Emosi

2 1 0
                                    

Sejak kejadian itu gue mulai muak dengan segala peraturan yang ada. Apakah gue sebrengsek itu di mata mereka sampai hal sekeji itu mereka tunjukan kepada gue.

Sekarang yang bisa gue lakuin cuma melawan ke munafikan mereka itu dengan diam. Bagaimana gue bisa menilai mereka munafik? Mungkin kalian beranggapan kalo gue di selimuti rasa dendam hingga gue dengan mudahnya mencap mereka seperti itu. Fakta yang gue alamin ialah mereka melanggar semua peraturan yang mereka buat sendiri. Ya mereka seperti itu.

Alasan kenapa gue dan teman teman gue berani melanggar peraturan ya karna mereka mencontohkannya sendiri. Mereka merokok, membawa hp kedalam pondok, keluar tanpa izin yang jelas, sering tak mengikuti pengajian, sering tak ikut solat subuh berjamaah dan banyak hal-hal lainnya.

Namun mereka dengan mudahnya menghukum, menghakimi, dan mencap jelek orang semata mata karena melanggar peraturan. Apakah mereka tak berkaca kepada diri mereka sendiri? Sepertinya kebebasan hanya untuk mereka yang berkuasa. Entahlah gue gamau ikut campur urusan mereka, apa hak gue? Intinya sejak saat itu bendera perang sudah di kibarkan. Kita lihat nanti siapa yang lebih membutuhkan!

Gue kembali ke kobong gue, masih ada jerry disana, lantas ia pun bertanya dengan raut wajah penuh tanda tanya
"Gimana? Udah kelar?" tanyanya
"Brengsek tuh orang!" umpat gue
"kenapa emangnya?" tanya nya heran
"Gila gue di tuduh maling, Siapa yang gak kesel coba!" ujar gue penuh emosi
"Lah gimana ceritanya? Ko bisa?"
"Itu si Irwan katanya duitnya ilang, disangkain gue yang ngambil, mentang-mentang sekarang kita sering ngopi disini, anjing emang" ujar gue sambil menonjok lemari hingga bolong
"sabar gus sabar" ujarnya menenangkan
"Gimana gur bisa sabar, gue dituduh maling, digampar pula!" Mendengar pernyataan gue jerry pun tampak ikut terpancing emosinya namun tak bisa berbuat apa apa
"Kalo ini di jakarta, sumpah, gue pastiin dia ga selamet di jalan!" ujar gue

Suasana hening menyelimuti, gue masih menahan emosi yang meluap-luap sedangkan jerry masih sibuk dengan pikirannya sambil memperhatikan gue. Akhirnya ia membereskan sisa sisa rokok dan gelas kopi yang sudah habis, lalu ia pamit untuk kembali ke kobongnya.

Sisa gue sendiri yang masih memikirkan apa yang terjadi, untung saja teman satu kobong gue tidur di masjid. Kalau saja mereka disini sudah gue pastikan mereka takan tidur tenang malam ini akibat emosi gue yang sudah di ambang batas, apalagi si Irwan, mungkin ia bisa babak belur di tangan gue malam ini. Akhirnya gue memutuskan untuk tidur walaupun butuh waktu agar gue bisa relax dan terlelap.

Masa MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang