Prologue | Ocean Eyes

4.4K 275 18
                                    

Selepas aku mengetahui tingkah laku menyebalkan dari pria itu. Aku benar-benar memutuskan untuk tidak peduli walau bahkan seujung kuku jariku. Aku tidak tahu apa yang menjadikan Seok Jin mampu melupakan janji manis yang keluar begitu saja dari bibir penuh dengan dosa berbahaya miliknya. Dia mengabaikan janjinya sendiri, sialnya. Dia benar-benar hanya sanggup menghancurkan segala ruang hatiku. Demi Tuhan, aku—Kim Leechie, membencinya seumur hidupku.

"Kau tidak pantas menjadi kakakku, Seok Jin."

Aku memutuskan untuk menutup kembali pintu yang menghadirkan sepasang kekasih nekat melakukan sesuatu yang diluar bayanganku sendiri. Seok Jin bermain dengan wanita? Yang benar saja, Tuhan? Bahkan dia pernah berjanji padaku untuk tetap berada di sisiku, melindungiku. Dia berjanji untuk tidak melakukan hal-hal keji seperti itu lagi. Tapi, apa ini? Haruskah aku perjelas. Haruskah aku memenuhi takdir sebagai seorang adik dari kakak laki-laki yang tidak berguna seperti Kim Seok Jin. 

Berengsek!

Aku lekas menarik kedua kakiku untuk melangkah perlahan, meninggalkan sebatas ruang yang menjadi saksi bisu kisah haru mereka. Berbahagialah Seok Jin, kau tidak akan menemuiku lagi. Lagi pula, jika aku mati juga kau tidak akan pernah memperdulikan adik kesayanganmu ini, kan.

Menyebalkan. Dia mau menghancurkanku berapa kali lagi.

Sampai terlalu sakit, tak sadar aku malah menghentakkan kecepatan tungkaiku, menembus jarak paling jauh, lalu menghilang. Bahkan lorong hotel, sialnya terasa tidak berujung. 

Ini gila, kan. Mengapa tiba-tiba perasaanku bergeming kacau. 

Hingga tanpa sadar, seseorang menarik pergelangan tanganku, membuat tubuhku limbung sejenak. Semakin atmosfer dan keadaannya sekadar tidak waras, orang itu malah membenturkan punggungku sampai-sampai aku terhenyak pada dinding.

Dia menekan kedua pundakku dengan kekuatan lengannya yang tidak sanggup kukuasai. Aku yang masih terkejut, was-was, dan takut dalam satu waktu, memandangi sejemang sayup pandangannya. Gelap. Itu yang pertama kali terlintas dalam pikiranku. 

Aku berangsur meraih kesempatan, yang barangkali akan membuatnya menjauh dari hadapanku. "Tolong menjauh dariku." Tapi, gilanya dia tetap stagnan tidak menghiraukan ketusku. Apalagi, kusadari aroma alkoholnya tiba-tiba menyeruak tajam. 

Ah, sial, bau sekali. 

Aku masih berusaha melepaskan kukuhan kedua tangannya pada pundakku. Alih-alih aku sedang kesusahan, tapi sebenarnya mataku sibuk memperhatikan detail rupa layaknya kaset kusut yang kelewat acak-acakan.

Aku tidak mengerti, sebenarnya siapa dia. Apa dia mengenalku, dan aku tidak, atau dia hanya sekelebat orang tidak waras yang ingin menculik diriku diam-diam. Terserah mau bagaimanapun, aku harus tetap hidup. 

Belum saja semangatku menguar, dengan tragis dia malah mencekal pergelangan tanganku. Dia menarik tubuhku, memaksaku untuk menyatu terhadap tujuannya yang aku sendiri tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Aku mencoba untuk memberontak, menyangkal hebat kekuatannya yang terus bertahan di area pergelanganku. 

"Lepas, sialan!" Aku berteriak, barangkali akan ada yang mendengarku. Namun, benar-benar sama sekali tidak ada. Ini hotel atau pemakaman umum, sih

Hingga kurasakan, genggamannya melonggar, dan dengan cepat aku meringsut untuk melepaskannya. Berhasil. Aku bergegas menjauh, tapi sebelum itu terjadi, dia malah melenggang cepat menangkap tubuhku dari belakang. Dia menyeretku untuk tetap memasuki kamar kosong di dekat jangkauannya. Lalu, pada akhirnya aku terperangkap hanya karena aku kalah melawan orang mabuk seperti pria setengah tua ini. 

Dia perlahan melepaskan rengkuhannya pada tubuhku, membuatku lekas menoleh marah padanya. "Kau gila? Kau salah orang jika ingin bercinta, bajingan. Jadi menyingkirlah dari hadapanku." Bukannya menjelaskan, atau apa pun, dia malah termenung layaknya tingkat kewarasan yang dia miliki sudah sampai nol. 

Haha, kalau begini bisa-bisa aku yang gila. 

Aku menghela napas jengah. Sampai di mana, ketika kusadari dia hanya terdiam memandangi konteks khayalan yang kuyakini tidak akan pernah indah itu, aku lekas berlalu mendekati pintu keluar dengan hati-hati. Tapi, seolah dia sangat cepat, aku kembali di kejutkan oleh tindakannya yang semena-mena. Dia tiba-tiba menahan pintu tersebut, menguncinya sejenak, lalu menatapku. 

Aku yang sudah ketakutan setengah mati, terus berteriak kesal. "Kau mau mati?" 

Dari cara dia memandangiku, aku percaya diri bahwa dia sepenuhnya sadar dengan apa yang dia lakukan padaku. Walaupun dia menegak alkohol, dan menyembulkan aromanya yang menyengat, tapi dia sama sekali tidak mabuk. Lalu, untuk tujuan seperti apa dia sampai bertindak keterlaluan? Dia mau membunuhku, atau apa? Memangnya kesalahanku sebesar apa? Boro-boro aku melakukan kesalahan padanya, mengenalnya saja tidak. 

Aku menelan salivaku sendiri dengan susah payah. Jantungku berkecimpung pada detak yang tidak baik. Aku mulai takut. Aku sangat takut. Bahkan tanpa sadar, langkahku mengayun ke belakang. Dan dia malah mengikutiku. Hingga kudengar, suaranya mulai mendominasi runguku. 

"Dengarkan aku, mungkin ini gila, tapi kau harus melakukannya denganku."

Haha, coba putar sekali lagi ucapannya. Siapa tahu aku sanggup melobangi kepalanya, dan otaknya akan kujual ke pengedar organ tubuh manusia. 

Punggungku terpaku pada dinding ruangan, dan dia masih tetap berada di hadapanku. Napasku bahkan sampai tertahan hanya karena rasa takutku yang luar biasa hebat. Teramat mengejutkan, tiba-tiba saja salah satu tangannya terangkat, aku agak meringis terpejam. Hingga kurasakan sebuah sentuhan paling lembut lantas menyentuh pipi kiriku. Pandanganku lekas terbuka perlahan, dan tak sadar aku malah menemui seluruh semestanya yang hancur antah berantah. 

Dia menangis? 

"Maaf." 

Tak kupikirkan kesedihan yang sedang merajalela di sekitarnya, aku tetap berusaha meraih kesempatan. Aku menepis tangannya yang masih bertahan di pipiku.

"Mati sana, sialan." 

Hingga aku berniat untuk menghindari keberadaannya. Namun, selalu saja terlambat. Dia berangsur menahan tubuhku, dan mendorongku kembali pada sebuah dinding di sana. Lalu, tanpa aba-aba dia membenturkan kepalaku, sampai-sampai tengkorak belakangku rasanya mau pecah. Seluruh hal yang kupandangi perlahan menjadi kabur. Aku kelimpungan, badanku berakhir lemas, dan topangan kedua kakiku lantas meringsut merenggut sisa kekuatan yang seharusnya mampu kupertahankan. Aku kehilangan kesadaran. 

Ah, jadi begini saja akhirnya? 

°Ocean Eyes°

Trivia : Ocean Eyes || Park Jimin Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang