3. Sia-sia

3.7K 194 10
                                    


"Maaf Nona, tidak ada lowongan pekerjaan di sini.”

"Sudah penuh, silakan cari di tempat lain.”

"Cari di tempat lain saja, di sini sudah banyak yang bekerja.”

"Kosong.:”

"Tidak menerima pekerja baru ....”

"Maaf, tidak ada.”

"Huft .... "

Katherine menghela nafas lelah. Sudah sekitar 15 tempat yang dia datangi untuk melamar pekerjaan. Mulai dari restoran besar sampai rumah makan biasa, sekolah-sekolah, bahkan sampai ke instansi penyapu jalanan. Tapi semuanya nihil.  Tidak ada satu pun yang mau menerimanya, sedangkan tempat yang di mintainya pekerjaan hanya sebatas  pelayan atau OG saja.

Tapi, sesulit itukah untuk mencari  pekerjaan di level rendah itu?

Kenapa hari ini terasa sangat aneh? Tidak ada satu pun tempat di kota ini yang mau menerimaku? Ahh-- harus ke mana lagi aku mencari pekerjaan baru?

Kathe menundukkan kepalanya. Menyembunyikan wajahnya di antara lekuk lengan yang bertumpu pada lututnya. Sesekali hembusan angin malam menerpa, menembus kulit putih pucatnya dan melambaikan anak rambutnya yang menutupi telinga.

Malam terasa sangat dingin dan sunyi. Tapi, Kathe tidak bergeming sedikit pun dari tempatnya duduk menyendiri. Dia memilih menikmati sentuhan angin malam walaupun dingin menembus kulitnya, dari pada gegabah pulang merumahnya dan mendapat luka baru lagi.

Bingung?

Mungkin lebih dari sekedar itu. pikirannya kacau. Semua usaha dan pencapaian yang ingin di wujudkannya menemui jalan buntu. Jika dia tidak  mendapat pekerjaan baru hari ini, bagaimana dia akan memberikan uang pada ayahnya seperti yang dia janjikan tadi malam?

Sepertinya, Kathe harus siap mendapat memar, atau luka baru lagi. Tapi, bukan itu yang Kathe takutkan. Dia takut, ayahnya benar-benar gelap mata dan membuktikan ucapannya. Kathe takut, ayahnya akan menjual dirinya ke tempat pelacuran.

Tidak! Kathe tidak mau terjerumus ke dalam kubangan hitam itu walaupun hidupnya sangat sulit dan menderita. Lebih baik, dia mati kelaparan, atau mati di pukuli ayahnya, dari pada harga dirinya  harus diperjual belikan.

Kathe mengambil dompet di dalam tas kusamnya. Membukanya penuh semangat berharap masih memiliki sisa asa di sana. Tapi, begitu melihat isinya. Kembali dia harus menghela nafasnya pasrah. Sisa uangnya tak akan cukup untuk diberikan pada ayahnya.

Ahh--lebih tepatnya, setoran rutinnya. Karena Kathe tak ubahnya orang lemah yang di jarah preman setiap malam.

Kathe berpikir ulang. Jika dia merelakan lembaran-lembaran terakhir di dalam dompetnya itu diberikan kepada ayahnya, bagaimana dia akan makan untuk 2-3 hari ke depan? Sedangkan belum 1 pun pekerjaan yang dia dapat sebagai penyambung hidup untuk hari-hari berikutnya.

Lelah?

Semua kerumitan ini, memang sangat melelahkan untuknya. Mungkin lebih terasa seperti mencekiknya erat, menyiksa batinnya kemudian membunuhnya secara perlahan. Badai penderitaan tiada henti menimpanya. Bukan hanya aspek materi, bahkan psikisnya terkikis di setiap harinya.

Bolehkah dia menyerah? Sungguh, Kathe merasa, kehidupannya sangatlah tidak adil. Selama hidup, belum pernah dia merasakan apa itu bahagia? Dan apa itu disayangi? Rasa yang bahkan orang lain rasakan setiap harinya, justru hanya bisa dia mimpian selama ini.

Kenapa Tuhan, membuat jalan hidupnya seperti ini? Dia tidak akan selamanya kuat dan bertahan. Ada kalanya, dia akan menyerah dalam hidup dan mungkin, kematian adalah satu-satunya jalan terbaik.

King Bastard For Beauty Slut (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang