[Tiga]

4.6K 775 189
                                    

Aku berjalan lunglai saat melihat matahari mulai terbenam. Berdiam diri disini tidak akan berguna. Aku tidak akan bisa menemukan dia. Bulan di langit gelap itu bukan yang aku cari.

Malam hari ditambah salju tebal seperti ini, kira-kira aku bisa tidur di mana ya? Untunglah tadi jaketku tidak hilang. Kalau tidak, bisa-bisa mati kedinginan aku. Eh tapi, kalau aku mati memangnya ada yang menungguku?

Eh ada deh. Kak Shin, kakak pertamaku. Ah aku sudah tidak peduli dengan kelakuan kakak keduaku, Rei. Lagipula, aku belum mau mati. Aku harus meminta maaf pada bulan yang pernah menerangi hidupku dulu. Juga pada sahabat yang setia menemaninya. Si rambut hijau.

Sial, kenapa harus di saat seperti ini. Perutku keroncongan. Hah baiklah. Mau bagaimana lagi. Tanpa tenaga, aku tak akan bisa menemukan si bulan, Kei, juga si rambut hijau, Guchi. Ya, itu panggilan akrabku pada mereka dulu. Kalau sekarang, rasanya sangat tidak pantas bagiku melakukannya.

Kubuka pintu toko terdekat, toko yang biasa aku kunjungi juga. Tapi ini pertama kalinya aku datang di malam hari. Tak kusangka, ternyata lebih ramai ya? Aku melihat beberapa anak lelaki dengan seragam hitam di dalam. Untung mereka tidak menyadari keberadaanku.

Perlahan, aku pergi ke rak roti. Agak menjauh dari kerumunan itu. Sepertinya mereka anggota voli. Dilihat dari lelaki surai jingga yang memegang bola voli di tangan kanannya. Aku kembali memusatkan perhatianku dengan roti yang ingin kubeli.

Oh, pindah tempat ternyata. Tapi kenapa harus di tempat tinggi seperti itu. Tak apalah, asal masih bisa kujangkau. Aku berjinjit dan hendak mengambilnya.

Tep. Tanganku tak sengaja bersentuhan. Membuatku langsung menarik tanganku dari situ. Dari pakaian lengan panjang hitamnya, sudah jelas dia salah satu dari kerumunan tadi.

"Sumima-"

Perkataanku tertahan ketika melihat wajahnya. Tubuh lelaki itu sekarang begitu tinggi. Dia pun terkejut melihatku. Mata sayu nya, posturnya, di tambah warna rambutnya, tak salah lagi. Dia...

"Yamaguchi?" Gumamku pelan.

Seolah tersadar, dia menggelengkan kepalanya. Mengambil dua roti tadi dan memberikan salah satunya padaku. Tatapannya berubah. Menjadi persis sama seperti hari dimana dia dan sang bulan mengusirku pergi. Hari saat dia mulai berhenti memanggil nama pertamaku.

Hari ini bukanlah salahku. Ini takdir. Aku memang mencari mereka tapi aku bahkan tidak tertarik dengan kerumunan tadi.

"Dimana Tsuki-"

"Beruntung dia sedang tidak bersamaku hari ini. (L/n) san, maaf tapi, bisakah kita bersikap seolah pertemuan ini tidak pernah terjadi? Dan, sebisa mungkin tolong untuk tidak muncul dihadapan kami?" Pinta Yamaguchi.

"Tapi-"

"Sampai luka Tsukki benar benar sembuh" potongnya. Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung kembali ke kelompok lelaki tadi.

Klub Voli SMA Karasuno. Ternyata kalian ada disitu selama ini. Syukurlah tidak ada niatan berhenti dari kegiatan yang menyatukan kita bertiga dulu.

Aku diam di tempat. Setelah mereka keluar, aku pun menghampiri kasir, Ukai Keishin. Ya, aku mengenalnya. Dan hampir saja aku lupa akan kebaikan orang ini.

"(Name), kau belum ke rumah lagi?" Tanyanya. Aku hanya menggeleng datar. Ukai menghela napasnya, "Kau tidak lupa kan dengan kakakmu?". Lagi-lagi, aku menggeleng. Mana mungkin aku melupakan mereka? Aku akhirnya membuka suara.

"Iya, aku masih mencoba untuk memperbaiki hubungan kami. Malam ini aku akan pulang" jawabku.

Ukai Keishin adalah orang yang pertama kali menyadari dan peduli tentang masalahku. Hari itu, dia bertanya, dan dari matanya, aku sudah bisa membaca kalau dia bisa dipercaya. Aku menceritakan semuanya.

"Baguslah" timpalnya. Aku membayar rotinya. Sebenarnya, Ukai menawarkanku supaya tidak membayar. Lihat kan? Orang ini terlalu baik. Tentu saja kutolak. Aku tidak mau merepotkan orang lain lagi. Dengan bercerita saja, aku sudah menjadi bagian beban pikirannya.

Aku keluar dari tempat itu. Berjalan ratusan meter menuju tempat yang dinamakan 'rumah'. Rumah? Sebenarnya aku tak tau lagi apa definisi dari kata itu. Menurut pelajaran sekolahku dulu, rumah itu tempat untuk berlindung, berkumpul bersama keluarga, tempat paling aman dan nyaman di dunia.

Kubuka pintu yang tidak pernah terkunci itu. Mendapati sejumlah barang yang pecah, dan rusak tergeletak di lantai. Tidak ada barang yang letaknya normal. Sungguh nyaman sekali tempat ini.

Terdengar suara langkah. Yang perlahan mendekatiku. Aku merinding mendengarnya. Lelaki dengan rambut acak, bahkan lebih parah dari rambut seseorang yang tersengat listrik. Dengan setelan kantor yang dipakainya. Bau alkohol menempel di dirinya. Astaga.

Dia menghampiriku. Jarak yang sudah sedekat ini, aku tak bisa apa-apa. Kalau aku menghindarinya sedikit saja, dia akan lebih brutal lagi. Seperti biasa, dia menatapku tajam. Dia itu kakak keduaku, Rei.

"Masih berani ya, datang ke rumah. Gitu aja, manfaatin aja terus kami berdua" kata Rei yang mulai menjambak rambutku.

Dia menarikku hingga membenturkanku ke meja. "Anak bungsu kurang ajar!" Teriaknya. Rei memukulkan botol kaca yang dipegangnya tepat ke arah kepalaku. Tak sampai disitu, dia menamparku lalu membantingku ke lantai.

Wah... aman sekali 'rumah' ini.

Tak lama, terdengar derapan kaki menghampiri. "Hentikan, Rei!" Teriaknya. Itu Shin, kakak pertamaku. Dia berdiri di depanku. Rei tidak akan pernah berani menyerang Shin.

"Mau sampai kapan kakak membela anak kurang ajar ini, sih?! Inget kak! Dia yang bikin ibu mati! Dia juga yang bikin ayah berubah sampai kita harus hidup kaya gini!" Teriak Rei.

Aku sangat ingin bersuara. Tak terima dengan perkataan makhluk sialan ini. Ibu memang meninggal saat melahirkanku. Tapi apa semua itu jadi salahku?

"Rei, sudahlah hentikan!" Bentak Shin. Shin membawaku ke kamar. Dia mulai mengobati lukaku satu per satu.

Inilah alasan kenapa aku tak mau kembali ke tempat ini. Tempat terkutuk ini. Lebih mendekati neraka bagiku. Yang kukatakan pada Ukai? Tentu saja bohong. Mana mungkin. Sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa akrab dengan kakakku. Kecuali Shin.

"Selesai" gumam Shin setelah mengobatiku.

"Istirahatlah" sambungnya. Aku mengangguk, tapi saat Shin hendak pergi, aku mencengkeram lengannya erat. "Kak, aku takut..".

Dia kembali dan menatapku. "Kalau aku ada disini, Rei tidak akan berani menyakitimu, percayalah" katanya sambil tersenyum.

Walau begitu, tetap saja. Aku takkan pernah merasa aman disini. Shin itu tetap perempuan. Sebagai lelaki, Rei bisa saja suatu saat melawan Shin. Ujungnya, aku pula yang kena.

Karena itu, aku beranjak. Mengambil uang yang selalu Shin taruh di laci kamarku. Aku kesini memang hanya untuk mengambil itu. Shin tau dan mengizinkan aku lari dari rumah ini. Dia lebih baik membiarkanku tinggal di luar daripada melihatku harus menerima kekerasan dari Rei.

Satu jam berlalu, suara barang jatuh sudah tak terdengar lagi. Perlahan aku mengendap keluar. Rei sepertinya sudah masuk ke kamarnya. Aku melihat Shin membereskan beberapa barang. Sebenarnya, dia lebih jaga-jaga takutnya Rei tiba-tiba memergokiku keluar kamar dan menyerangku.

Berjalan lagi ratusan meter, pergi ke SMA Karasuno. Padahal malam sudah larut. Kupandangi bangunannya. Tidak mewah tapi cukup nyaman. Sebetulnya, Shin menawarkanku untuk masuk ke sini. Tapi aku mengabaikan dan memilih untuk putus sekolah. Padahal nilai kelulusanku lumayan.

"Kayanya enak ya kalau aku beneran sekolah disini. Ketemu bulan nanti" gumamku.

"Dan sebisa mungkin, tolong untuk tidak muncul dihadapan kami?"

"Astaga apa yang kau pikirkan, (name)? Kau tak pantas bertemu dengannya.." gumamku lagi. Air mataku menetes tak kuat menahan perkataan Yamaguchi yang terngiang di kepalaku.

°●--------------------●°

Chance (Tsukishima X Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang