14. Merasa Bersalah

3K 170 21
                                    

Katherine mengusap wajahnya yang penuh keringat. Hari sudah malam, dan dia masih bekerja, sendirian pula.

Saat ini yang dilakukannya, adalah mengecat tembok ruangan atasannya yang siang tadi mencak-mencak bagai orang kesurupan. Tak mengerti apa masalahnya? Pria itu sangat menginginkan dia menderita.

Hal kecil yang menjadi perdebatan mereka beberapa hari yang lalu, tak pernah dia kira akan sampai begini akibatnya. Mentang-mentang pria itu kaya dan berkuasa, dia bisa menyiksanya sampai seperti ini.

Please, dia juga manusia normal yang punya batas kesabaran dan juga merasakan lelah. Pria itu, malah seenak jidat, menganggapnya sebuah robot yang dengan mudahnya bisa diperintah ini itu sesuka hatinya.

Pekerjaannya hampir selesai. Mungkin 2 atau 3 jam lagi, sedangkan jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sepertinya, malam ini dia akan bermalam di kantor saja, agar tidak terlambat bekerja besok pagi.

Ini yang namanya kerja gila. Kerja hanya sebagai pelayan, tapi kerjaanya sudah seperti pelayan super di semua bidang. Ini itu diperintah, padahal gaji sama.

Ya Tuhan—jika bukan karena memikirkan nasib Edlise dan kawan-kawan, mungkin dia sudah angkat kaki dari tempat berkelas tapi rasa penjara itu. Sehebat-hebatnya dia bersabar, dia juga tak tahan, dan ingin sekali  mencakar wajah sombong yang sialnya tampan, pas dengan kriteria dunia halu nya itu.

“Katherine?”

“Ya?”

Kathe yang merasa terpanggil, memutar tubuhnya dan mendapati Edlise berdiri dengan sebuah kantong plastik di tangannya.

“Eh, Tuan Edlise. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Kathe sambil meletakkan kuas di wadah cat berwarna krem itu.

Edlise tertawa tipis. “Tidak ada. Aku membawakanmu Burger. Makanlah, selagi masih hangat. Tidak mengandung racun, jadi aman.”

Jawaban, Edlise tentu saja membuat wajah Kathe berbinar karena senyuman lebarnya. “Tidak perlu repot-repot Tuan. Saya bisa memasak atau membelinya di luar,” balas Kathe sopan.

“Dengan menuruni tangga dan pingsan sebelum sampai, atau menahan lapar semalaman karena tak punya uang?”

“Anda, terbuka sekali Tuan,” ujar Katherine, membuat Edlise tertawa kilas.

“Tak apa Kathe. Jangan sungkan, dan jangan terlalu formal padaku. Kita se umuran. Jangan lupa juga, aku juga hanya seorang pelayan di sini.”

“Tuan, terlalu berlebihan. Apa jadinya, jika si Singa berkepala Banteng itu mendengar nantinya?”

Edlise terbahak. “Kau sangat pemberani Kathe. Hanya kau yang berani melawannya. Kau tidak takut?”

Pertanyaan Edlise, membuat Kathe menggeleng kuat. “Tidak. Se menakutkan apa pun dirinya, dia juga manusia normal yang tidak akan memakanku hidup-hidup.”

“Tapi, dia bisa membunuhmu dengan senjata.”

Katherine tersenyum lagi. “Dia lahir dari seorang perempuan. Aku tau, dia sangat menyayangi ibunya. Setidaknya, jika dia benar-benar membunuhku nantinya, dia akan tersiksa oleh rasa penyesalan seumur hidupnya.”

Edlise terpukau. Wanita di depannya, mungkin dari golongan ekonomi rendahan, tapi cara bicara dan sikapnya terhadap suatu masalah, membuat Edlise benar-benar kagum. Tak jauh berbeda dari kalangan bangsawan.

“Kita harus berteman, Katherine.”

Mendengar perkataan Edlise, Katherine terkikik geli. “Sepertinya begitu,” jawabnya.

Edlise pamit undur diri. Katherine pun menikmati makanan yang dibawakan Edlise tadi. Nasibnya ternyata masih mujur, walaupun berada dalam bayang-bayang singa yang siap menerkam kapan saja.
Setelahnya, Katherine kembali menyelesaikan pekerjaannya sebelum pagi datang dan sebelum si Singa tiba.

****
Byurrr!!

Katherine tersentak begitu tubuhnya merasakan guyuran air dingin dalam jumlah banyak. Dia membuka mata setelah mengusap wajahnya, dan menemukan atasannya yang menakutkan sedang berdiri di depannya sambil memegang ember yang baru saja turut membantu pria itu menjahatinya.

“Nyenyak sekali tidurmu ya? Lihat! Sudah jam berapa ini!?”

Suara Max yang menggelegar, malah berupa dengungan di telinga Katherine. Dia merasa kurang sehat. Mungkin karena kelelahan dan telat makan sampai tengah malam. Apalagi, tubuhnya yang terasa panas, di guyur dengan air yang sangat dingin tadi. 

“Maaf, Tuan.”

Katherine merasa lemah. Untuk kali ini, dia tidak mau berdebat. Dia pun memilih meminta maaf, dan pergi dari sana walaupun dengan pandangan yang mulai buram.

Katherine menuruni tangga dengan pelan. Walaupun pusing, dia masih ingat aturannya. Dia wajib turun menggunakan tangga darurat.

Hari kemarin, sudah dia lewati dengan penuh kesabaran, perjuangan, juga susah payah. Dia tidak mau di hari keduanya dia gagal dan harus melihat kawan-kawannya kehilangan pekerjaan.

Dia hanya butuh istirahat sebentar, kemudian makan dan minum obat setelah berganti pakaian. Itulah yang Kathe pikirkan, sebelum tubuhnya ambruk dan menyentuh dinginnya lantai di ruangan pengap yang sudah tidak pernah dilewati oleh seorang pun di sana.

Katherine pingsan, dan entahlah. Apakah mungkin, masih akan ada yang menemukannya?

***

Maxime melempar tablet di tangannya begitu melihat Edlise yang sedang membawakan Katherine makanan. Memang sejak beberapa jam yang lalu, Maxime memantau apa-apa yang di lakukan Katherine di ruangannya lewat CCTV yang selalu terhubung dengan perangkat elektronik yang dia gunakan. Mereka terlihat sangat akrab, dan wanita itu tersenyum bersahabat.

Sangat berbeda saat berhadapan dengannya. Wanita itu selalu berani membantahnya dan membuatnya merasa—terhina.

Sialan memang. Saat semua wanita bermimpi ingin bersanding dengannya, justru wanita itu malah menjadikannya musuh bebuyutan.

Mereka tak pernah akur, di mana pun dan kapan pun mereka bertemu. Bahkan setelah menjadi atasan dan bawahan. Wanita itu tetap saja keras kepala dan membuatnya pusing kepala.

Max mengusap wajahnya kasar. Baru kali ini, dia sangat ingin membuat seorang wanita menyerah dan takluk. Bukan karena uang, kekuasaan atau rasa takut, karena semua itu sama sekali tak berlaku pada wanita itu. Dia ingin, semuanya murni. Murni? Entahlah, dia tidak bisa menjabarkannya lebih detail dan runtut lagi.

Pagi ini, melihat wanita itu terlelap di ruangannya dengan beralaskan lantai dan berbantalkan tangannya yang kotor oleh warna cat, membuat rasa iba dalam hatinya menyeruak muncul ke permukaan.

Perbuatannya memang keterlaluan. Tapi, hanya itu cara satu-satunya untuk bisa memenangkan taruhan antara dirinya dan Edlise. Dan dia, tidak mungkin merendahkan harga dirinya di depan bawahannya. Tentu saja.

Max berjongkok sambil menatap wajah wanita pembangkang itu lekat-lekat. Siapa sangka, di balik wajahnya yang manis dan damai di pandang saat tidur, menyimpan banyak kesedihan dan rasa sakit di setiap harinya.

Pemberontakan dan keras kepala Katherine, sebenarnya membuatnya kagum. Wanita itu, sangat menjunjung tinggi kehormatannya walaupun keadaan memaksanya untuk menyerah, dan menyerah.

“Tuan?”

Suara seorang kepala pelayan di sana, membuat Max bangkit dengan memasang tampang datar.

“Ada apa?”

“Saya, ingin membangunkannya. Maaf, dia sangat tidak sopan.”

Jawaban kepala pelayan itu, membuat Max tertawa tipis. “Tidak perlu. Aku yang akan membangunkannya dan mengajarinya  sopan santun.”

Setelah mengatakan itu, Max mengambil se ember air dan dengan teganya menyiram tubuh ringkih Katherine yang terbaring di lantai.

Tak ada alasan lain. Max hanya ingin, pikiran kepala pelayan itu yang memergokinya menatap Katherine, tak terbukti benar.

Katherine yang bangkit dengan wajah merah, membuat Max salah tingkah.

Dia tidak mungkin salah lihat, jika wanita itu sakit. Tapi, apa yang bisa dia lakukan selain memasang tampang berengseknya sebagai atasan kejam? Kepala pelayan sialan itu, juga masih membatu di ambang pintu. Setidaknya, pemandangan yang dia lihat, akan menjadi peringatan untuk pelayan lainnya.

Katherine pun pergi, dan meninggalkan Max yang melempar ember di tangannya ke tembok hingga hancur. Oke. Kathe benar-benar membuatnya merasa menjadi pria paling berengsek, sekarang.

****
Triple up loh.... 
Komennya mana.  🤧








King Bastard For Beauty Slut (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang