Aku tidak bisa tertidur, sama sekali tidak bisa. Aku hanya membiarkan ungkapan pria itu menganggu pikiranku. Beberapa pertanyaan memaksaku untuk mencari jawaban pasti yang bahkan aku tidak mampu memahami semua yang terjadi padaku.
Seperti, apakah benar aku yang membuatnya terluka? Apakah benar bahwa aku pernah menyakitinya di masa lalu? Namun, kurasa aku hanya bertemu dengannya di masa sekarang. Ini aneh, aku hampir gila.
Aku memandangi setiap inci garis wajahnya yang begitu tenang. Napas yang bergelombang seimbang, membuatku sangat menikmati pemandangan yang tidak pernah kutemui sejak aku menikah dengannya.
Dia tertidur pulas di atas pahaku, aku bersandar pada badan sofa dan melulu memperhatikannya. Dia tampan, sangat tampan. Aku menyukai kedua matanya yang indah, rahangnya yang tegas, bibirnya yang sempurna. Dia berhasil menarik perasaanku untuk semakin terjatuh pada pesonanya.
Sudah hampir pagi, tapi Jimin terlalu enggan untuk tersadar. Dia kelelahan setelah semalam bermabuk ria. Aku jadi penasaran, apa benar selama ini—beberapa hari ini dia selalu bermain dengan wanita lain? Kuharap dia hanya mencoba untuk menyakitiku dengan caranya yang berbohong.
"Ayolah, Jim, kau tidak mau bangun? Kakiku sakit, tahu." Bisikku memecah keheningan. Beberapa jemariku perlahan bergerak untuk menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajahnya.
Namun, aku terpaku pada kedua pipinya yang halus. Hingga aku memutuskan untuk menyentuhnya dengan salah satu jariku, menekannya lucu. Aku tersenyum. Aku kembali ingin melakukannya lagi, sialnya dia mengejutkanku karena genggaman kasarnya yang menahan pergelangan tanganku.
Tubuhku membeku, terpaku takut, bahkan rasanya jantungku berdetak cepat. Apalagi ketika menemukan kedua takroma itu yang menatapku dengan tajam. Sungguh, aku sangat takut. Dia bergerak menjauhi sandarannya dariku, sembari terus mengenggam pergelangan tanganku. Aku berusaha untuk menariknya, Jimin tidak mengizinkan itu terjadi.
"Apa yang kau lakukan?"
Tidak ada terima kasih, lalu membentakku, menjengkelkan. Seharusnya kau sadar, kakimu terkilir juga karena ulahmu sendiri, tahu. Aku mengulum bibirku ketika Jimin menyorotiku dengan pandangannya yang mengeras, bagai dia terlalu kesal padaku.
"A-aku tidak melakukan apapun," ucapku dengan terbata-bata. Aku tersenyum simpul, sesekali meringis. "Tanganku sakit, Jim."
Dia tidak melepaskannya, bahkan dia mengenggam pergelangan tanganku dengan kekuatannya yang meningkat. Aku mengerang sakit, sentuhan telapak tangannya mengenai beberapa luka yang kumiliki.
"Mengapa aku bisa tertidur di sini? Apa yang terjadi padaku semalam? Kau berani menyentuhku."
Astaga, aku kesakitan dan dia tidak peduli. Aku beralih menarik genggamannya untuk menjauh dari pergelanganku. Hanya saja, dia bersikeras dengan kekuatannya. Bahkan dia mengenggam kedua pergelangan tanganku. Aku tertegun, dia sangat dekat denganku kali ini.
"Apakah semalam aku melantur? Katakan padaku dengan jelas apa saja yang sudah aku katakan."
"Tidak, kau tidak melantur. Kau hanya mengatakan padaku bila kakimu terkilir. Tolong lepaskan tanganmu, aku sakit." Aku berteriak kesal. Aku hampir menangis jika aku tidak menahannya.
Dia segera melepaskannya, membiarkan tubuhku terdorong cukup keras karena perlakuannya yang kasar. Dia beranjak dari sofa, berjalan dengan langkah yang meringkih.
Kakinya benar-benar terkilir, ya? Aku hanya mampu memandanginya, sibuk mengusap seluruh rasa panas yang menjalar di kedua pergelangan tanganku. Hingga aku memutuskan untuk mengikuti langkahnya, mencoba untuk menggumamkan namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trivia : Ocean Eyes || Park Jimin Fanfiction ✔
Fanfic(END) Kim Leechie, adalah seorang gadis yatim piatu yang tengah menjabat sebagai mahasiswa dengan usia dua puluh dua tahun harus di hadapkan dengan kecelakaan paling tidak masuk akal ketika baru saja ia ingin menghilangkan diri setelah menemukan san...