Malam

111 2 0
                                    

Suhu malam begitu menusuk kulitku, dapat kurasakan kakiku mulai mati rasa karenanya. Bajuku yang basah memperparah keadaan, seolah-olah menyerap kehangatan yang tersisa dalam tubuhku. Sekelebat ingatan paskah pembullyan tadi siang membuatku meringis, masih dapatku ingat rasa sakit saat ditendang dan di tampar oleh mereka hingga aku berakhir dikunci di gudang sekolah. Mereka yang kuanggap teman yang ternyata menusukku dari belakang karena rasa takut. Miris. Kehidupan sekolah yang kudambakan setelah karantina di rumah sakit hancur berantakan begitu saja.
Aku memeluk kedua lututku, mencoba mengumpulkan kehangatan. Berharap ada seseorang menyelamatkanku. Satu jam berlalu, pandanganku kian memburam merasakan kantuk yang tiba-tiba menyerang. Inginku memejamkan mataku, namun kuurungkan saat sayup-sayup terdengar suara panggilan orang yang lama kelamaan semakin jelas dan tak lama suara gagang pintu yang berulang kali dicoba dibuka. Inginku menjerit meminta tolong tapi aku takut sosok itu adalah orang jahat. Hening sesaat, kemudian pintu itu di dobrak dengan debuman yang keras menampilkan sosok yang sangat familiar bagiku.

“Liana!!”

           Ia menghampiriku. Tanpa aba-aba ia melepaskan pakaian basah yang melekat pada tubuhku, untung saja di sini hanya kami berdua. Kemudian memakaikan jaketnya yang ia kenakan dan memberikan masker baru yang langsungku terima dengan senang hati. Walaupun wajahnya tertutup masker, tapi aku masih dapat melihat matanya menyorotkan ke khawatiran.

“Zahir.” Lirihku tanpa sadar. Ah, aku pasti membuatnya semakin khawatir.

Zahir tak mengatakan apa pun. Ia berjongkok memunggungiku.

“Naiklah.” Aku dengan perlahan menaiki punggungnya, memeluk lehernya. Punggung yang hampir sama denganku tapi berbeda.

‘hangat.’

Ia bangkit, sedikit terhuyung awalnya, tapi sepertinya tak masalah. Kemudian pergi keluar dari tempat ini. Di sepanjang jalan hanya keheningan. Remang-remang lampu jalan, beberapa orang berseliweran sibuk dengan urusan masing-masing.

“Zahir, sekarang jam berapa?”

“Hmmm, sekitar setengah delapan atau jam tujuh. Ah, entahlah aku tadi tak melihat jam dinding.”

       Keheningan kembali menyelimuti. Aku memutar kembali memoriku beberapa bulan lalu, saat aku di rawat karena terjangkit virus yang hampir meneror seluruh dunia. Aku sangat tersiksa dengan virus yang menggerogoti tubuhku. Di tambah aku tak dapat dekat dengan keluarga dan temanku karena takut mereka tertular, para dokter yang kelelahan terpisah dari keluarga mereka demi merawatku dan pasien lainnya. Rasa bersalah menghantuiku.
Hingga aku di nyatakan sembuh. Tapi aku tetap merasa tersiksa dengan efek samping setelahnya. Rasa sesak nafas dan kelelahan, mungkin paru-paruku sudah rusak. Dan sekarang di tambah diskriminasi dari teman sekolahku, yang sepertinya takut tertular hingga berpikir untuk membuatku berhenti sekolah. Menyakitkan.
Ah, seharusnya aku bersyukur masih di beri waktu untuk menikmati hidup. Tapi... Apa aku masih pantas untuk hidup setelah kejadian itu? Bagaimana kalau mereka tertular karenaku? Aku pernah membaca di internet bahwa ada pasien yang telah sembuh dinyatakan positif kembali. Bagaima-

“LIANA !”

“y-ya?!”

      Suara sentakan Zahir membuyarkan lamunanku. Sungguh aku kaget. Aku mungkin akan mati jika memiliki riwayat penyakit jantung.

“Jangan kelamaan melamun. Nanti kesambet.” Seperti biasanya. Kata-katanya seperti orang tua dulu, pasti ajaran kakeknya. Dasar kayak anak kecil peniru. Tapi entah kenapa perkataan orang tua dulu suka benar.

“Hihihi maaf.”

“Dan sekarang kau mirip mbak Kunti. Apa kau beneran kesambet?” Zahir menghentikan langkahnya. Dapat kurasakan bahunya sedikit menegang. Apa dia berpikir aku beneran kesambet?.

NEW NORMALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang