Bahkan untuk jam dua dini hari, aku mulai terbiasa menerima penolakan pada kedua mataku yang seharusnya tertutup sedari tadi. Aku tidak bisa, sama sekali tidak bisa. Perihal apa yang diucapkan Jimin padaku, membuat seluruh harga diriku terjatuh secara kasar dan mengejutkan.
Aku tidak tahu, apakah dia memang benar melakukannya? Jika begitu maka aku tidak bisa menjaga pesan ayah yang selalu mengatakan padaku untuk tetap melindungi diriku sendiri dalam situasi apa pun. Sayangnya, aku benar-benar kotor.
Aku mengenggam marah sebatas selimut yang kini menutupi sebagian tubuhku. Napasku terasa memburu kalut. Hatiku sejak dulu sudah hancur, lalu kemudian dengan polosnya aku kembali dihancurkan lagi.
Ini gila, hidupku sungguh gila. Bagaimana jika aku hamil? Bagaimana jika aku akan benar-benar memiliki seorang anak dari Jimin, pria yang menikahiku tanpa status yang pasti. Sialan, berapa banyak bajingan sialan seperti dia.
Dadaku terasa sesak, tapi aku sama sekali tidak mampu menangis. Aku selalu takut jika tetap mengeluarkan air mata. Ayah pernah mengatakan padaku bahwa menangis bukanlah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah. Bahkan, ayah pernah memukulku beberapa kali ketika tidak sengaja menemukanku yang sedang menangis.
Aku sudah tidak mampu mengendalikan emosiku yang berkelabut berantakan seperti ini.
°Ocean Eyes°
Sejenak aku memejamkan pandanganku, menarik napas lalu menghembuskannya. Kuakui, perasaanku tiba-tiba menciut ketika harus kembali menemui pria itu. Haruskah aku pergi? Sialnya, aku benar-benar malas untuk keluar dari pintu kamarku sendiri.
Baiklah, kuharap dia sudah pergi menjauh kemanapun. Perasaan amarahku masih tetap mengikuti, bagai enggan untuk bersitatap dengan pria itu. Kedua kakiku dipaksa melaju dengan keyakinan yang kubuat sendiri. Hingga nyatanya pilihan yang kulingkari tidak pernah sejalan.
"Aku yang akan mengantarmu."
Aku menoleh keras, menemukan sekujur tubuh yang sepertinya sejak sebelum aku memutuskan keluar, dia sudah berdiri sembari bersandar pada pintu kamarnya.
"Tidak perlu," tegasku, menatapnya dengan segurat perasaan marah yang masih menyelubungi pikiranku. "Tidak perlu kau merepotkan dirimu sendiri untuk mengantarku. Aku akan pergi bersama Taehyung."
Berakhir mengalihkan seluruh atensiku. Aku tetap melangkah mendahuluinya, seakan memberinya jarak sejauh mungkin. Aku takut, hanya itu yang sejak semalam aku rasakan. Aku mengeluarkan ponsel dari saku celanaku, tapi untuk satu adegan mengejutkan, Jimin berhasil melakukannya.
Dia segera merebut ponsel yang berada di genggamanku, membuatku menyorotinya dengan tajam. Hingga aku terus menerus merasa terkejut, tat kala Jimin membuang ponselku, melemparkannya tepat mengenai dinding, berserakan seluruhnya. Wow.
"Kau gila?!" Aku berteriak sebal. Meringsut menyedihkan untuk kembali memungut serpihan ponselku yang benar-benar hancur.
Tidak sempat aku menyentuhnya, Jimin menarik pergelangan tanganku. Secara spontan, aku berdiri di hadapannya, membiarkan Jimin menyakiti hatiku dengan sorotnya yang menakutkan. Dia membuatku tidak bisa berkutik, seolah seluruh indera dalam tubuhku mengikuti titahannya untuk terdiam.
"Yang berada tepat di hadapanmu adalah aku, bukan Taehyung."
Genggamannya terasa menyayat pergelangan tanganku. Aku berusaha menarik dan melepaskannya, tapi bagai dia memiliki kekuatan yang tidak mampu kutandingi sama sekali. Aku tetap tidak bisa menyingkirkannya. Tegukan salivaku bahkan mengeras, aku sangat takut.
Aku tersenyum kesal. "Setelah semalam kau bertingkah seolah-olah aku tidak pernah ada. Kini kau peduli padaku?" Terdengar bagaimana aku yang terkekeh malas, tetap saja Jimin tidak bereaksi apa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trivia : Ocean Eyes || Park Jimin Fanfiction ✔
Fanfic(END) Kim Leechie, adalah seorang gadis yatim piatu yang tengah menjabat sebagai mahasiswa dengan usia dua puluh dua tahun harus di hadapkan dengan kecelakaan paling tidak masuk akal ketika baru saja ia ingin menghilangkan diri setelah menemukan san...