masyarakat mengeluhnnya agak turun, sebab pemerintah mengambil kebijakan yang luar biasa yaitu kebijakan New Normal. Menurutku kebijakan ini sangat bagus dan pantas dicoba di desaku ini.

20 menit yang lalu pemerintah mengadakan siaran langsung di salah satu acara televisi, “Apabila hendak keluar rumah pakailah masker dan tisu basah, tisu kering, cairan pembersih tangan, masker cadangan, peralatan pribadi, serta camilan sehat.

Mendengar berita, aku langsung mulai menyiapkan barang yang harus dibwa untuk keluar rumah besok hari.

Suara ayam berkokok sangat nyaring membuatku langsung terbangun dari tempat tidurku. Aku langsung bergegas mengambil handuk dan mandi serta sholat subuh. Airnya sangat dingin bak salju kutub utara.
Jam menunjukkan pukul 07.00 pagi. Aku bergegas sarapan bersama Umiku. Umiku seorang ibu yang sangat keras dan tegas dalam mendidiku. Aku hanyalah anak tunggal, itulah kenapa Umi sangat menyayangiku dan aku juga begitu sangat sayang kepada Umi.

“Angga, kamu harus berprasangka baik kepada Allah atas ujian ini. Karena dibalik semua ini ada hikmahnya.” Ujar Umi kepada aku saat selesai sarapan.

Aku pun mengangguk.

Sinar baskara mulai terlihat ketika aku membuka jendela dekat ruang makan, dijalan tampak agak ramai, tidak seperti biasanya. Sebelum di terapkan kebijakan New Normal dijalan depan rumah sangat sepi seperti desa yang tak terpehuni.

Setelah melihat keadaan di luar, aku langsung ke kamar untuk mengambil peralatan-perlatan yang telah aku sediakan semalaman. Peralatan yang cukup banyak dan aku masukan semuanya ke dalam sebuah tas.

Aku pamit dan salam, tiba-tiba Umiku memberitahuku.

“Angga kamu pula pakai masker.”

Aku tepuk jidat, “Aduh, lupa aku Umi.”

Pagi ini merupkan pagi yang pertama aku keluar rumah sejak satu bulan lalu.

Aku mengendarai si kuda besi milik kakekku. Motor ini memang butut tapi perjalanan jauh masih cukup kuat. Lima menit berlalu, aku sampai di sebuah pasar tradisional dekat kota kecamatan. Pasar ini bernama Pasar Rabu. Pasar ini sudah ada sejak zaman Belanda.

Sejak dulu pasar ini sangat dipadati oleh pembeli dan pedagang, bahkan mau jalan aja agak susah, tapi sejak virus Corona menyerang, pasar ini mulai renggang. Pasar Rabu juga menerapkan New Normal, di pintu masuk sudah ada Satpol-PP yang menjaga dan memeriksa suhu tubuh setiap pembeli serta wajib memakai masker ketika ingin masuk pasar.

Aku berhenti dan memarkir motor di tempat parkir di sebelah pasar. Tanpa ragu aku langsung menuju pintu masuk pasar. Entah kenapa? Aku ditahan Satpol-PP padahal aku memakai masker dan membawa peralatan yang disuruh oleh pemerintah.

“Kenapa kamu tidak memakai masker, Nak”? Tanya Satpol-PP.

Dengan wajah heran aku menjawab dengan lantang, “Bapak tidak lihat aku memakai masker.”

Satpol-PP pun tertawa mendengar jawabanku. Bapak itu mendendakan aku sebesar Rp. 50.000. Aku memang tidak mau membayar di karenakan aku memakai masker, tetapi kenapa semua Bapak Satpol-PP tidak melihat aku memakai masker? Padahal tadi, jelas Umiku menyuruhku memakai masker. Di benakku mulai timbul banyak sekali pertanyaan.

Mau tidak mau aku harus rela dan membayar dendanya. Pemerintah kota telah sepakat siapa saja yang tidak memakai masker ketika keluar rumah wajib membayar denda.

Aku bercermin di sebuah kaca, kepala aku geleng-geleng. Astaga, kenapa aku lupa memakai masker? Pantas aja Bapak itu menahan aku.

ASTAGFIRULLAH..

Aku mulai merasa kok di dalam tas ringan rasanya. Aku buka tas tersebut ternyata aku salah bawa tas.

ASTAGFIRULLAH.

Kenapa aku sampai lupa bawa semua ini, padahal sejak malam aku sudah menyiapkan semuanya.

Telponku berdering, Umi berkata “Angga, kok peralatan semuanya ada di dalam tas ini?”

Aku menjawab “Aku lupa bawa Umi.”

Umiku tertawa.

Aku pun heran, “Kenapa Umi tertawa?”

“Maaf, Angga. Umi bercanda, ini semua Umi yang lakukan. Umi sengaja menukarkan tasnya.” Ujar Umi sambil tertawa.

“Astaga, Umi.” Dengan raut waja bahagia.

Ternyata semua ini Umi yang lakukan. Aku nggak pernah memikirkan tentang semua ini. Nggak apa-apa untung aku tadi dikasih masker sama Pal Satpol-PP, jadi aku nggak khawatir lagi sama virus Corona, kan aku pakai masker. Hehehe.

Biodata Penulis
Nama : Nurul Alamin
Umur : 17 Tahun
Asal Kota : Sungai Penuh, Jambi
Nama akun Instagram : nurulalamin02

Bagaimana menurut kalian nih? Seru ngga? Yuk komen yaa, jangan lupa votee. Terimakasih

NEW NORMALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang