Fitnah

4 2 0
                                    

Beberapa bulan kemudian, gue mulai akrab dengan santri lain seperti jerry, Mang kholid dan beberapa santri lainnya. Biasanya pada waktu sekolah gue selalu bersama nanang, aan dan sarnim, kini gue selingi dengan jerry dan mang kholid. Beberapa kali kami berziarah ke banten lama sembari menghantar jerry mengambil kiriman uang dari orang tua nya. Jerry berasal dari sebuah pulau di kepulauan seribu, sedangkan mang kholid merupakan salah satu pengurus pondok pesantren. Bisa dibilang ketika gue bersama mereka bisa menghindarkan diri gue dari para pengurus lain yang kadang suka nyari masalah. Untuk masalah pengajian pun mang kholid sering menjelaskan beberapa hal yang menurut gue kurang dimengerti.

Suatu malam gue berada di kobong gue bersama jerry, ya sekarang gue lebih sering berada di kobong sendiri ketimbang di kobongnya aan, sarnim dan nanang. Entah kenapa gue lagi nyaman berada disini.

Gue dan jerry ngobrol sambil sesekali menghisap rokok yang gue beli secara patungan dengan nya ditemani segelas kopi dan beberapa makanan ringan.

"lo kapan-kapan harus ikut gue ke kampung gue" ujarnya
"emang kampung lo dimana sih? gue cuma tau lo orang pulau" tanya gue
"gue dari kepulauan seribu, sumpah disana tuh asik banget, airnya jernih, suasananya enak buat nenangin diri" jelasnya
"boleh tuh jer, kapan nih kita kesana?" kata gue dengan semangat
"terserah, pas liburan aja kali ya biar bisa lama" ujarnya
"yah masih lama ya" ucap gue kecewa
"ya mau gimana lagi, tau sendiri peraturan disini, mau pulang aja harus izin, itupun harus dengan alasan yang jelas, dibatesin pula cuma tiga hari" ujarnya sambil menjentikan rokok yang ia pegang
"iya sih ya,sumpah gue bete banget, gaboleh bawa hp,gaboleh keluar pondok, hapalan numpuk, ngaji di gerus terus, ini juga kita kalo ketauan ngerokok pasti bakal di tajir" (di cukur rambutnya sampai botak plontos)
"gue butuh istirahat sejenak dari rutinitas yang bikin gue pusing, gue bukan robot yang di set untuk mengikuti semua peraturan tanpa melanggarnya sedikitpun, gue manusia, punya titik jenuh, butuh hiburan dan gue juga punya hak atas diri gue tanpa di intervensi sama orang lain" sambung gue
"buset bahasa lo tinggi banget hahaha, tapi emang bener sih, gue juga bosen gini gini terus" ungkapnya
"nah lo aja setuju kan sama ucapan gue" kata gue sambil nyeruput kopi
"iye iye udeh ah pusing gue mikirin puyeng, yang ada pala gue copot entar" ujarnya sambil tertawa

Akhirnya obrolan kami berlanjut sampai ada seseorang yang mengetuk pintu kobong. Sontak kami kaget dan membereskan sisa sisa rokok beserta abu dan puntungnya

"Assalamualaikum"
"waalaikum salam" jawab gue sambil membuka pintu
"eh iya mir, ada apa?" tanya gue kepada amir, orang yang mengetuk pintu
"Gus lo di panggil mang sehu di kobong lurah" ungkapnya
"Hah ada apaan mir?" tanya gue heran
"Gatau gus, gue disuruh manggil doang" ujarnya
"oke nanti gue kesana" kata gue
"okedeh, yaudah kalo gitu gue balik yak,assalamualaikum" seraya pergi meninggalkan kobong gue
"waalaikum salam wr.wb" jawab gue sambil kembali kedalam kobong

"lo bikin masalah apaan gus sampe di panggil ke kobong lurah?" tanya jerry
"Lah kaga tau gue, perasaan gue ga bikin masalah apa apa" jawab gue heran
"gara gara lo ga ikut solat subuh kali" ujar jerry
"yeee kalo gara-gara itu,gamungkin dia manggil gue malem malem begini" jawab gue kesal
"terua gara gara apaan dong?" tanyanya lagi
"kan gue udah bilang,gue kaga tau"
"yaudah deh gue samperin dulu" sambung gue

Gue pun pergi menuju kobong lurah, di perjalanan gue sibuk berfikir apa kesalahan yang gue perbuat sampai harus dipanggil ke kobong penyiksaan tersebut. Rasa cemas mengikuti gue sampai akhirnya sampai di depan kobong yang gue tuju. Rasa cemas itu malah makin menjadi dan membuat badan gue gemetar. Sejenak gue menenangkan diri dengan cara mengambil nafas dalam dalam lalu gue keluarkan perlahan. "bismillahirrahmanirrahim" ucap gue dalam hati

"Assalamualaikum" salam gue ketika berhasil mengumpulkan keberanian
"waalaikumsalam" jawab seseorang dari dalam, tak lama ada yang membukakan pintu.
"Nah ini orangnya, masuk sini" ujar orang itu
"iyah mang" jawab gue seraya masuk ke dalam lalu salim ke beberapa orang disana yang salah satunya merupakan mang sehu
"Duduk gus" ujar mang sehu
"Iya mang" jawab gue seraya duduk
"Gue mau nanya sesuatu sama lo, tolong lo jawab dengan sejujur jujurnya" ujar mang sehu
"Ada apa mang?" tanya gue heran
"Apa bener lo ngambil duit Irwan?" tanya nya to the point. Sontak gue kaget mendengar pertanyaannya.
"Engga mang, saya ga ngambil duit Irwan" jawab gue
"Udah lo jujur aja, gausah bohong" cecar mang sehu
"Sumpah demi Allah agus ga ngambil duit Irwan mang"
"Gausah bawa bawa Allah, gue tau lo yang ngambil duit Irwan" Ujarnya lagi mencoba untuk membuat gue mengiyakan ucapannya
"Lah emang agus ga ngambil duit dia" kekeh gue dengan nada nyolot.
Tiba-tiba satu tamparan mendarat di pipi gue. Emosi gue naik seketika namun gue mencoba menahan amarah yang sudah menggebu-gebu ini.

Sambil memegang pipi gue menatap orang itu dengan penuh dendam.
"Kenapa lo ngeliatin gue begitu? Lo ga seneng sama gue?Makanya lo jujur aja daripada urusannya makin panjang". Bentaknya
"Sekarang lo panggil aja si Irwan kesini, tanyain sama orangnya langsung apa gue pernah ngambil duit die" Kata gue sudah tidak peduli dengan gelarnya sebagai lurah pondok
"Oke sekarang gue panggil si Irwan, Kalo emang bener lo yang ngambil duit dia, liat akibatnya nanti" Ancamnya.

Akhirnya ia menyuruh santri lain untuk memanggil Irwan. Tak lama Irwanpun datang.
"Assalamualaikum" Sapa Irwan
"Waalaikumsalam" jawab kami yang berada di dalam kobong
"Sini wan, gue mau nanya" Ujar mang sehu
"Apa bener duit lo ilang dan dia pelakunya" tambahnya sambil menunjuk gue
"Duit yang mana mang?" tanya Irwan heran
"Eh bener kaga kalo gue yang maling duit lo" bentak gue kepada irwan
"Apaan si gue ga ngerti" Irwan kebingungan
"Udah lo gausah takut sama dia, ngomong aja yang jujur" tekan mang sehu
"Eh lo ngancem dia buat nutup mulut ye?" tuduh mang sehu ke gue
"Udah lo ngomong aja, apa bener duit lo ilang terus yang nyolong gue?" tekan gue kepada Irwan
"Emang duit yang mana si?" Irwan tampak terlihat bodoh dengan wajab penuh kebingungan
"Katanya duit lo ilang du kantong baju dan dia yang nyolong" Jelas mang sehu
"Engga ilang mang, cuma keselip doang di kantong" Jawab Irwan
"Udah lo gaperlu nutup nutupin, apa dia ngancem lo? Gue abisin dia sekarang kalo perlu" kata mang Sehu
"Bener mang duitnya ada ko,keselip di kantong" jawabnya
"Masih kurang jelas? Masih mau nuduh gue maling lagi?" Ucap gue dengan emosi

Mang sehu tampak malu mendengar jawaban Irwan, ia pun mulai mencari topik lain untuk menekan gue
"Sekarang gini, gue tau lo di kobong sering ngeroko bareng jerry kan?" tanyanya yang membuat gue mati kutu. Licik sekali orang ini, selalu mencari kesalahan kesalahan yang membuat gue terpojok.
"Bener kan gue?" tanya nya lagi
"Iya" Jawab gue
Tiba-tiba satu tamparan lagi telak mendarat di pipi gue yang kini berasal dari pengurus lainnya,hampir saja gue gelap mata. Kalau saja ini di Jakarta, mungkin mereka akan merasakan hak yang lebih menyakitkan dari apa yang gue rasakan saat ini.
"Lo mau jadi jagoan?mau petantang petenteng disini?" ujarnya. Gue hanya diam sembari menatap mereka dengan tatapan perang. Merekapun terus berbicara seakan akan mereka taat kepada peraturan dan tak pernah sekalipun melanggarnya. Jujur gue mulai jijik dengan mereka yang sok suci, menganggap para pelanggat sebagai sampah tanpa berkaca kepada diri masing-masing. Seketika air mata gue tumpah, air mata yang berasal daru emosi yang meluap luap akibat tak tersalurkan. Mereka sejenak terdiam meliat gue. Tiba-tiba salah seorang pengurus mulai kembali membuka suara.
"Gue tau lo ga terima"  Gue hanya terdiam menatap mereka dengan tatapan memburu.
"Sekarang gini aja"
"Kalo emang lo ga terima,silahkan lo balas"
"Tapi lo harus inget"
"Gue ga akan ngaku kalah kalo gue belom mati!"

Mendengar ucapan itu membuat gue mulai mencari sesuatu untuk membutikan kepada mereka siapa diri gue. Mata gue menangkap sebuah sesuatu yang berada tak jauh dari tempat gue duduk. Ketika hendak mengambilnya dan membalas apa yang mereka perbuat, gue teringat oleh kedua orang tua gue, bagaimana susah payahnya mereka membesarkan gue, gimana mereka banting tulang untuk menyekolahkan gue, gimana keadaan mereka ketika lelah akan semua yang mereka kerjakan, dan itu semua hanya untuk kebahagiaan gue. Gue pun mengurungkan niat untuk melakukannnya. Kondisi gue perlahan kembali tenang. Akhirnya semua ucapan mereka hanya gue balas dengan senyum pipi kanan tanpa ada kata kata lagi yang keluar dari mulut gue

Masa MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang