"Tolong... Tolong selamatkan ibu saya!" Teriakan lantang pria membuat orang-orang berseragam putih menghampirinya.
Seorang wanita paruh baya yang tak sadarkan diri ditidurkan diatas ranjang beroda yang tergeletak tak jauh dari pintu.
"Tolong selamatkan ibu saya, dok! Ibu tiba-tiba muntah darah dan tidak sadarkan diri."
Pria berjas putih mengangguk ringan, dia berbicara pada rekan-rekan medisnya. "Kita bawa ke ruangan."
Tim medis berbaju putih yang tak lain adalah perawat mendorong ranjang roda itu dengan sedikit berlari, sementara sang dokter memimpin jalan dengan pria lusuh yang membawa pasien di sampingnya.
"Ibu punya riwayat masalah pencernaan. Sudah cukup lama."
Dokter mengangguk paham.
Sampai pada pintu ruangan, dokter dengan beberapa perawat masuk membawa pasien sementara satu perawat berdiri di ambang pintu mencegah pria yang membawa pasien agar tidak ikut masuk.
"Mohon untuk menunggu di luar. Apakah anda sebagai wali pasien?"
Pria itu mengangguk.
"Silakan untuk menyelesaikan proses administrasi."
Pria itu tetap diam namun mengangguk, dia berbalik arah menuju tempat administrasi yang berada di koridor pertama.
•••
Sudah sekitar 15 menit menunggu semenjak ia kembali dari ruang administrasi, belum ada satu tim medis pun yang keluar dari ruangan.
"Bang!"
Pria itu menoleh dengan tatapan kosong, gadis dengan seragam putih abu lengkap dengan tas ransel yang digendongnya berlari menghampiri pria yang terduduk lemas di kursi tunggu.
"Gimana kondisi ibu?" Tanyanya sambil terengah.
Pria itu tidak menjawab.
"Bang Indra!"
Ceklekkk
Pintu ruangan terbuka, dokter dan dua perawat keluar, berbarengan dengan itu pria yang baru saja dipanggil Indra bangkit dari kursinya dan menghampiri tim medis.
"Gimana dok?"
"Pasien mengalami pendarahan dalam lambung, kami sudah melakukan tindakan utama untuk menghentikan pendarahan , namun pasien tetap membutuhkan tindak lanjut yaitu operasi untuk menutup luka dalam dinding lambung."
"Silakan dok, lakukan apapun untuk menyelamatkan ibu saya."
"Operasi harus dilakukan secepatnya, namun ada beberapa resiko yang mungkin muncul selama proses operasi..." Dokter menjelaskan dengan sangat detail tentang apa-apa yang mungkin akan terjadi ketika melakukan tindak operasi.
"Jika wali pasien berkenan, silakan untuk mengisi pernyataan dan menyelesaikan administrasi." Dokter menerima selembar kertas dengan papan jalan dari perawat, lalu ia ulurkan pada Indra.
Indra menerima dengan baik kertas itu, lalu ia mulai membaca kata demi kata yang tertulis dalam surat pernyataan yang ia terima.
"Dok, apakah biayanya bisa dibayar saat ibu saya selesai operasi?"
"Silakan menghubungi bagian administrasi mengenai hal tersebut, saya permisi." Dokter itu tersenyum ke arah Indra, setelah itu meninggalkannya berdua dengan gadis yang masih mematung di belakang.
Indra juga hendak beranjak namun lengannya dicekal. "Jangan bang."
Indra membulatkan matanya, "Apa?!"
Gadis itu menatap wajah kakaknya penuh harap, "Tadi abang dengar sendiri dokter bilang kemungkinannya 60 banding 40, itu artinya potensi gagal 40 persen bang!"
Indra meletakkan kedua tangannya diatas bahu adiknya. "Masih ada 60 persen harapan kita, selama masih banyak kemungkinan kenapa kita nggak coba?"
Gadis itu menunduk, menatap lantai rumah sakit sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
"Dara... Mari kita percaya pada 60 persen peluang, demi ibu."
Setelah diyakinkan kakaknya, gadis itu hanya mengangguk lemas, ia menatap kursi tunggu yang berderet panjang lalu duduk sambil menyandarkan dirinya pada tembok.
"Abang ke ruang administrasi dulu."
Tak menunggu jawaban dari Dara, Indra sudah berjalan meninggalkan dirinya yang masih tak yakin apakah keputusan mereka tepat. Selain risiko yang cukup besar prosentasenya, mereka juga tidak punya cukup uang untuk membayar semua layanan rumah sakit itu.
Karena Indra tak kunjung datang, Dara mulai terusik dan bangkit dari tempatnya. Ia berjalan menyusul Indra yang kemungkinan masih berada di ruang administrasi.
Dara melihat Indra yang masih berdiri sambil menulis sesuatu di salah satu meja administrasi. Ia menghampiri kakaknya.
"Dara?" Indra sedikit terkejut ketika tahu Dara berada di sampingnya. Namun setelah itu pandangannya kembali beralih pada berkas-berkas di depannya.
"Abang boleh minta tolong nggak? Di depan rumah sakit ada ATM tolong ambilkan tujuh juta untuk tambahan biaya rumah sakit."
"Atm?"
Indra merogoh saku celananya kemudian mengambil kartu persegi berwarna biru dari dalam dompetnya.
"Maafin abang Ra, uang buat kuliah lo abang pakai dulu." Indra menyerahkan kartu itu di depan Dara.
Dara mengulum bibirnya, ia menerima kartu itu lalu mengangguk.
"Dara keluar dulu." Pamitnya.
•••
Tangan kiri gadis itu sudah dipenuhi puluhan lembar uang seratus ribuan dengan lima puluh ribuan. Ia memiringkan kepalanya kala kartu atm yang tadi dipakai tidak kunjung keluar dari mesin.
"Ahh ini kenapa?!!" Keluhnya sambil mengetuk-ngetuk mesin.
Dirasa tak bisa mengatasi ini, Dara membuka pintu lalu mencari orang disekitar yang mungkin bisa membantunya.
"Umm.. Permisi." Dara menghentikan pria yang baru saja keluar dari bilik ATM yang berjajar di sebelahnya.
"Kartu ATM saya nggak bisa keluar dari mesin. Bisa tolong bantu?" Ucapnya kikuk.
Pria yang diajaknya bicara sempat menautkan alisnya tetapi tak lama ia mengangguk.
Drtt.. Drtt..
"Halo?"
"Apa?!! ngomong yang jelas bang?!"
"Dara kesana sekarang."
Gadis itu terlihat kalut, dia bahkan melupakan kartu ATM nya dan berlari kembali memasuki rumah sakit.
Pria yang tadi berniat membantunya pun menatap kepergian gadis itu dengan menggaruk tengkuk kepalanya.
Dara berlari dengan tergesa-gesa menuju ruangan ibunya berada, melewati koridor dengan tatapan kosong. Dia sudah berada di depan ruangan itu, ia memutuskan berhenti sejenak di depan ruangan yang pintunya terbiarkan terbuka, Ia menarik napas panjang. Dari dalam terdengar teriakkan kakaknya yang terasa memilukan.
"Ra, ke sini sekarang. Ibu sudah nggak ada." Kalimat itulah yang tadi ia dengar di telepon.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Light Of Murder [MOVE TO DREAME]
Gizem / GerilimTentang Bara yang masuk kuliah kedokteran, tetapi karena itulah dia bertemu Dara, gadis yang selalu menyembunyikan pandangannya pada sebuah buku dengan earphone yang selalu menutup kedua telinganya. Bara ingin selangkah lebih dekat dengan Dara tapi...