BAGIAN TUJUH

46 9 3
                                    

"Tahu kesalahan lo apa?"

Seorang perempuan berseragam putih abu yang sudah tak bisa bergerak dari tempatnya itu hanya menggeleng sambil menangis. Seluruh tubuhnya hampir kaku, saraf-saraf tubuh nya juga mulai tak merasakan apa-apa selain nyeri rasa sakit akibat sayatan pada tubuhnya, dibarengi dengan darahnya yang terus keluar membuat baju putih seragamnya perlahan berubah warna menjadi kemerahan.

"Biar gue kasih tahu."

"Kesalahan lo, membunuh orang, tolol!" Seseorang berbusana serba hitam yang hanya terlihat sorot mata tajamnya saja mendekatkan pisau berdarah ke arah wajah perempuan yang sudah tak berdaya melakukan perlawanan.

"Lo mungkin bisa lolos dari hukum negara, tapi lo nggak bisa lolos dari kenyataan kalo lo harus dihukum!"

"Walaupun ini nggak cukup buat ganti rugi perasaan rasa sakit dari orang yang udah lo bunuh!"

Dengan tenaganya yang tersisa perempuan itu berusaha menghindari pisau yang menyentuh sudut bibirnya, usahanya sia-sia, pisau itu tetap menancap pada kulit wajahnya hingga darah kental keluar diantara lukanya.

"Saya nggak bunuh siapa-siapa." Ucapnya lemah.

Pembelaan itu, membuat amarah orang berbaju serba hitam semakin tersulut, tak segan - segan dia merobek pelipis perempuan itu, pisaunya terus menyentuh hingga daerah daun telinga, membuat sayatan lebar di sebelah wajahnya.

"Bodoh! Mulut sampah lo ini yang buat orang lain bunuh diri!" Desis orang itu.

Perempuan yang kesadarannya sudah mulai hilang hanya bisa pasrah dengan takdir hidup nya, hanya air matanya saja yang masih bisa menetes dari kedua sudut matanya.

Dari balik cahaya malam, orang berbaju serba hitam itu meninggalkan wanita yang penuh dengan darah itu di sebuah ruangan tanpa atap, tanpa penerangan lain selain bulan purnama yang bersinar terang. Sebelumnya dia mengukir sesuatu di lengan kanan perempuan yang sudah tak sadarkan diri itu dengan pisau bedah yang ia keluarkan dari sakunya.

•••

Seorang pria paruh baya membuka jas lalu menyimpannya pada stand hanger, mengambil duduk di kursi sambil menopang dagunya di atas meja. Ia melirik jam dinding yang menempel pada tembok hijau-biru ruangannya, pukul satu dini hari. Sudah dua hari dia di rumah sakit dan sama sekali belum membuat tubuhnya tertidur. Tubuhnya memang tidak se fit dulu, pria yang sudah menua itu merasakan badannya pegal-pegal karena sibuk bolak-balik ruang IGD, operasi, maupun ruang rawat inap. Bukan terikat beban kerja, pria paruh baya itu hanya ingin tetap di rumah sakit dengan menyibukkan dirinya sambil terus memantau seseorang yang terbaring di kamar vip rumah dakit.

Pintu ruangannya tiba-tiba terbuka lebar, seseorang masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu. Orang yang baru saja masuk itu terkejut mendapati seseorang berada di dalam ruangan.

"Wah, akhirnya ketemu juga." Ucapnya sambil berjalan mendekat.

Pria paruh baya yang tak lain adalah dokter Bagas itu berdiri dari kursi, ia merasakan bau alkohol dari seseorang yang baru saja masuk ke dalan ruangannya.

"Kamu habis mabuk, Bara?" Tanya dokter Bagas ketus.

Orang itu menggeleng lalu tertawa, dia kemudian menggebrak meja. "Nggak, Bara cuma pengen ngusir pikiran-pikiran aneh." Ucapnya kemudian melebarkan senyumannya.

Dokter Bagas menghembuskan napas pelan, dia melangkahkan kakinya ke dispenser di sudut ruangan, mengambil dua gelas, dua kantong teh hijau, lalu memencet tombol air hangat dispenser mengisinya ke dalam gelas-gelas yang masing-masing sudah tersedia teh hijau.

"Untuk meredakan hangover nya, terus sana pulang, istirahat." Dokter Bagas menyimpan dua gelas teh hangat di meja panjang, dirinya lalu duduk di sofa biru yang ada di sebelah meja panjang itu.

The Light Of Murder [MOVE TO DREAME]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang